Wednesday, March 23, 2016

Merilis Kisah, "Lelaki Gondrong di Balik Lensa"

Tarmizy Harva memotret selebritis Jakarta hingga konflik Aceh. Tahun 2004 ia dianugerahi penghargaan dari World Press Photo
MALAM ITU, pertengahan Februari 2008, sejumlah wartawan muda berkumpul di halaman Kantor Berita Antara biro Banda Aceh. Kantor ini tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Ini tempat kumpul-kumpul mereka saban sore, seusai liputan.
Seorang wartawan dikerubungi rekan-rekannya. Ia tengah membalik-balik halaman buku berjudul Inferno. Buku itu seukuran tabloid, bersampul hitam. Inferno, artinya neraka, dalam bahasa Indonesia.
Tarmizy Harva, Wartawan
Inferno memuat foto-foto hasil jepretan James Nachtwey, seorang fotografer kelas dunia yang kerap bekerja di wilayah perang. Beberapa kali Nachtwey diganjar penghargaan bergengsi untuk karyanya.
Di buku itu Nacthwey memotret anak-anak yang terjangkit HIV dalam asilum di Rumania, jejak kebiadaban perang di Rwanda, maupun orang-orang kelaparan di Somalia. Ia juga membidik perang etnik dan kuburan massal di Bosnia.
“Benar-benar jahanam!” umpat lelaki itu, sembari menggeleng.
Jari-jarinya sibuk menguncir rambut panjang ikalnya. Matanya kemudian tertuju pada kumpulan wartawan muda yang tengah memperhatikan isi buku tersebut. Ada yang menutup mulut dengan tangan. Ada yang geleng-geleng.
Lelaki yang mengumpat itu bernama Tarmizy Harva. Ia membeli buku itu lewat seorang sahabatnya yang tengah berada di Singapura. Harganya cukup mahal, sekitar 125 dolar.
“Saya butuh waktu dua hari memperhatikan detail tiap foto-foto di situ. Dan tiap selesai satu halaman, rasanya mau langsung ke lapangan. Hunting foto,” ujarnya terkekeh.
Selain kagum pada karya Nacthwey, ia juga kagum pada profesionalisme sang fotografer. Di film dokumenter The War Photographer terlihat bagaimana Nachtwey bekerja dengan kameranya. Dingin. Teliti. Rapi. Dekat sekaligus berjarak dengan objek.
Beberapa hari setelah Aceh dilanda tsunami, Nachtwey terbang ke Aceh. Tarmizy pun melihat langsung bagaimana Nachtwey bekerja. Tapi ia tak sempat menyapa fotografer idolanya. Tak ada waktu. Masing-masing sibuk dengan kamera. Memotret, memotret, dan memotret.
GUNUNG SIBAYAK, dataran tinggi Karo, 1991. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Edward Sinaga bersama sejumlah sahabatnya menyelenggarakan lomba mendaki gunung berketinggian di atas 2000 meter itu. Edu, begitu panggilannya, adalah wartawan harian Poskota di Medan. Ia dekat dengan komunitas mahasiswa pecinta alam di Medan. Ia juga dikenal para mahasiswa sebagai salah seorang senior dalam fotografi.
Edu melihat seorang mahasiswa berbadan agak tinggi, berambut gondrong. Pemuda itu adalah pemenang pertama untuk kategori perorangan. Edu berkenalan dengannya. Nama lengkap si mahasiswa, Tarmizy Harva. Ia kuliah di tingkat tiga jurusan Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara (USU).
Setelah itu, Edu makin akrab dengan Tarmizy. Suatu ketika ia main ke tempat kos Tarmizy dan melihat beberapa lukisan karya si pemilik kamar.
Edu berpikir untuk mengajaknya belajar fotografi. Alasannya kuat, Tarmizy sudah memiliki dasar pengetahuan di bidang lukis.
“Karena dia sudah lebih paham tentang warna, komposisi dan lain-lain,” kata Edu.
Akhirnya Edu benar-benar mengajak Tarmizy mempelajari fotografi. Edu menjemputnya untuk ikutan klab fotografi. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Tarmizy. Alasannya, ia belum tertarik dengan dunia potret-memotret.
“Hobi fotografi sangat mahal. Apalagi saya juga belum punya kamera,” kilah Tarmizi.
Edu menawarkan kamera miliknya untuk dipinjam Tarmizy. Sebuah kamera otomatis. Tapi Tarmizy menolak.
Pada 1993, Tarmizy akhirnya membeli sebuah kamera dari hasil tabungannya menjalani usaha sablon. Kamera itu merek RICOH. Kini gilirannya mendatangi rumah Edu. Tarmizy menunjukkan kamera yang menurutnya kamera bagus.
“Bagaimana menurut Abang?” tanya Tarmizy.
Edu mengamati kamera itu.
“Kamera kaleng cebok kau beli!”
“Awas Abang!” sungut Tarmizy. Kecewa bercampur marah. Tapi minatnya terhadap fotografi justru tak surut.
“Nanti aku beli yang bagus!”
“Cari kamera yang lain lah. Kalau bisa Canon FM2 atau Pentax K1000,” kata Edu.
Menurut Edu, kamera itu tak akan bisa mendukung kemajuan Tarmizy di bidang fotografi. Malah, Edu khawatir, gara-gara kamera itu Tarmizy bakal menyurutkan niatnya mendalami fotografi. Setelah pertemuan itu Edu tak lagi bicara masalah fotografi.
Menjelang akhir 1996, seorang teman Tarmizy menjual kamera Pentax K1000. Harga barang second itu sekitar Rp 250 ribu. Ini salah satu kamera yang direkomendasikan Edu. Namun Tarmizy tak gegabah. Sebelum membelinya, ia mesti memeriksa kualitas barang itu lebih dulu. Apalagi, ia masih awam soal kamera. Tarmizy kembali mendatangi rumah Edu dan menunjukkan kamera bekas itu. Setelah mendengar komentar “kamera kaleng cebok”, Tarmizy menganggap Edu seperti dokter kamera baginya.
“Bang, coba periksa dulu deh yang ini.” Tarmizy menyodorkan kamera Pentax K1000.
“Oke. Ini bagus.”
Tarmizy terpaksa mengambil tabungan dari hasil usaha sablon untuk memiliki kamera tersebut. Dua hari setelah itu, Tarmizy kembali mendatangi Edu dan menyatakan keinginannya belajar fotografi. Ketika itu klab fotografi yang dibina Edu sudah bubar. Dari sekitar 10 anggotanya, tak satu pun yang ‘mengorbit’.
“Kau serius mau belajar?” tanya Edu.
Tarmizy mengiyakan.
“Kalau kau memang serius, oke!” Edu melanjutkan. Ia memberi Tarmizy diktat tipis tentang fotografi yang ia buat sendiri; catatan yang difotokopi. Isinya cukup sederhana dan mudah dipelajari. Misalnya, soal istilah fotografi dan bagaimana mengatur cahaya.
Tarmizy membaca panduan itu sambil mempraktikkannnya dengan kamera. Ia mendiskusikan foto yang dihasilkannya dengan Edu. Setelah dua-tiga kali pertemuan, Tarmizy tak lagi menemui Edu.
Pada September 1997, Tarmizy mengirim foto hasil jepretannya untuk ikut lomba foto olahraga tingkat nasional. Lomba tadi memperebutkan piala Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Beberapa minggu kemudian, Tarmizy dapat telegram. Ia jadi juara harapan kedua. Ia kembali mendatangi rumah Edu, mengabarkan kemenangannya. Mentornya itu pun turut bangga.
AWAL 1998, sejumlah mahasiswa USU yang antusias dalam fotografi berkumpul di rumah Andi Kurniawan Lubis di kawasan Ayahanda, pusat kota Medan. Lubis redaktur foto harian Analisa Medan. Mereka berniat membentuk perkumpulan fotografi. Mereka bikin rapat. Mereka berdiskusi di kantor sekretariat Kelompok Lingkungan Sangkala. Mahasiswa-mahasiswa ini sepakat mendirikan Forum Studi Fotografi Merdeka. Di antara mereka yang hadir itu tampak Hotli Simanjuntak dan Tarmizy Harva.
Namun, Tarmizy hanya sempat mengikuti beberapa kali kegiatan perkumpulan fotografi itu. Ia malah membentuk klab fotografi sendiri bersama lima teman. Klab itu bernama Siluet Fotografi. Kantor sekretariatnya di Jalan Multatuli Medan dan Jalan Sriwijaya 80. Ini klab komersil. Tarmizy dan kawan-kawan ikut mengajukan proposal ke panitia World Rally Championship awal tahun 1998 di Medan. Proposal mereka diterima. Tugas mereka mendokumentasikan kegiatan reli internasional ini.
“Kami ketemu lagi di UKM (unit kegiatan mahasiswa) Fotografi USU,” kisah Hotli.
Saat itu anggota-anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fotografi rajin meliput aksi demonstrasi mahasiswa di Medan. Menjelang Mei 1998, amarah mahasiswa di hampir seluruh Indonesia tengah memuncak. Begitu juga di Medan. Mereka turun ke jalan. Menuntut diktator Suharto turun. Memprotes korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dipopulerkan Suharto dan anak-anaknya. Aksi-aksi kolosal mahasiswa itu jadi momen penting untuk membangun kemampuan dalam memotret.
“Saya dan Tarmizy jadi sering hunting foto bareng dan bikin pelatihan,” kenang Hotli.
Sebagian fotografer amatir ini mengirim foto-foto hasil jepretan mereka ke media lokal. Ada sebuah kebanggaan bila karya mereka dimuat media massa. Ada yang mulai tertarik untuk bekerja di media. Dan memilih tidak meneruskan kuliah. Tarmizy juga ikut tergoda. Tapi ia sudah kepalang berjanji pada sang ayah, Sofyan Harva, untuk menyelesaikan studi lebih dulu.
“Saya berdoa, kalau saya tamat saya harus lebih dari teman-teman. Bekerja untuk media nasional,” katanya.
Tahun 1999 awal, ketika badai reformasi pelan-pelan mereda, Tarmizy berhasil mengantongi gelar sarjana teknik setelah delapan tahun kuliah di jurusan Teknik Sipil USU. Janjinya kepada sang ayah terpenuhi. Ia juga menikahi Nilasari, perempuan yang dikenalkan seorang sahabatnya.
Tak lama setelah lulus, Bambang Sudjiartono, reporter majalah mingguan Tempo di Medan mengajak Tarmizy menjadi kontributor foto di Medan. Tawaran itu seperti jawaban atas doanya. Namun, bekerja untuk sebuah mingguan nasional beroplah besar tak berarti honornya juga besar. Foto yang dimuat juga amat jarang. Selain menjadi kontributor foto, buat menutupi kebutuhan, Tarmizy nyambi kerja di perusahaan konstruksi. Tapi ia tak tahan dengan kerja sambilan ini. Ia ingin jadi fotografer lebih serius dan berharap bisa terbang ke Jakarta. Di sana media-media raksasa berkumpul dan berebut iklan hingga pelanggan. Dari koran, tabloid, majalah, situs, radio hingga televisi. Gemerlap industri media di kota ini pun jadi magnet bagi orang-orang muda di luar Jawa.
“Kayaknya, jadi fotografer kalau nggak di Jakarta nggak seru,” gumamnya.
Kesempatan itu mulai terbuka pada Februari 2000 saat majalah mingguan Gamma buka lowongan untuk posisi fotografer. Meski ragu bakal lolos, ia segera kirim lamaran. Tak lama setelah itu ia menerima telepon dari Jakarta, panggilan untuk wawancara. Ia segera terbang ke Jakarta dan menginap di rumah Dedy Mahdan di bilangan Ciputat. Keduanya bersahabat sejak sama-sama di USU dan bergabung di UKM fotografi. Dedy juga meminjamkan kamera Nikon F-4 agar Tarmizy bisa mengikuti sederet ujian masuk. Setelah wawancara, psikotes, dan… akhirnya, Tarmizy berhasil.
Enam bulan kontrak pertama di Gamma, Tarmizy ditugaskan memotret untuk halaman ekonomi dan teknologi informasi. Kariernya naik. Ia diangkat sebagai karyawan. Tapi tugasnya berubah. Kini ia dipercaya rekan-rekannya memotret untuk halaman hiburan. Ia membidik wajah-wajah artis sinetron, penyanyi, hingga presenter ternama. Tapi ia juga kerap alpa nama-nama selebritis yang ia potret. Alhasil, ia kerap dikibuli rekan-rekan sesama wartawan karena kekurangannya ini.
Tantangan meliput dunia glamor itu hanya bertahan dua bulan. Saban akhir pekan, para selebritis justru banyak acara. Ia mengeluh tak bisa istirahat. Kejenuhan melanda. Ia berdoa agar bisa bekerja di kantor berita asing. Ia berharap agar foto-foto hasil jepretannya bisa dimuat lebih luas. Melampaui batas Indonesia.
JAKARTA, FEBRUARI 2002. Telepon seluler Tarmizy berbunyi. Peneleponnya adalah Enny Nuraheni. Ia adalah chief photographer kantor berita Reuters. Enny mengungkapkan bahwa Reuters butuh fotografer untuk meliput konflik di Aceh. Saat itu situasi Aceh tengah panas. Militer Indonesia mengadakan operasi hingga ke kampung-kampung. Kontak senjata terjadi hampir tiap hari. Sekolah dibakar. Warga ketakutan. Konflik Aceh menjadi sorotan media-media nasional dan internasional.
“Kamu mau nggak?” Enny bertanya.
Tarmizy agak kaget. Tawaran itu datang begitu cepat, meski ia sebelumnya pernah mendengar kabar serupa dari Arbain Rambey. Arbain menjabat kepala biro Kompas untuk Sumatera Bagian Utara yang meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Kantornya di Medan. Ia juga ketua umum Pewarta Foto Indonesia. Arbain akrab dengan komunitas pecinta fotografi di Medan. Arbain menceritakan kekosongan posisi fotografer untuk meliput Aceh di kantor Reuters. Lewat Arbain pula, Enny mendapat nomor telepon seluler Tarmizy.
“Sebentar Mbak. Kasih saya waktu seminggu,” balas Tarmizy. “Saya mesti bicara dengan keluarga dulu.”
Tarmizy segera menghubungi Nilasari di Medan. Tawaran ini memperpendek jarak Tarmizy dengan keluarganya. Jarak Medan-Aceh tak terlalu jauh dibanding Medan-Jakarta. Meski begitu, risiko meliput di konflik Aceh jauh lebih berbahaya ketimbang meliput wajah dan aksi glamor selebritis Jakarta.
“Kalau kamu memang yakin, saya dukung.” Nilasari merestui.
Beragam pertimbangan dikumpulkan. Tarmizy juga menghubungi kawan lamanya, Hotli Simanjuntak yang lebih awal berada di Aceh. Hotli bekerja sebagai stringer fotografer untuk kantor berita Agence France-Presse (AFP). Arbain Rambey merekomendasikan Hotli ketika kantor berita asing itu mencari fotografer untuk liputan Aceh. Hotli jadi stringer pertama untuk kantor berita asing yang bertugas di Aceh. Tarmizy menanyakan seputar kondisi Aceh. Persoalan keamanan bagi wartawan, liputan, hingga masalah penghasilan sebagai stringer kantor berita asing tak luput ia tanyakan.
Seminggu kemudian, giliran Tarmizy menelepon Enny dan menyatakan kesediaannya jadi stringer di Aceh. Enny memintanya ikut pelatihan singkat di kantor Reuters di Jakarta. Selama sepekan, Enny membekali Tarmizy dengan pengetahuan tentang foto-foto berita untuk konsumsi internasional. Sebab, angle foto-foto untuk majalah berbeda dengan kantor berita asing. Tarmizy juga diajarkan bagaimana memindai foto film negatif dan mengedit foto dengan Photoshop, peranti lunak pengolah citra, yang selama di Gamma tidak pernah ia pelajari.
Selama pelatihan, Tarmizy masih tetap bekerja di Gamma. Alasannya, jika ia tidak kerja, praktis tidak punya penghasilan. Ia menggunakan kamera Gamma selama pelatihan. Sebab di Reuters para stringer harus memakai kamera sendiri. Ia amat beruntung ketika kawan-kawannya di Gamma bersedia meminjamkannya kamera. Namun Enny meminta agar Tarmizy keluar dulu dari Gamma. Tarmizy menyanggupi. Tapi Enny seperti belum percaya bila ia sudah mengundurkan diri dari Gamma.
“Kamu betul sudah keluar dari Gamma?”
“Sudah.”
“Itu kamera siapa?”
“Gamma.”
“Kalau sudah keluar kenapa masih pakai kamera Gamma?”
“Syukurnya, dalam bekerja saya selalu jujur. Setelah saya keluar masih dipercaya untuk dipinjamkan. Apa perlu besok saya bawa surat pengunduran diri saya?”
“Oh, nggak perlu.”
MEDAN KONFLIK di Aceh ibarat neraka dibanding surga panggung gemerlap selebritis Jakarta. Tarmizy dipaksa beradaptasi. Wangi parfum dan wajah cantik berganti amis darah dan wajah-wajah penuh luka dan amarah. Ia berada di Aceh pada akhir April 2002 dan mulai 1 Mei Reuters resmi mengontraknya. Tapi untuk mendapat foto yang memenuhi standar internasional juga tak gampang dipahami fotografer pemula. Bekal ilmu pelatihan kilat di kantor Reuters tak cukup. Selama hampir dua bulan pertama berada di Aceh tak satu pun foto Tarmizy diterbitkan Reuters.
Di Jakarta, Enny kerap mengeluhkan hasil jepretan Tarmizy. Mereka sering adu mulut. Yang paling sering masalah angle foto. Tarmizy nyaris patah arang. Namun beberapa seniornya, seperti Edward Sinaga dan Arbain Rambey, memberikan semangat lewat telepon. Pelan-pelan, Enny juga terus memandunya. Mereka ibarat dosen jarak jauh.
“Dia mau belajar walau selalu saya kritik terus-menerus. Tidak cepat sakit hati kalau saya gembleng. Lama-lama keindahan imajinasi dia mulai keluar untuk mencipta karya yang bagus,” ujar Enny. Ia bahkan kerap meminta Tarmizy memotret ulang jika foto itu tidak sesuai standar Reuters.
Hasil jepretan Tarmizy mulai banyak diterbitkan saat meliput kontak senjata antara tentara Indonesia dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM di daerah Lhoknga, Aceh Besar. Lalu foto-foto patroli tentara Indonesia ke kampung-kampung. Foto-foto itu banyak dimuat media-media nasional dan internasional yang berlangganan Reuters.
Tarmizy makin dekat dengan daerah pertempuran.
Pada November 2002, di bawah komando Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, tentara Indonesia mengepung 50-an anggota pasukan GAM di desa Paya Cot Trieng, Aceh Utara. Beberapa wartawan dibolehkan meliput ke lokasi pengepungan setelah mendapat izin petinggi militer Indonesia di sana.
Malam itu Tarmizy masih berada Medan. Begitu mendengar berita itu, esok paginya ia buru-buru naik angkutan minibus L-300 menuju Aceh Utara. Tapi ia terlambat dua jam. Rombongan rekan-rekannya sudah masuk ke lokasi lebih dulu. Dalam angkutan, lewat sambungan telepon seluler, ia menghubungi seorang teman wartawan. Ia disarankan agar tidak nekad masuk ke lokasi tanpa ada orang wartawan lain. Jaminan keamanan nihil.
“Riskan sekali! Jangan sendirian masuk,” ujar sang teman.
Tarmizy mengabaikan saran itu. Ia ngotot naik ojek masuk lokasi. Mereka melewati pos pemeriksaan yang tak jauh dari kedai kopi.
“Bang, Abang tunggu di sini. Aman nggak?” katanya kepada tukang ojek.
“Kalau saya aman, Abang juga aman,” balas tukang ojek.
Sebelum masuk ke lokasi, ia menitipkan barang-barang yang menurutnya tak akan dibutuhkan selama meliput ke pemilik kedai. Barang yang dibawa hanya sebuah kamera saku digital yang baru ia beli, telepon genggam dan laptop.
Di pos, tentara menggeledah isi tas yang dibawa Tarmizy. Seorang petugas memeriksa nomor-nomor dalam telepon genggamnya. Petugas pos menanyakan identitas pemilik nomor itu satu persatu. Ini makin memperpanjang keterlambatannya menuju lokasi pengepungan. Kehilangan momen adalah musuh bagi para fotografer. Ia dituntut menjadi saksi mata di lapangan saat peristiwa penting berlangsung.
Tarmizy cari akal buat mengalihkan perhatian petugas. Ia menjatuhkan tas laptop. Menyenggol sepatu lars petugas. Sibuk membereskan isi tas. Petugas akhirnya mengembalikan telepon genggam Tarmizy. Mereka mengizinkan Tarmizy masuk setelah melaporkan ke komandannya yang berada di lokasi lewat radio. Di sana sudah ada Bambang Dharmono, panglima komando operasi. Orangnya tegas. Tubuhnya tegap dan tinggi. Disiplin, dan dikenal dingin terhadap wartawan.
Pengepungan berlangsung selama 40 hari. Tarmizy mengambil gambar aksi tentara Indonesia. Foto-foto itu segera dikirimnya ke kantor Reuters di Jakarta. Media-media cetak nasional menerbitkan foto-foto tersebut. Harian Kompas edisi 20 November 2002, misalnya, memuat foto lima tentara berpakaian lengkap dan senapan berjajar siaga. Foto itu dimuat di halaman satu. Hari berikutnya, harian itu juga memuat foto Tarmizy yang menampilkan seorang kakek tengah menuntun sepedanya yang mengangkut anyaman atap rumbia. Warga desa Paya Cot Trieng tersebut melintas di sebelah panser baja. Di hari akhir pengepungan, Tarmizy memotret sekitar 1000-an tentara Indonesia berseragam hijau loreng berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu patriotik buat membakar semangat. Foto itu dimuat harian berbahasa Inggris The Jakarta Post pada 11 Desember 2002.
PESISIR PANTAI timur Aceh adalah salah satu titik panas bagi wartawan. Daerah ini membentang dari Banda Aceh hingga Aceh Timur. Setelah pemerintahan Megawati Sukarno resmi menetapkan Darurat Militer di Aceh, tentara berseragam bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja keluar-masuk kampung-kampung. Operasi militer dan kontak senjata berulangkali pecah di sekitar pesisir ini.
Pertengahan Juni 2003, beberapa wartawan lokal dan nasional menginap di Hotel Vinavera dan Wisma Kuta Karang, Lhokseumawe. Sebelum berangkat meliput, sambil menyeruput kopi dan sarapan, diadakan rapat tak resmi di warung kopi. Ersa Siregar, wartawan stasiun televisi RCTI yang belakangan tewas tertembak, kerap memandu pertemuan pagi.
Saat itu tersiar kabar William Nessen tengah bersama pasukan GAM di daerah Nisam, Aceh Utara. Billy, panggilan akrabnya, adalah wartawan lepas asal Amerika Serikat. Ia memotret panglima GAM Muzzakir Manaf, mewawancarai Sofyan Dawood, atau ikut dalam gerilya pasukan GAM. Ia wartawan yang berhasil menembus ke sarang GAM. Tapi kedekatannya dengan GAM malah membuat curiga militer Indonesia. Billy dianggap membantu perjuangan pasukan GAM. Militer Indonesia memerintahkan Billy keluar dari sarang GAM dan menyerahkan diri. Bukan cuma itu, ia juga diwajibkan angkat kaki dari Aceh. Militer Indonesia mengerahkan pasukan ke Nisam. Konsentrasi untuk persiapan dan penjagaan selama penyerahan.
“Ayo, kita lihat ke sana,” usul Ersa. Wartawan ini tak hanya dihormati karena lebih senior. Naluri dan pengalaman kewartawanannya sering menjadi pelajaran bagi wartawan muda. Aksi penyerahan wartawan asing dan konsentrasi tentara Indonesia di Nisam adalah berita cukup penting untuk media internasional.
“Oke, boleh,” sambut Tarmizy, sepakat.
Konvoi kendaraan minibus yang ditumpangi para wartawan segera meninggalkan kedai kopi. Laju kendaraan minibus yang disewa Tarmizy tak mampu menembus angka 60 kilometer per jam. Selain sopir,di dalam mobil itu ada dua wartawan lokal yang bersama Tarmizy. Mobil kerap keteter dari rombongan, sampai akhirnya mereka betul-betul jauh tertinggal.
Saat mencapai daerah Nisam, hampir di tiap persimpangan Tarmizy terpaksa turun dan bertanya ke mana konvoi kendaraan wartawan berbelok. Di sebuah persimpangan, Tarmizy turun dan menemui orang-orang tua yang berada di kedai kopi. Di Aceh, hampir di tiap kampung ada kedai kopi. Tempat ini jadi ruang berkumpul dan bertukar cerita. Tapi, konflik membuat para kaum muda kampung menyingkir, cari selamat, ketimbang jadi sasaran tentara. Warga yang tersisa hanya kakek-kakek dan nenek-nenek.
Tarmizy bertanya kepada seorang bapak. Kulitnya putih, badannya kurus. Ia mengenakan kaos oblong putih dan peci khas Aceh. Usianya di atas 60-an dan lancar berbahasa Indonesia. Sebaliknya, meski orangtuanya berasal dari Indrapuri dan Montasik, Aceh Besar, Tarmizy tak lancar berbahasa Aceh.
“Pak, lihat rombongan mobil yang lewat sini? Tadi arahnya ke mana?”
Orang tua itu ragu menjawab. Di pelosok Aceh, orang lokal yang berbahasa Indonesia kerap dicurigai sebagai antek militer Indonesia. Salah omong, di masa konflik, bisa berakibat mematikan. Cuak atau mata-mata ada di mana-mana.
“Saya sedang mengikuti mobil rombongan wartawan.”
“Oh, itu wartawan? Mereka ke kanan. Apa itu wartawan semua?”
“Iya.”
Tiba-tiba, orangtua itu berbicara setengah berbisik.
“Bisa nggak tolong belok ke kiri dulu? Tolonglah…”
“Ada apa, Pak?”
“Penting kali, tolonglah ke sana dulu, Nak!”
Suaranya nyaris tidak terdengar. Mulutnya hampir tidak terbuka. Dua wartawan dan sopir masih berada dalam mobil.
“Ada apa, Pak?” Tarmizy bertanya lagi.
“Ada orang meninggal di pohon,” ujarnya, sembari celingak-celinguk.
“Oh…” Tarmizy agak ragu. “Tapi Pak, saya ini masih ada tugas lain di depan sana. Nanti kalau sudah selesai, saya balik lagi.”
Orang tua itu terus memaksa.
“Pak, kalau di depan sana ada apa-apa, pertama saya ini sendiri. Ini menyangkut keamanan saya. Kalau saya ke sana dapat berita tapi saya nggak aman, untuk apa, Pak? Saya ke depan dulu, nanti saya ajak kawan-kawan ke sana.”
“Betul ya, Nak? Saya minta tolong sekali.”
“Iya, Pak. Saya janji.”
RISIKO HILANG nyawa para wartawan di wilayah konflik tak pernah bisa dihargai dengan apa pun. Ancaman bom hingga penculikan selalu menghantui kerja mereka. International Federation of Journalist mencatat bahwa sebanyak 46 wartawan tewas sepanjang tahun 2002. Kasus pembunuhan Daniel Pearl, reporter The Wall Street Journal, pada 21 Februari 2002 adalah yang paling menggemparkan dunia. Wartawan Amerika ini diculik dan dibunuh secara brutal ketika sedang melakukan investigasi jaringan teroris internasional Al Qaeda di Pakistan. Lalu ada Beata Pawlak wartawan asal Polandia yang ditugaskan harian Gazeta Wyborcza untuk menggali jaringan teroris di Indonesia. Ia adalah salah satu dari 190-an korban yang tewas dalam peristiwa ledakan bom Bali pada bulan Oktober 2002. Daftar ini seperti alarm peringatan bagi wartawan agar bekerja lebih hati-hati.
Begitu pula Tarmizy. Ia tak mau ambil risiko berbahaya dengan mendatangi lokasi “orang meninggal di pohon”. Ia mesti mengajak beberapa rekannya untuk memeriksa kebenaran informasi yang disampaikan orangtua di muka kedai kopi. Setelah bertemu dengan rombongan kendaraan wartawan, ia mengabarkan hal itu ke seorang rekannya. Tapi responnya negatif. Kabar itu ditanggapi sebagai isu belaka. Tarmizy segera melontarkan laporan orangtua itu kepada Ersa Siregar.
“Di mana?” tanya Ersa.
Tarmizy buru-buru membeberkan lokasinya. Ersa setuju ke sana. Tapi ia tak punya banyak waktu. Ersa mesti siaran sore hari. Ia juga mesti minta persetujuan wartawan lain dalam rombongan.
“Kalau kawan-kawan nggak mau, gimana?”
“Kalau ada satu orang yang ikut, saya akan ke situ. Bang Ersa mau?”
“Oke. Mobil kamu di depan.”
Siang itu konvoi mobil segera menuju ke persimpangan dan mendatangi orang tua yang sebelumnya ditemui Tarmizy. Mobil yang ditumpangi Tarmizy tiba lebih dulu. Lalu mobil Ersa dan mobil lainnya. Ada sekitar tujuh kendaraan dengan total wartawan lebih dari 20 orang.
“Di mana lokasinya, Pak? Berapa jauh?” tanya Tarmizy.
“Terus lurus, sebelum jembatan. Nggak sampai lima kilo.”
Tarmizy segera berdiskusi dengan Ersa.
“Berapa lama, Ji?”
“Nggak sampai lima belas menit katanya, Bang.”
“Oke bisa. Kalau kawan-kawan nggak bisa ikut, kita berdua,” balas Ersa.
Ternyata perkiraan orang tua itu meleset. Lokasi itu jauh lebih dekat. Tempat ini berada di wilayah Dusun Batee Leusung, Desa Seumirah, Nisam. Sepi. Tak ada rumah. Kanan-kiri jalan ditumbuhi pohon pinang dan belukar setinggi paha. Tarmizy dan Ersa turun dari mobil dan jalan pelan-pelan. Mereka bertemu seorang bapak dan anak perempuannya. Abdullah Adam dan Farida. Belakangan diketahui, keduanya adalah keluarga dari orang yang tewas di pohon.
“Di mana, kak?”
“Arah ke sana,” jawab Farida sambil menunjuk sebuah titik di kawasan kebun pinang yang lama tidak terawat karena konflik.
Tarmizy mendekati lokasi. Ersa di belakangnya. Teman-teman menunggu di mobil yang parkir di pinggir jalan. Tiba-tiba langkah Tarmizy terhenti. Sekira 10 meter di depan tempatnya berdiri, ia melihat sosok lelaki nyaris telanjang berkulit kecoklatan. Lelaki itu hanya mengenakan celana dalam dan terikat di pohon pinang. Lehernya yang terikat belitan kain kusam nyaris putus menahan berat tubuhnya yang melorot jatuh ke tanah. Kedua tangannya terikat ke belakang. Darah kental bercucuran dari wajah, dada, perut hingga ke kaki. Mulut tersumpal alang-alang.
“Itu, Bang.” Tarmizy tak melanjutkan langkahnya. Lemas.
“Mana?”
“Itu, Bang. Di depan.”
“Mana?”
“Itu di depan saya.”
Ersa mendekat, tapi masih belum melihat. Pandangannya tertutup alang-alang.
“Yang mana?”
“Itu, Bang di depan saya!” Tarmizy menunjuk mayat lelaki itu.
Wartawan yang berada dalam mobil kontan turun. Berhamburan mengelilingi tubuh korban. Ambil gambar. Jeprat-jepret!
Tarmizy masih syok. Ia baru sadar setelah wartawan lainnya mengambil gambar.
Setelah kelar memotret, beberapa wartawan segera menghampiri dan mewawancarai Abdullah Adam dan Farida. Ersa Siregar, Aboeprijadi Santoso dari Radio Netherland, Zainal Bakri dari Tempo, Citra Dyah Prastuti dari Kantor Berita Radio 68H dan wartawan lain. Mayat lelaki itu bernama Muzakkir Abdullah. Usianya sekitar 20-an tahun. Farida bercerita soal peristiwa penculikan adiknya oleh tentara pada malam sebelumnya.
Tarmizy masih sibuk memotret. Ia mengambil gambar dari beberapa sudut. Depan. Belakang. Samping. Beberapa kerabat dan tetangga korban berdatangan. Membawa tikar pandan dan kain. Farida dan perempuan lainnya bertangisan. Tarmizy memotret Farida yang sesunggukan membersihkan darah di wajah mayat adiknya. Tarmizy memotret mayat dari arah belakang. Seorang perempuan kerabat Farida, mengenakan sarung dan menggendong bocah balita, memperhatikan Farida dengan wajah sedih.
Sebelumnya Ersa juga mengingatkan agar kawan-kawannya mengambil dari belakang. Agar tidak vulgar. Tapi ada juga wartawan yang memfoto dari depan. Akhirnya Tarmizy pun ikut ambil dari depan. Ia membayangkan betapa brutal penyiksaan dialami pemuda korban ini. Ketika tengah mengambil gambar, terlintas di benaknya mengapa mayat ini tidak segera dilepas dari ikatannya. Ia kesal. Lantas bertanya kepada ayah korban. Tapi, orang tua korban beralasan dengan mengutip perintah yang pernah didengar dari tentara Indonesia agar tidak mendekati sesuatu yang aneh. Tarmizy kontan mendesak agar ayah korban segera menghubungi kepala kampung dan semua laki-laki di kampung. Meminta agar jenazah segera diurus dan dimakamkan.
“Ini mumpung masih ada kami! Kalau nggak ada lagi kami di sini, kalian nggak berani lagi.” Tarmizy tak bisa menahan emosi. Ia memperkirakan, Muzakkir tewas sekitar 12 jam lalu.
Tarmizy mengambil gambar pelepasan ikatan jenazah. Ia berharap juga bisa mendokumentasikan momen pemandian hingga pemakaman Muzakkir. Tapi Ersa yang mengejar waktu tayang berita segera meninggalkan lokasi. Beberapa wartawan lain ikut menyusul. Mobil yang ditumpangi Tarmizy lagi-lagi berada paling belakang. Foto-foto dikirim menjelang magrib lewat sebuah wartel di Lhokseumawe. Listrik putus, warung-warung internet tak memiliki generator listrik.
Selama beberapa bulan hilir mudik melewati pesisir timur, dari Medan ke Banda Aceh atau sebaliknya, Tarmizy kerap teringat foto jenazah Muzakkir Abdullah. Saban mobil yang ditumpanginya melewati kebun-kebun pinang, ia selalu mengalihkan pandangan.
JAKARTA, PERTENGAHAN Januari 2004. Enny berdiskusi dengan Darren Whiteside, staf fotografer, di kantor Reuters. Enny berniat mengikutsertakan isu konflik di Aceh dalam World Press Photo. Pertimbangannya, sebagian isu Aceh menjadi headline koran-koran dunia. Tahun 2003, bisa dibilang tahun perang. Dari invasi Amerika ke Irak hingga Aceh menghiasi laporan media massa. Foto-foto dari Reuters tentang konflik Aceh yang banyak dimuat media-media itu adalah foto jepretan Tarmizy.
Enny dan Darren berunding dan memilih foto-foto terbaik Tarmizy. Mereka sampai pada kesimpulan untuk menyertakan foto pembantaian Muzakkir Abdullah di Nisam. Enny segera menelepon Tarmizy. Ia minta file asli foto-foto itu.
“Untuk apa?” sore itu Tarmizy berada di Medan.
“Untuk diikutkan dalam lomba World Press Photo,” ujar Enny.
Malamnya, untuk kedua kalinya setelah pengiriman foto pertama, Tarmizy melihat foto-foto Nisam yang tersimpan di laptopnya. Ia segera memilih dan mengirimkan tiga-empat foto ke alamat email Enny. File foto-foto itu berukuran cukup besar. Internet lambat. Menjelang subuh foto-foto baru selesai dikirim.
Ini ajang bergengsi paling besar untuk kontes fotojurnalistik. Pemerintah Belanda amat mendukung kegiatan ini sekaligus mempromosikan wisata Belanda. Kontes ini diadakan setiap tahun sejak 1955 untuk memilih foto-foto terbaik dari seluruh dunia. Pengumuman hasil kontes disiarkan pada bulan-bulan awal setiap tahun.
Wartawan Indonesia yang pernah menjadi dewan penasehat dalam kontes internasional ini adalah Mochtar Lubis. Wartawan harian Indonesia Raya ini juga menjadi anggota dewan juri pada tahun 1980. Beberapa wartawan Indonesia pernah mendapat penghargaan bergengsi ini. Piet Warbung, wartawan Associated Press, dapat penghargaan ini sekitar tahun 1967-an. Lalu Kartono Ryadi, wartawan Kompas, bahkan dua kali memperolehnya, yaitu di tahun 1974 dan 1980. Zaenal Effendi, wartawan harian Angkatan Bersenjata, yang kemudian bergabung di Kelompok Kompas Gramedia, meraih penghargaan tadi tahun 1977. Donny Metri Darwin, wartawan mingguan Tempo, meraihnya tahun 1993. Terakhir wartawan Jawa Pos, Sholihuddin, yang jadi juara pertama untuk kategori Spot News Singles Photo tahun 1995.
Meski sudah ada panduan penilaian, setiap tahun kriteria Photo of The Year selalu berganti. Ini terutama bergantung pada penilaian anggota dewan juri. Tahun 2003, Elisabeth Biondi, ketua dewan juri yang juga redaktur visual majalah The New Yorker punya penilaian tinggi terhadap foto yang berhasil menarik perhatian dari keadaan tertentu dan menyentuh lewat simbol visual yang memaparkan fakta.
Tahun 2003 memang tahun perang, tapi fotojurnalistik itu tidak mesti menampilkan situasi kontak senjata langsung. Kekejaman perang bisa ditampilkan dalam aneka warna dan bentuk. Barangkali ini sejalan dengan pemikiran fotografer yang langganan dapat penghargaan bergengsi Pulitzer, Peter Turnley, yang dimuat dalam jurnal Nieman Reports tahun 2001. Di edisi khusus “Coverage Terrorism”, Turnley menulis pengalamannya meliput selama sepuluh hari pasca tragedi runtuhnya gedung World Trade Center, 11 September 2001. “Terutama dalam situasi perang,” kata Turnley, “gambar-gambar penting bukan yang ada di tengah tembak-tembakan; gambar-gambar itu ada setelah pertempuran, tatkala seseorang menyaksikan dampaknya terhadap manusia.”
Jumat petang, 13 Februari 2004, telepon genggam Tarmizy berbunyi. Ia tengah berada di kendaraan.
“Selamat ya. Kamu menang World Press Photo,” ujar Enny lewat telepon. Ia ikut bangga, fotografer yang dibimbingnya meraih penghargaan internasional. Tarmizy adalah fotografer Reuters di Indonesia yang pertama mendapat penghargaan ini.
“Ah, yang benar?” Tarmizy tak percaya.
“Iya, benar!”
Tarmizy masih sangsi. Begitu tiba di rumah, ia membuka situs World Press Photo. Di situ ia melihat foto Jean Marc Boujou, fotografer Associated Press, yang terpilih menjadi World Press Photo of The Year 2003. Foto Boujou menggambarkan seorang lelaki Irak yang menjadi tawanan tentara Amerika tengah memeluk anaknya. Kepala lelaki itu tertutup kantong hitam. Tarmizy berhasil menemukan namanya terpampang. Fotonya mendapat penghargaan Honorable Mention kategori Spot News Singles Photo.
PAMERAN WORLD Press Photo 2003 berlangsung di kota Amsterdam, Belanda. Selain memamerkan foto-foto para pemenang, di situ juga digelar jumpa pers dan seminar. Para pemenang berbagi pengalaman dengan fotografer lain maupun para pengunjung. Acara itu digelar selama sepekan.
Tarmizy mendapat kesempatan terbang ke Belanda dan mengikuti pameran World Press Photo. Ia bertemu Jean Marc Boujou dan fotografer internasional lainnya. Walau menang, Boujou rendah hati dan memberi apresiasi tinggi terhadap fotografer yang bertugas di wilayah konflik. Tarmizy ikut kagum. Ia jadi makin yakin dengan jalan yang dipilihnya sebagai fotografer.
Namun sebulan setelah kembali ke Aceh, newsletter Aceh Media Watch mengkritik habis foto Tarmizy. Penulis opini dalam media itu menilai Tarmizy sebagai fotografer yang mengeruk popularitas, penghargaan dan bersenang-senang ke Amsterdam atas penderitaan orang lain.
Tarmizy dituding sebagai fotografer yang tak punya hati. Penulis opini juga mempertanyakan mengapa ia tidak lebih dulu menolong dan melepaskan korban dari ikatan di pohon pinang sebelum diambil fotonya. Si penulis opini membandingkannya dengan Kevin Carter, fotografer Reuters yang bertugas di Afrika.
Ketika tragedi kelaparan melanda Sudan awal tahun 1990an, Carter memotret foto seorang bocah Sudan yang kurus-kering sedang duduk tertunduk menahan lapar. Di belakang bocah malang itu berdiri seekor burung nazar yang seperti tengah menunggu kematiannya. Foto itu dimuat pada halaman utama media-media di dunia. Dunia bereaksi terhadap bencana kelaparan di Sudan. Carter mendapat hadiah Pulitzer atas foto dramatis itu. Namun kemenangannya dan penghargaan atas foto itu dihujani kritik. Carter dituduh sebagai manusia tak bermoral. Beberapa minggu kemudian Carter ditemukan tewas. Fotografer berumur 33 tahun itu bunuh diri akibat menghisap gas karbon monoksida dalam mobil pikapnya.
Tarmizy terkejut membaca opini itu. Selama seminggu ia bimbang. Tertekan. Ia minta pendapat beberapa seniornya. Salinan opini itu juga ia kirim melalui faksimili kepada Enny di Jakarta.
“Tidak usah didengar,” ujar Enny lewat telepon. “sebelumnya sudah banyak omongan-omongan jelek soal itu.”
Bea Wiharta, fotografer Reuters lainnya, mendukung Tarmizy. Bea menyarankan agar ia menulis surat keberatan. Belakangan Tarmizy memilih diam. Tak mau berpolemik. Ia mengabaikan kritik itu. Sebaliknya, ia juga tidak ingin nasib dan kariernya berujung seperti Carter. Ia menilai, efek dari foto memiliki kekuatan dan manfaat yang jauh lebih besar. Ia berpegang pada prinsip bahwa Tuhan menciptakan beragam manusia dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan tugasnya sebagai fotografer adalah mendokumentasikan dan mengabarkan kepada dunia dampak kekejaman konflik yang terjadi di Aceh.
“SAYA BERPIKIR, andai penghargaan itu berbentuk uang tunai, saya akan membagi hadiah itu kepada mereka. Tapi ternyata tidak ada, ini bukan grand prize,” ujar Tarmizy kepada saya.
Malam itu, di muka Kantor Biro Antara Banda Aceh, saya bersama-sama wartawan lainnya baru selesai membuka-buka halaman buku Inferno karya James Nachtwey milik Tarmizy. Saya juga melihat foto-foto jepretan Tarmizy pasca bencana tsunami.
Hotli Simanjuntak menilai, Tarmizy termasuk fotografer hebat.
“Apalagi foto dari Aceh bisa dapat nominasi WPP. Aceh memang pantas karena isu-isu Aceh jadi isu internasional. Dari foto Meji (Tarmizy) itu, dunia jadi tahu ada pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Aceh. Sebelumnya, yang dikenal dari Indonesia kan cuma Bali,” kata Hotli.
“Dia nggak pernah jaga jarak dengan fotografer-fotografer muda. Bahkan setelah dia memenangkan sebuah penghargaan foto jurnalistik tingkat dunia sekalipun,” ujar Binsar Bakkara, fotografer Associated Press.
Penghargaan itu tak membuat Tarmizy menepuk dada. Ia belajar seperti Jean Marc Boujou dan fotografer internasional lainnya yang rendah hati. Ia juga berniat untuk membantu keluarga almarhum Muzakkir Abdullah.
“Sampai sekarang, niat itu masih saya simpan. Mungkin kalau ada rezeki lain. Apalagi sampai sekarang saya juga belum pernah bertemu keluarga korban lagi. ***

No comments:
Write komentar