Sumber daya alam adalah salah satu
faktor utama yang melandasi perjuangan kemerdekaan di Aceh. Tetapi perampasan
serakah selama beberapa dekade menyebabkannya habis terkuras.
Pembunuhan keji terhadap, Jaffar Siddiq
Hamzah, seorang aktivis HAM dengan reputasi internasional, mengingatkan dunia
bahwa ujung utara pulau Sumatra masih menjadi tempat berbahaya. Pembunuhan,
penghilangan paksa dan penyiksaan tetap berlangsung meskipun pemerintah Indonesia
dan pemimpin gerakan kemerdekaan Aceh telah menandatangani kesepakatan “jeda
kemanusiaan” pada bulan Juni tahun ini. Peperangan di Aceh–yang telah
berlangsung sejak akhir tahun 1980-an—telah menyebabkan ribuan orang kehilangan
nyawa mereka. Sementara itu, puluhan ribu lainnya terpaksa meninggalkan kampung
halaman dan mata pencaharian.
Pada saat yang sama, eksploitasi sumber
daya alam selama beberapa dekade telah menyebabkan hutan-hutan, pantai hutan
rawa dan perikanan di Aceh dalam keadaan krisis. Pola dasar perusakan sumber
daya alam secara sistematis ini adalah hal yang sangat umum terjadi di
pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sementara itu, konflik bersenjata dan
kehadiran militer secara besar-besaran menambah tekanan yang semakin memperumit
persoalan yang ada.
PT. Arun NGL Lhokseumawe
Otonomi
Pada saat aksi terror dan intimidasi
militer terus berlangsung di Aceh, tanggapan pemerintahan Abdurahman Wahid
terhadap tuntutan kemerdekaan adalah tawaran kepada rakyat Aceh untuk lebih
leluasa menjalankan urusan mereka sendiri dan mendapatkan bagian pendapatan
yang lebih tinggi dari indutri-industri yang berbasis di Aceh. Bagi masyarakat
Aceh, sebagaimana di Papua Barat di mana tuntutan gerakan kemerdekaan sangat
kuat, janji pemerintah adalah ‘otonomi khusus’. Tujuannya adalah untuk memotong
aspirasi kemerdekaan –dimana Jakarta memandangnya sebagai akibat tindakan
“elemen-elemen separatis fanatik” dan bukan sebagai keinginan mayoritas
penduduk seperti yang diutarakan para pimpinan kemerdekaan di Aceh dan Papua.
Pemerintah di Jakarta –khususnya pihak
militer- sekarang ini semakin kuat untuk menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah
negara kesatuan. Ini merupakan pesan yang sangat jelas kepada Aceh, Papua Barat
dan masyarakat internasional bahwa mereka tidak akan memberi toleransi terhadap
berbagai bentuk gerakan yang menuntut kemerdekaan.
“Otonomi khusus” menegaskan pengalihan
kekuasaan yang lebih besar dibandingkan kebijakan otonomi daerah semata yang
sedianya akan mulai diterapkan pada awal tahun depan. Dalam kebijakan ini,
pemerintahan lokal –kebanyakan pada tingkat kabupaten- akan menerima bagian
pendapatan lebih besar dari industri-industri yang berbasis di wilayah mereka.
Meskipun demikian -apabila memang ada- masih belum jelas apa yang sebenarnya
akan ditawarkan kepada Aceh dan Papua Barat sebagai tambahan. Pada bulan
Agustus lalu, Presiden Wahid telah menjanjikan bahwa Undang-Undang Otonomi
Khusus di Aceh sedang dalam persiapan dan akan segera siap pada akhir tahun
ini. Tetapi janji tersebut bukanlah suatu jaminan yang bisa segera direlalisasikan.
(Lihat DTE 46 untuk uraian tentang masalah otonomi daerah).
Terdapat skeptisisme yang tinggi di
seluruh Indonesia tentang sejauh mana Jakarta benar-benar bermaksud akan
mengalihkan kontrol keuangan mereka kepada pemerintah lokal sesuai dengan ketentuan
otonomi daerah. Para menteri yang memiliki komitmen kuat menerapkan kebijakan
otonomi tersebut menghadapi hambatan-hambatan ekonomi dan politik yang serius.
Tak kurang pula kekhawatiran yang menyatakan bahwa pengalihan kontrol keuangan
kepada daerah akan menyebabkan Jakarta kekurangan dana untuk membiayai
pembayaran hutang nasional yang besar.
Tidak cukup dengan pendapatan yang lebih besar
Tekanan memisahkan diri dari Indonesia semakin
bergema di Aceh dengan kemunculan gerakan referendum berbasiskan kekuatan
masyrakat sipil. Gerakan ini semakin mengkristal pada tahun 1998 saat para
mahasiswa memanfaatkan kesempatan situasi politik yang labil setelah
mundurnya Suharto. Mereka segera menuntut perbaikan-perbaikan bagi Aceh. Pada
bulan Desember 1998, kelompok mahasiswa, KARMA, memberikan Presiden Habibie
ultimatum selama 30 hari untuk menjawab tuntutan mereka. Tuntutan yang
dilontarkan meliputi pembagian 80% pendapatan untuk Aceh dan otonomi luas.
Termasuk juga di dalamnya adalah penyelidikan terhadap pelanggaran HAM,
hukuman bagi para pelaku dan membebaskan para tahanan politik Aceh. Kegagalan
menjawab tuntutan tersebut akan mendorong lahirnya tuntutan untuk menyerukan
referendum untuk kemerdekaan. (Waspada 19/12/98 dalam DTE 40:14)
Habibie tidak memberikan tanggapan dan kesempatan
penting melakukan dialog pun sirna. Sejak saat itu, gerakan referendum
menjadi semakin terorganisir baik dan melibatkan gerakan masyarakat sipil
yang lebih luas dibawah pimpinan SIRA, (Sentra Informasi Referendum Aceh),
sebuah organisasi yang dibentuk pada bulan Februari 1999. Meningkatnya
kekejaman militer di Aceh sejak waktu itu sampai dengan pemilu tahun 1999,
serta kegagalan Presiden Wahid untuk mencari solusi masalah tersebut semakin
memperkuat gerakan tersebut.
Meskipun demikian, tumbuhnya gerakan masyarakat
sipil yang kuat dengan komitmen menuju kemerdekaan telah menjadi target baru
pihak militer. Para pekerja kemanusiaan, pembela HAM, akademisi dan aktivis
lingkungan semakin terancam jiwanya seperti yang dibuktikan dalam kasus
pembunuhan Jafar. Selain itu, terdapat berbagai laporan tentang para aktivis
yang diintimidasi dengan ancaman mati, dilecehkan dan disiksa di tempat kerja
mereka oleh pasukan brimob. Pada bulan Juni tahun ini, Sukardi, seorang
aktivis dari kelompok pengembangan lingkungan dan masyarakat, Yayasan Rumpun
Bambu, menghilang di kecamatan Sawang, Aceh Selatan. Tubuhnya yang penuh
bekas siksaan ditemukan beberapa hari kemudian. (Tapol Bulletin 159:2).
Situasi seperti ini telah menyebabkan berbagai alternatif
selain kemerdekaan semakin tidak dapat diterima. Apabila pemerintah tidak
menunjukkan komitmen yang yata untuk memenuhi tuntutan dasar rakyat Aceh
terhadap penghargaan HAM dan otonomi, tak ada alas an untuk melihat
berubahnya situasi yang ada.
|
Di Aceh, pendapatan utama daerah
tersebut bersumber pada gas alam. Penambangan gas di Aceh, baik di daratan
maupun lepas pantai, diolah menjadi gas alam cair (LNG) di Lhokseumawe. Jumlah
produksi penambangan tersebut telah memberikan sumbangan sebesar 30% dari total
ekspor gas dan minyak Indonesia. Proses pengolahan LNG sekarang ini dilakukan
oleh Exxon Mobil dan Pertamina.
Berdasarkan aturan otonomi daerah, 30%
pendapatan yang berasal dari gas dialokasikan untuk daerah yang memproduksinya
(berbeda dengan sumber pendapatan non-migas lainnya yang mencapai 80%). Secara
sekilas, kebijakan tersebut akan memberi sumbangan pendapatan besar bagi Aceh.
Dalam suatu pengandaian, dinyatakan bahwa Aceh di bawah “otonomi khusus” akan
mendapatkan bagian yang lebih besar. Menurut salah seorang ilmuwan, jika Aceh
mendapatkan hanya 50% dari pendapatan yang berasal dari migas, jumlah itu sudah
cukup untuk mendanai pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh
penduduknya.
Meskipun demikian, dengan mengandaikan
di bawah “otonomi khusus” Aceh akan mendapat tawaran yang lebih baik dengan
prospek pendapatan yang besar akan menimbulkan pandangan yang keliru. Hal ini
dikarenakan pengandaian tersebut mengabaikan bahwa tingkat pendapatan sekarang
ini didapat secara tidak berkelanjutan. Hutan kayu, hutan rawa, dan cadangan
ikan sudah berada dalam kondisi yang sangat buruk. Cadangan gas dan mineral
liannya juga bukannya tidak terbatas. Berdasarkan salah satu perkiraan,
cadangan gas akan segera habis dalam jangka waktu sepuluh tahun, yang dengan
demikian akan mengurangi secara drastis pendapatan potensial Aceh.
Janji pendapatan yang lebih besar ini
juga tidak memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan yang timbul akibat
pengurasan sumber daya alam tersebut. Sebagai contoh, selama lebih dari tiga
dekade eksploitasi gas, kerugian kesehatan, kerusakan lingkungan dan hilangnya
penghidupan belum pernah dihitung. Dalam berbagai kesempatan, ketika masayrakat
mengujukan tuntutan terhadap kerusakan lahan, tanaman dan milik berharga lainnya,
mereka senantiasa kalah di pengadilan.
Belum lagi dimasukan pula biaya hak
asasi manusia yang tinggi akibat hubungan erat antara industri-industri
tersebut dengan pihak militer Indonesia dalam penghitungan pendapatan tersebut.
Dalam kasus Exxon-Mobil dan Pertamina, berikut ini adalah gambaran tentang
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer dengan menggunakan
fasilitas perusahaan: bangungan yang digunakan sebagai tempat penyiksaaan,
buldoser yang digunakan untuk menggali kuburan massal dan jalan-jalan
perusahaan yang digunakan untuk membawa para korban. Pada bulan Oktober 1999,
kelompok-kelompok LSM menuntut Mobil dan PT Arun agar membayar kompensasi dan
merehabilitasi para korban pelanggaran HAM yang dilakukan pihak militer dengan
dukungan perusahaan. Mereka juga menuntut bahwa perusahaan harus meminta maaf
kepada rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh. Naumn, sampai sekarang ini tak
ada kompensasi dan permintaan maaf yang terwujudkan (Lihat DTE 39 dan DTE 40: 13 untuk gambaran lebih mendalam tentang
kasus Exxon-Mobil ).
Tanggapan Exxon-Mobil mengenai serangan
yang terjadi belakangan ini terhadap instalasi pabrik mereka, kembali
menegaskan “komitmen perusahaan terhadap Indonesia” dan keinginannya melakukan
investasi lebih besar di Indonesia. Ketika delegasi kedutaan Amerika Serikat
menyatakan kepada LSM bahwa Aceh yang akan mengalami kerugian apabila perusahan
dipaksa untuk menghentikan operasinya, WALHI cabang Aceh menjawab bahwa Aceh,
“sebagai bangsa yang tengah menjadi” akan mendapat keuntungan lebih besar bila
operasi itu dihentikan “dan dengan demikian akan tersisa sesuatu bagi generasi
masa depan Aceh …” (Sumber: S.Tiwon: 'From East Timor to Aceh: the
Disintegration of Indonesia?' Bulletin of Concerned Asian Scholars Nos.
1 and 2 (2000) p98. Kutipan terhadap WALHI Aceh terdapat di DTE 45:16; Jakarta
Post 31/5/2000, AFP 7/Aug/00).
Pengurasan Aset
Penggunaan sumber daya alam di Aceh – seperti
juga di pulau-pulau lainnya – masih dan tetap dilakukan dengan cara yang tidak
berkelanjutan. Selain itu, ia juga menyebabkan kehancuran lingkungan dan
social. Selama tahun-tahun di bawah kekuasaan Suharto, asset sumber daya alam
Aceh dikuras secara sistematis. Wilayah hutan, yang secara tradisional dimiliki
oleh masyarakat adat yang bertani di hutan, dipilah-pilah menjadi wilayah
penebangan besar dan konsesi-konsesi perkebunan yang diperkirakan meliputi 75%
dari seluruh luas tanah di Aceh.
lahan sawit perusahaan asdal, Aceh Selatan-Subulssalam
Usaha-usaha ini –yang sampai sekarang
masih terus berlangsung- sebagian besar dikuasai para elit pengusaha Jakarta
yang memiliki hubungan dekat dengan Suharto. Termasuk di antara para pemegang
konsesi ini adalah kroni dekat Suharto, Bob Hasan –yang tengah menghadapi
pengadilan di Jakarta- (perusahaannya termasuk PT Alas Helau dan PT Tusam
Hutani Lestari yang beroperasi di Aceh Tengah dan Utara) dan Sukanto Tanoto
dengan konglomerasi Raja Garuda Mas yang memiliki PT Bayben Woyla, sebuah
perusahaan kayu yang beroperasi di Aceh.
Raja Garuda Mas juga memilki pabrik pulp
Indorayon dan Riau Andalan di Sumatra Utara dan Riau. Keduanya sekarang ini
sedang terlibat dalam masalah polusi dan sengketa tanah. Penebangan serakah ini
telah menyebabkan timbulnya konflik dengan penduduk setempat dan menimbulkan
persoalan-persoalan lingkungan yang serius.
Pabrik pupuk Urea
Selama tahun 1980-an saja, banjir dan
longsor tanah telah menimbulkan korban jiwa di Aceh. Situasi menjadi semakin
buruk melewati tahun 1990 ketika serangkaian banjir melanda Aceh Selatan dan
Barat Daya. Banjir tersebut menghancurkan lahan persawahan, menyapu bersih
rumah dan barang-barang penduduk. Ribuan orang, yang sawah padinya hancur,
terancam kekurangan pangan di wilayah yang secara tradisional merupakan tempat
surplus beras.
Penebangan gelap secara umum disebut
sebagai sumber petaka tersebut dan perusahaan, aparat militer setempat, polisi
serta pejabat pemerintah saling menyalahkan satu sama lainnya tentang siapa
yang bertanggungjawab terhadap persoalan itu. Termasuk pula penduduk setempat
yang dituduh mencuri kayu dari lahan konsesi.
Tindakan-tindakan yang dilakukan selama
ini hanya diarahkan pada penduduk setempat. Dalam salah satu kasus, PT Hargas
Industri Timber di Tapak Tuan, Aceh Selatan, meneror penduduk lokal, membakar
gubuk mereka, menuduh mereka sebagai pencuri kayu, menyita gergaji milik
penduduk dan menolak akses mereka terhadap sumber daya hutan. Sebagai balasan,
penduduk setempat membakar base-camp PT South Aceh.
Menurut data pemerintah Aceh pada saat
itu, 10 pemegang konsesi penebangan menebang sekitar 600.000 hektar di
hutan-hutan yang melingkupi dua wilayah kabupaten di Aceh Selatan dan Aceh
Barat semat. Sedangkan, 60% sumber daya alam sebelumnya sudah dieksploitasi
(Lihat DTE 9:8; & DTE 12; 1-2 serta Walhi
Aceh ‘HPH Hargas Industries Dihentikan Operasinya 11/98).
Perusahaan-Perusahaan
Penebangan Kayu di Aceh
|
|
Perusahaan-Perusahaan Kayu (HTI)
|
Aceh Selatan:
|
Kabupaten lainnya di Aceh:
|
Perusahaan-perusahaan yang
memegang konsesi hutan:
|
PT Asdal
PT Dina Maju
PT Graha CitraPT Gruti
PT Hargas Industri Timber
PT Lembah Bakti
PT Medan Remaja Timber
PT Wajar Corp
|
PT Aceh Inti Timber
PT Aceh Prima Plywood
PT Alas Aceh Perkasa
PT Alas Helau
PT Baybem Woyla
PT Lamurl Timber
PT Narindu
PT Overseas Lumber Indonesia
PT Tjipta Rimba Jaya
PT Truasamas Karya Inti
PT Wiralanau
|
PT Aceh
Nusa Indra Puri (pulp)
PT Aceh Swaka Wana Nusa (pulp)
PT Rimba Timur Sentosa (transmigrasi)
PT Tusam Hutani Lestari (pulp)
PT Rimba Penyangga Utama (transmigrasi)
|
|
Pulp
Pabrik pulp pertama di Aceh dibangun
oleh PT Kertas Kraft Aceh milik Bob Hasan pada tahun 1982. Perusahaan ini juga
memasukan anak Suharto, Sigit Harjojudanto dan mantan Direktur Pertamina, Ibnu
Sutowo, diantara para investornya. Sumber pasokan bahan mentah PT Kertas Kraft
disediakan oleh PT Alas Helau yang melakukan penebangan kayu pinus di Aceh
Tengah. Pada pertengahan tahun 1980-an dan awal 1990-an, dilaporkan terjadi
sengketa terhadap masalah pembayaran kompensasi. Penduduk setempat berusaha
mendapatkan pembayaran terhadap tanah mereka yang diambil untuk dijadikan jalan
dan kayu konsesi.
Penebangan hutan pinus itu sendiri
berpengaruh negatif terhadap lingkungan, termasuk erosi dan lumpur yang
memenuhi sungai dan Danau Laut Tawar di dekatnya. Penebangan tersebut juga
mempengaruhi iklim mikro setempat dan mempengaruhi produksi kopi di sekitarnya.
Pembangunan jalan yang dilalui oleh truk menyebabakn polusi debu dan suara dan
mempengaruhi penanaman setempat dan jumlah ikan di danau, menyebabkan longsoran
Lumpur yang menyebabkan kehancuran tanah pertanian. Penduduk setempat juga
dipaksa menjual tanah mereka untuk pembangunan jalan dengan harga rendah.
Pembangunan pabrik baru yang
menghasilkan 300.000 ton/tahun sudah diumumkan pada pertengahan tahun 1990-an
oleh PT Takengon Pulp & Paper yang akan memulai aktivitasnya pada tahun
2003. Proyek ini dijalankan oleh pengusaha raksasa Ibrahim Risyad, yang
mendapatkan lahan hutan seluas 165.000 untuk membangun perusahaan kayu yang
akan menjadi pemasok bahan baku bagi pabrik tersebut.
(Sumber: Analisa 5/Feb/00 yang disebarkan oleh PASe dan Sawit
Watch; Lihat juga DTE: "Pulping the Rainforest,"
Juli 1991 dan G. Aditjondro: www.munindo.brd.de/george/Aceh3.html; Green News ICEL, 31/May/96 dalam DTE 29/30:11)
Setelah Suharto
Sumber daya alam Aceh semakin mengalami
kerusakan parah selama masa-masa kacau dan libatan krisis di bawah pemerintahan
sementara Habibie. Periode tersebut adalah masa-masa ketika masyarakat yang didukung
mahasiswa dan LSM di seluruh Indonesia mulai menggugat secara terbuka
pelanggaran HAM di masa lalu dan menuntut perusahaan-perusahaan untuk
memberikan ganti rugi. Sejak saat itu, Aceh memasuki periode aksi militer yang
menegangkan meskipun ada kebijakan untuk melakukan rekonsiliasi dan
de-militerisasi.
Selama periode ini, kita menyaksikan
serangkaian pembunuhan massal serta dimulainya evakuasi massal penduduk desa
(lihat juga dibagian bawah tulisan ini). Di Aceh Selatan, organisasi baru yang
dibentuk dengan nama Rimueng Lamkaluet mengancam akan membakar seluruh konsesi
penebangan kayu di kabupaten tersebut apabila kementrian kehutanan tidak
mencabut lisensi operasi sembilan perusahaan kayu pada bulan Oktober 1998.
Meskipun terbatas, ancaman tersebut rupanya membuahkan hasil.
Pada bulan November tahun tersebut,
suatu pertemuan antara perusahaan kayu, PT Hargas, masyarakat local, 29 kepala
desa, staf kantor kehutanan, perwakilan militer dan LSM sepakat bahwa
perusahaan harus menghentikan penebangan dan menunda keputusan menteri
kehutanan untuk membatalkanlisensi. Departemen kehutanan juga mengeluarkan
larangan sementara terhadap aktivitas PT Medan Remaja Timber yang pada akhirnya
diikuti dengan pencabutan hak konsesi penebangan mereka pada bulan Mei 1999.
Hal tersebut hanya terjadi setelah
masyarakat setempat bersama para mahasiswa, akibat frustasi oleh lambannya
proses negosiasi, membakar kamp perusahaan. Ketika mereka mengetahui bahwa
pemerintah akan mengalihkan lahan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit,
masyarakat menolak rencana tersebut dan menyerukan pemulihan hak mereka atas
lahan (Lihat DTE 42). Pada saat itu, operasi penebangan kayu
di Aceh diperkirakan telah menghasilkan sejumlah 2-2,5 trilyun rupiah (sekitar
US $ 200-250 juta). Dari jumlah tersebut, hanya sekitar Rp. 2 juta (US $
200.000) kembali ke daerah tersebut dalam bentuk sumbangan dana local. (Waspada 26/10/00
dan Walhi Aceh yang dikutip dalam DTE 40: 11-12).
Tidak Ada yang berubah
Segala sesuatunya tidak mengalami
perubahan yang berarti sejak pelaksanaan pemilu demokratis pada bulan Juni 1999
karena rejim yang sekarang ini disibukkan oleh prioritas persaingan ekonomi dan
politik di antara mereka. Hal ini menyebabkan situasi di Aceh terbengkalai.
Selain itu, tekanan Presiden Wahid untuk berhubungan dengan modal asing
menyebabkan isu-isu mendesak yang mempengaruhi bukan hanya rakyat Aceh, tetapi
juga jutaan penduduk pedesaan di Indonesia –seperti krisis hutan,
ketunakismaan, polusi dan merosotnya cadangan ikan – tidak mendapatkan perhatian
yang semestinya.
Masih terdapat sekitar 19 konsesi kayu
di Aceh, di mana menurut data resmi, 17 dari jumlah itu telah berjalan sejak
tahun 1998. dari total 4.1320.000 area yang sebelumnya digolongkan sebagai
konsesi hutan kayu dengan meliputi 1,9 juta hektar, dengan tempat-tempat
transmigrasi, wilayah hutan dan taman lindung, dan sisanya dikuasai oleh
perkebunan . Menurut Walhi Aceh, dua belas pemegang konsesi sekarang ini
beroperasi di wilayah yang seharusnya menjadi wilayah hutan lindung. (Bisnis
Indonesia, 28/07/99, angka-angka ini dikutip dari PASe dalam Waspada 13/11/00)
Baru-baru ini WALHI menolak usulan
(mantan) Gubernur Aceh, pengusaha Ramli Ridwan, bahwa para pemegang konsesi
harus menyerahkan 30% dari wilayah mereka terhadap penduduk local. WALHI
menyatakan bahwa hal ini tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan
oleh para penebang kayu. WALHI mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan kayu
tidak memberikan sumbangan positif bagi rakyat Aceh. Sebaliknya, mereka telah
mengabaikan peraturan, menghancurkan hutan dan menimbulkan konflik di dalam
masyarakat.
Satu kasus yang berhasil diungkap oleh
WALHI adalah PT Asdal di Babahrot, di Kecamatan Kuala Batee, Aceh Selatan.
Penebangan kayu oleh perusahaan ini telah menyebabkan alur sungai setempat dan
lahan persawahan mengering, merusak sistem irigasi terhadap pertanian local.
Konsesi perusahaan tersebut telah berakhir pada bulan Juni 1999, tetapi mereka
terus melanjutkan operasi penebangan dengan mendapatkan ijin sementara dari
Jakarta dan pejabat kehutanan Aceh (meskipun ijin tersebut berakhir pada bulan
Maret 2000). Pemegang konsesi lainnya yang tinggal berdekatan, PT Gruti juga
berhasil mendapatkan lisensi sementara di wilayah seluas 32.000 ha. (Bisnis,
22/Mei/00).
WALHI menyerukan penghentian seluruh HPH
di Aceh sampai survey penggunaan lahan selesai dilakukan. Survey ini bertujuan
mengidentifikasikan tumpang tindihnya konsesi penebangan kayu dengan lahan yang
dimiliki oleh masyarakat adat dan penduduk setempat, selain juga wilayah hutan
lindung.
Sebuah LSM lainnya, PaSe, sedang
mengupayakan tekanan untuk merubah cara pengelolaan sumber daya alam di Aceh.
Pada bulan November tahun lalu, PASe menyerukan kepada pemerintahan baru untuk
mencabut seluruh izin pengelola bagi pemegang konsesi penebangan kayu,
perusahaan kayu dan perkebunan lainnya. Mereka juga menyerukan pengalihan
pengelolaan sumber daya alam tersebut kepada masayrakat Adat. Kelompok itu
mengatakan bahwa para pejabat pemerintah dan pengusaha yang menjadi dalang
kerusakan harus diperiksa. PASe juga menyerukan kepada Jakarta untuk
membubarkan kantor departemen transmigrasi dan kehutanan di Aceh karena kedua
lembaga tersebut dipandang sebagai kepanjangan kontrol Jakarta. Mereka
bertanggungjawab terhadap kehancuran keragaman hidup di Aceh.
Gunung Leuser
Taman Nasional Gunung Leuser, yang
meliputi wilayah seluas 795.000 hektar yang membentang dari perbatasan propinsi
Sumatra Utara dan Aceh sekarang ini terancam oleh penebangan gelap. Hal ini
menyebabkan semakin meningkatnya serangan terhadap para staf taman Nasional
tersebut. Sistem manajemen taman tersebut sebagian didanai oleh bantuan Uni
Eropa dan telah dikritik oleh LSM akibat tidak berkonsultasi dan melibatkan
partisipasi masyarakat dalam proyek tersebut. Taman itu adalah salah satu tempat
terakhir habitat orang utan dan spesies lainnya yang terancam kepunahan. (LihatDTE 37:
14).
Salah satu kasus penebangan gelap
melibatkan PT Tegas Nusantara, sebuah perusahaan yang dimiliki seorang
pengusaha bernama Acan, alias James Tan. Perusahaan ini telah menebang pohon
seluas 7.000 – 8.000 hektar di wialyah Sikundur taman tersebut. Acan, yang
termasuk dalam daftar orang yang dicari oleh kepolisian Sumatra Utara,
ditangkap pada bulan Juli di Medan dengan tuduhan pemilikan senjata api.
Meskipun demikian, sebagai pukulan terhadap para pejabat taman dan
organisasi-organisasi lingkungan yang telah menyediakan bukti lengkap kegiatan
PT Tegas, ia kemudian dilepaskan oleh pihak kepolisian. Para aktivis LSM
mencurigai jaringan korupsi yang melibatkan perusahaan tersebut, para birokrat
loka dan pihak keamanan. Kantor kehutanan lokal di Aceh Timur menegaskan bahwa
perusahaan itu tidak memiliki ijin. Tetapi mereka mengakui tidak memiliki
kekuasaan untuk bertindak karena pengusaha tersebut memiliki “backing” kuat.
Minyak Kelapa Sawit
Perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan secara
besar-besaran pada tahun 1980-an, dibangun di Aceh dengan akibat terjadinya
konflik tanah. Berdasarkan kebijakan pemulihan ekonomi yang diusulkan oleh
IMF, kelapa sawit menjadi target industri yang penting. Perkembangan kelapa
sawit di Aceh mengalami peningkatan yang pesat. Pada bulan Maret 2000,
pemerintah propinsi mengatakan bahwa Aceh akan menjadi salah satu produsen
minyak kelapa sawit yang utama.
Sekitar 140.000 hektar tanah telah dipersiapkan
untuk penanaman kelapa sawit tahun ini. Sekarang ini, Aceh menghasilkan
kurang lebih 400.000 ton minyak kelapa sawit setiap tahunnya (sekitar 7% dari
seluruh produksi total di Indonesia pada tahun 1999). Kebanyakan produksi
minyak kelapa sawit tersebut tersebut dihasilkan oleh 16 pabrik yang
mengoperasikan lahan perkebunakan kelapa sawit seluas 176.000 hektar.
Perkembangan tahun ini saja mencapai dua kali lipat dari jumlah yang ada.
Sektor ini telah tumbuh dengan pesat dibandingkan
tiga tahun yang lalu. Pada tahun 1997, propinsi tersebut memiliki 152.000
hektar yang ditanami minyak kelapa sawit. Di sana terdapat 13 pabrik
pengolahan minyak goreng dan menghasilkan kurang lebih 228.000 ton setiap
tahunnya. Angka ini hanya setengah dari jumlah produksi sekarang ini.
Kebanyakan perkebunan-perkebunan besar tersebut
dikuasai para konglomerat dan pemodal besar dari Jakarta dan Medan dengan
tingkat partisipasi pengusaha lokal yang sangat kecil (Lihat Jakarta
Post 11/Mar/00, 3/Jan/00; 25/Nov/99; Casson, 2000; Polex-List via
INCL, 1999).
|
PERANG: Beban Tambahan
Kehadiran militer di Aceh telah
menyebabkan peningkatan tekanan terhadap sumber daya alam dengan berbagai cara.
Di wilayah-wilayah konflik utama –seperti Pidie, Aceh Timur dan Aceh Utara,
konflik antara kelompok gerilya dan pihak militer Indonesia, khususnya selama
masa tegang tahun 1999, telah menyebabkan aktivitas ekonomi sehari-hari,
termasuk pertanian, menjadi berhenti. Panen Kopi pada bulan Februari 2000, mengalami
kemerosotan sebesar 40% akibat selama tahun 1999 rakyat terlalu takut untuk
berangkat ke lahan garapan selama minggu-minggu sebelum panen. Kebanyakan
sekolah dibakar dan sebagian besar kantor pemerintah pada tingkat kabupaten dan
kecamatan tidak bisa berfungsi seperti biasanya.
Konflik bersenjata dan serangan-serangan
di berbagai desa yang dilakukan oleh pihak militer, yang dikenal sebagai aksi
“penyisiran” telah menyebabkan sebagian besar lahan pertanian kosong berikut
para penduduknya; para penduduk desa berpindah tempat ke tempat-tempat
pengungsian. Evakuasi massal –baik sukarela maupun lainnya—telah menghancurkan
produksi pertanian dan membuat pemeliharaan tanaman untuk jangka panjang tidak
mungkin. Pada bulan Agustus tahun lalu, para LSM melaporkan terdapat sekitar 27
dan 31 kamp-kamp pengungsian di sepanjang jalan utama dari Pidie sampai dengan
Aceh Utara dan Aceh Timur. Sekitar 100.000 dan 200.000 orang tinggal ditempat
pengungsian tersebut. Pada bulan Desember tahun itu, angka-angka yang dihasilkan
oleh Koalisi LSM Aceh menunjukkan bahwa 300.000 orang telah meninggalkan rumah
mereka sejak bulan Februari 1999. Seluruh penduduk desa dipaksa oleh
“orang-orang tidak dikenal” untuk pindah ke kamp-kamp pengungsian.
Sumber Daya Pantai
Sumber daya pinggiran pantai dan perikanan di Aceh
telah dirusak oleh eksploitasi besar-besaran. Para nelayan setempat
mengeluhkan berkurangnya penghasilan ikan mereka akibat pencurian ikan dengan
perahu pukat harimau yang beroperasi secara illegal dan keterlibatan para pengusaha
besar dalam praktek-praktek penangkapan ikan yang berbahaya dan merusak
lingkungan. Pada bulan Februari tahun ini, cabang Serikat Nelayan Indonesia
setempat melaporkan bahwa 80% terumbu karang yang terletak di sekitar pantai
barat Aceh dan Sumatra Utara telah mengalami kerusakan yang parah. Sebagai
akibatnya, jumlah ikan yang tersedia pun semakin merosot. (Kompas 23/Februari/2000).
Menurut data pemerintah, hutan rawa di wilayah
tersebut (sebagian besar berada di wilayah pantai timur Aceh) seluas 54.000
ha pada tahun 1982 berkurang lebih dari setengahnya hingga tinggal 20.000 ha
pada tahun 1993. Tekanan terhadap hutan rawa kebanyakan berasal dari
penambakan udang, pengembangan pemukiman dan eksploitasi industri arang kayu
untuk eksport yang tidak berkelanjutan.
Dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh WALHI
Aceh pada bulan Desember 1999, diidentifikasikan suatu daftar
persoalan-persoalan utama yang merusak manajemen sumber daya pantai di Aceh.
Daftar tersebut menunjukkan penggunaan perahu pukat harimau, penggunaan zat
asam dan bom untuk menangkap ikan; penangkapan ikan illegal, penambangan
industri pasir dan perusakan hutan rawa. Semua ini terus berlangsung tanpa
hambatan. Daftar tersebut menunjukkan pula marjinalisasi masyarakat adat dan
nelayan lokal di pnggiran pantai; tidak tersedianya data, penelitian dan
pengawasan terhadap sumber daya alam, pendekatan manajemen yang sentralistik
yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pantai
serta tidak adanya arah kebijakan yang jelas. (Walhi Aceh; 30/12/99)
|
Bisnis Militer
Menurut TAPOL, periode 1990-1998 ketika
Aceh masih secara resmi menjadi wilayah operasi militer (DOM) memberikan para
perwira militer dan pejabat pemerintah “kesempatan tanpa batas untuk meraih
untung dari wilayah yang subur secara ekonomis…” Termasuk dalam tuntutan rutin
yang mereka lakukan adalah pungutan terhadap petani, pedagang dan para
pengusaha. Komandan pasukan elit, KOPASSUS, di bawah menantu Suharto, Prabowo
Subianto, diperkirakan mengontrol bisnis mariyuana setempat dan, di salah satu
wilayah, menguasai tambang emas. Dalam kasus ini, anggota pasukan bersenjata
yang ditempatkan di Aceh mengatakan “Saya ditangkap, disiksa dan dipenjara,
sehingga Prabowo bisa memiliki akses terhadap tambang tersebut.”
Pasukan keamanan juga diketahui terlibat
dalam menyelundupkan kayu-kayu illegal dari Aceh ke Medan di Sumatera Utara.
Dari sini, kayu-kayu tersebut dibaya menuju pabrik-pabrik yang menghasilkan
perabotan rumah tangga –dan beberapa diantaranya diekspor ke luar negeri. Pada
bulan Oktober, terdapat laporan kontak senjata antara pasukan TNI dan Brimob
ketika pihak Brimob berusaha menghentikan dan menyita kayu-kayu dari truk TNI.
Pihak TNI dan Brimob masing-masing menguasai jalur dari Medan dan terdapat
aturan tak tertulis, yang rupanya dilanggar oleh pihak TNI, untuk tidak
menyelundupkan kayu-kayu tersebut di jalur yang dikuasai oleh pihak lain.
Gerilya GAM juga bertumpu pada masyarakat setempat untuk dukungan dana dan juga
diketahui menggunakan ancaman untuk mendapatkan pembagian keuntungan. Dalam
salah satu kasus yang dikutip TAPOL belakangan ini, petani tambak udang Aceh
mengatakan bahwa pegawainya akan dibunuh bila ia tidak membayar sumbangan (Tapol,
2000 –lihat bagian akhir).
Transmigrasi
Transmigrasi adalah aspek lain dominasi suku Jawa di
Aceh yang mendorong berkembangnya gerakan kemerdekaan. Para transmigran
dibawa ke Aceh untuk menanam tanaman pangan dan bekerja pada perkebunan dan
perusahaan-perusahaan kayu untuk industri pengolahan kayu dan bubur kertas.
Tempat-tempat pemukiman dibuka di wilayah hutan yang menyingkirkan masyarakat
lokal terhadap sumber daya hutan dan meningkatnya perusakan hutan. Selama
tahun 1990-an, terdapat beberapa serangan secara sporadic oleh pasukan GAM di
tempat-tempat transmigrasi.
Para pemukim, kebanyakan berasal dari Jawa,
dipandang sebagai alat Suharto untuk memaksakan kesatuan nasional dan
hegemoni Jawa melalui suatu rekayasa sosial . Sebagai tanggapan terhadap
ancaman mati, kebanyakan transmigran meninggalkan pemukiman mereka secara
berbondong-bondong dan mendarat di Sumatra Utara atau kembali ke Jawa. Selama
periode pemilihan umum pada bulan Juni 1999, tempat-tempat transmigrasi
menjadi target serangan oleh GAM. Para anggota GAM mengirimkan surat-surat
ancaman mati yang dialamatkan ke masign-masing rumah, memperingatkan mereka
untuk tidak memilih dan meninggalkan Aceh. Pada saat yang sama, pihak militer
memaksa mereka untuk memilih. (Tapol 2000: 13).
Program transmigrasi pemerintah Indonesia –yang
sebelumnya menjadi pilar rejim otoriter Suharto—pada akhirnya dihentikan.
Kesalahan-kesalahan pada masa lalu pada akhirnya diakui (secara pribadi jika
tidak dinyatakan secara terbuka). Krisis keuangan yang melanda Indonesia
menyebabkan target-target ambisius yang dijalankan pada masa lalu
ditinggalkan. Di bawah pelaksanaan otonomi daerah, peran transmigrasi akan
semakin berkurang (Lihat terbitan DTE yang akan
datang: DTE Update on Transmigration)
Hal ini berarti bahwa target pengiriman 16.200
keluarga ke Aceh atau mencapai jumlah 3,6% dari jumlah nasional dalam periode
1999/2000 – 2003/4 tidak akan tercapai, bahkan dibawah tingkat ideal jaminan
hidup. Kementrian transmigrasi, sekarang ini digabungkan dengan kementrian
tenaga kerja, mengatakan bahwa mereka sekarang ini berkonsentrasi pada upaya
penyediaan tempat tinggal untuk para pengungsi internal dan menangani
persoalan yang dialami oleh para transmigran sekarang ini. Di Aceh,
sebagaimana di tempat lainnya, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
tempat-tempat transmigrasi yang sekarang ini ada menjadi sangat mendesak,
termasuk di dalamnya masalah pengakuan hak pemilik lahan semula dan
memberikan kompensasi kepada mereka. Sejauh mana para transmigran yang
sekarang ini berada di Aceh akan tetap tinggal di tempat itu masih jadi tanda
tanya. Posisi GAM sendiri masih kurang jelas: mereka membuat pernyataan yang
nampak saling bertentangan tentang masalah keselamatan para transmigran.
(Angka diambil dari Transmigration in
Indonesia, Kementrian Transmigrasi dan Pemukiman Kembali Perambah Hutan,
Jakarta 1998, Lihat juga Tapol 2000:13)
|
Peranan Perusahaan-Perusahaan Besar
Selama bertahun-tahun, kegiatan industri
yang beroperasi di Aceh telah menikmati keuntungan besar melalui akses tanah
yang murah, tiadanya pengawasan lingkungan dan penindasan terhadap penduduk
setempat yang menentang rencana proyek mereka. “Keuntungan” dari masa Suharto
ini belum diakhiri oleh pemerintahan Wahid yang dipilih secara demokratis. Di
Aceh, situasi keamanan menyebabkan tempat-tempat industri membutuhkan perlindungan
militer –suatu kebutuhan yang menimbulkan ketegangan dengan masyarakat
setempat—dan, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Exxon-Mobil, menyebabkan
perusahaan tersebut berkait dengan pelanggaran HAM skala berat.
Selama bulan-bulan belakangan ini,
situasi keamanan untuk beberapa perusahaan telah menjadi semakin buruk dan
memaksa mereka untuk menunda operasi perusahaan. Pada bulan Agustus, surat
kabar nasional KOMPAS melaporkan bahwa pabrik penggergajian di Langsa, Aceh
Timur, pusat pengolahan kayu terbesar di Aceh, mengalami kekuarangan kayu
karena situasi keamanan yang semakin memburuk untuk membawa kayu-kayu mereka.
Beberapa truk diserang dan dibakar. Bulan lalu, Masyrakat Perkebunan Indonesia
mengatakan bahwa tidak ada konsesi-konsesi kayu di Aceh yang bisa berjalan
karena ancaman terhadap pegawai mereka.
Cabang serikat buruh lokal, FSPI,
memperkirakan bahwa sedikitnya 10.000 buruh yang bekerja di sector perkayuan
akan kehilangan pekerjaan bila pabrik tersebut tutup. Kelompok-kelompok
lingkungan memandang lebih positif tentang prospek penutupan tersebut, dengan
menyatakan bahwa adalah lebih baik menutup pabrik tersebut dari pada merusak
lebih banyak hutan-hutan di Aceh. Pada bulan November tahun lalu, suatu peringatan
dikelaurkan oleh komandan wilayah barat daya Gerakan Aceh Merdeka, yang
menginstruksikan para penguasa kayu dan penebang illegal untuk keluar dari
Aceh. Juru bicara GAM mengatakan di harian lokal bahwa para aktivis LSM dan
pembela lingkungan seharusnya tidak merasa takut untuk melanjutkan pekerjaan
mereka karena GAM akan “selalu mendukung pihak-pihak lain yang menyelamatkan
hutan Aceh.” (Waspada 16/November/2000).
Pertambangan juga dipengaruhi oleh
konflik tersebut. Pada bulan Agustus tahun ini, perusahaan penambangan PT
Kutaraja Tembaga Raya mengumumkan keputusan mereka sebelumnya untuk menunda
aktivitas eksplorasi tembaga dan emas dengan alas an keamanan. Perusahaan
tersebut merupakan perusahaan dengan modal campuran antara Phelps Dodge dari Australia
(55%) dand PT TIMAH dari Indonesia (45%) dan beroperasi dengan kontrak karya
enam generasi yang ditandatangani pada tahun 1997. Luas konsesi merek amencakup
562.560 hektar di Aceh Besar, Aceh Barat, Utara, Tengah dan Pidie. (Kompas 29/Agustus/00); MineenergyNews.Com 19/08/00)
Fakta-Fakta tentang Aceh
Luah Lahan:
|
5.539.000 Km2
|
Penduduk:
|
berkisar antara 4,3 dan 5 juta
jiwa
|
Sumber daya alam:
|
minyak dan gas, emas dan mineral
lainnya;
hutan, lahan pertanian dan perikanan.
|
Areal Hutan:
|
4.130.000 hektar (sekitara 75%
dari seluruh tanah daratan)
|
Hutan Rawa:
|
berkurang dari 54.335 hektar
(1982) menjadi 20.000 hektar (1993)
|
Pabrik gas PT Arun (Exxon-Mobil/Pertamina)
menyumbangkan sekitar 30% ekspor migas Indonesia.
Eksport Minyak dan pertanian menyumbangkan 11%
pendapatan devisa asing. Tetapi hanya 4,6% yang tersisa bagi Aceh.
Dampak
Perang di Aceh
Jumlah orang yang tewas terbunuh pada akhir 1980-an
: diperkirakan mencapai antara 2.000 – 5000 atau lebih tinggi lagi. Amnesty
International memperkirakan bahwa sekitar 2000 penduduk sipil, termasuk
perempuan dan anak-anak terbunuh antara tahun 1989-1993.
Menurut S. Tiwon, operasi-operasi militer memiliki
pengaruh langsung terhadap kehidupan sedikitknya 12.000 sampai dengan 15.000
orang Aceh, termasuk para janda, yatim-piatu dan perempuan yang mengalami
pemerkosaan dan kekerasan seksual oleh militer.
Pengungsi: Juni-Agustus 1999: terdapat 250.000 –
300.000 jiwa yang harus meninggalkan tempat tinggal mereka, dan hanya
berkurang beberapa ratus jiwa pada bulan Mei 2000. Sejak saat itu,
angka-angka kembali meningkat.
(Sumber: Tiwon, 2000; Tapol 2000; Inside
Indonesia Okt-Des 2000 dan lainnya)
|
No comments:
Write komentar