Sunday, March 6, 2016

Sejarah Panca Gelar Nama Aceh



PANCA GELAR PROPINSI ACEH

Lima gelar yang kini melekat  bagi  sebutan daerah Aceh, dapat penulis beri urutan sebagai berikut. 1.  Serambi Mekkah. 2.  Tanah Rencong. 3.  Daerah Modal.  4.  Bumi Iskandar Muda dan 5.  Negeri Darah Pahlawan.

Dalam bahasa para penumpang kapal tersebut; ACEH  terdiri dari dua potong kata. “A”, artinya kakak. “CEH” maksudnya “melahirkan anak”. ‘ACEH”, berarti kakak yang melahirkan anak. Kalimat yang lengkap dalam bahasa  mereka  adalah Adou yang mume, A nyang ceh (adik yang hamil, kakaknya yang melahirkan).


ACEH   adalah propinsi  paling ujung di bahagian Barat dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dan yang benar-benar ujung sekali adalah Sabang, sehingga timbul istilah: negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang berjejeran dari Sabang sampai Meroke. Allah SWT telah mentakdirkan, bahwa daerah ini punya nama yang jumlahnya sama dengan jumlah sila dari ideologi negara kita; Pancasila, yaitu lima buah nama. Karenannya dapat kita sebutkan dengan istilah panca gelar daerah Aceh. Julukan yang melekat yang mendampingi sebutan Aceh ini, bukanlah diperoleh dengan percuma saja, tetapi merupakan hasil dari proses sejarah sejak nama Aceh ditetapkan sebagai nama dari daerah ini. Patut penulis jelaskan, bahwa daerah paling ujung dari kepulauan Indonesia ini pada zaman dahulu kala memiliki nama yang lain dari saat sekarang. Masa itu sebutan Aceh belum dikenal. Selain disebut dengan negeri Poli, yang paling terkenal adalah Pulo Ruja. Artinya daerah yang berasal dari kain, pulo artinya pulau. 
Sedangkan “Ruja” artinya kain, demikian menurut tambo sejarah. Menurut tambo sejarah; asal-usul dari nama tersebut adalah sebagai akibat usaha penyelamatan sebuah kapal yang sedang karam. Sebenarnya tujuan dari perjalanan kapal itu adalah hendak membawa barang dagangannya ke negeri Cina. Ditengah lautan, ia kandas dan hampir saja tenggelam, semua penumpang termasuk lahuda (nakhoda) sudah begitu gelisah melihat bahaya yang mengancam mereka. Sambil menunggu maut tiba mereka memuji Tuhan serta meminta pertolongan dari-Nya. Kebetulan juga di dalam kapal itu terdapat seorang ulama, yang keadaannya tenang-tenang saja.


Dia tidak merasa gelisah sedikitpun dengan bahaya maut tersebut. Tiba-tiba sang ulama tersebut melemparkan serbannya ke dalam laut. Serta merta dalam tempo sekejab mata, laut yang bergolak itu menjadi tenang. Dan besoknya seluruh permukaan laut sepanjang mata memandang dari sekitar kapal itu menjadi daratan. Lama kelamaan daratan tersebut semakin lebar. Ia terjadi dari serban seorang ulama, yang telah dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian penuturan orang-orang tua di daerah Aceh. Daratan yang semakin lebar itu berbentuk sebuah pulau (Sumatra?). karena pulau ini berasal dari kain, maka orang pun memberi nama dengan sebutan Pulau Ruja.
Sebutan “Aceh” adalah merupakan perkembangan yang terakhir dari Pulau Ruja. Hal ini juga terjadi dari peristiwa yang  aneh. Terhadap versi sebutan “Aceh” ini ada dua sumber berita yang menjelaskannya.
Versi pertama mengatakan, bahwa nama Aceh terjadi atau berasal dari peristiwa dua orang perempuan kakak beradik. Suatu masa adik dari seorang wanita hamil. Begitu kenyataan dari perutnya yang semakin membuncit besar. Mereka beserta sejumlah orang lain sedang berada dalam kapal yang berlayar di lautan. Sedang si kakak biasa saja kelihatannya. Dia tidak menunjukkan gejala apapun di tubuhnya. Secara tak diduga siapapun, sang kakak yang kelihatannya normal saja, pada suatu hari ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak yang lahir itu berada dalam keadaan sehat dan tidak kurang suatu apapun. Sedang adiknya, yang sudah sembilan bulan nampak hamil, hingga sampai saat sepatutnya ia harus melahirkan, ternyata tidak berlangsung. Beberapa bulan kemudian barulah ia melahirkan seorang putri.


Dari peristiwa yang aneh inilah, timbulnya istilah “Aceh”. Karena pada saat sang kakak melahirkan putranya, kapal yang sedang ia tumpangi sedang berada di sebuah pelabuhan, dari suatu daratan (daerah), yang tidak mereka ketahui namanya. Oleh penumpang-penumpang kapal itulah, kemudian memberi nama daerah yang baru ditemui mereka dengan sebutan “Aceh”. Nama itu mereka ambil dari peristiwa aneh yang telah terjadi di dalam kapal yang mereka tumpangi, yaitu kejadian di mana sang adik yang hamil pada akhirnya kakaknyalah yang melahirkan.
Dalam bahasa para penumpang kapal tersebut; ACEH  terdiri dari dua potong kata. “A”, artinya kakak. “CEH” maksudnya “melahirkan anak”. ‘ACEH”, berarti kakak yang melahirkan anak. Kalimat yang lengkap dalam bahasa  mereka  adalah Adou yang mume, A nyang ceh (adik yang hamil, kakaknya yang melahirkan).
Para penumpang itu akhirnya menetap di daratan, yang telah mereka namakan dengan nama ACEH. Merekalah penduduk gelombang pertama yang menetap di Aceh, demikian menurut tambo sejarah. Peristiwa aneh dikapal itu, telah lama pula menjadi perbincangan ahli sejarah untuk menyelidiknya. Pada dasarnya pemberian nama daerah dari suatu insindental kecil seperti ini, bukanlah masalah baru. Lihat saja dengan peristiwa Columbus menemui benua Amerika. Mereka menamakan Amerika untuk daratan yang baru diketemukan itu adalah karena salah seorang dari penumpang didalam kapalnya bernama Amerigo. Perkataan Amerigo pada akhirnya berubah menjadi Amerika hingga dewasa ini.
Versi lain menceritakan, bahwa nama Aceh di peroleh, akibat ada sejumlah bangsa menetap di daerah ini. Kita masih ingat, bahwa daerah Aceh sangat maju dalam bidang perdagangan dimasa lalu. Hingga bermacam bangsa tinggal di sana untuk berdagang. Untuk menulis namanya menurut ejaan yang belum disempurnakan adalah “ATJEH”. Dan nama ini bertitik tolak dari bangsa-bangsa yang telah membaur satu sama lain. Mereka sudah menjadi satu akibat kawin campuran. Perkataan “ATJEH” dapat dipisahkan menurut hurufnya menjadi lima bagian. Satu bagian menunjukkan asal keturunan dari satu bangsa. “A”, berasal dari perkataan Arab. Jadi orang Aceh ada campuran dari bangsa Arab, begitu pula dengan bagian lainnya. “T”, berasal dari perkataan TJINA. “J” adalah bangsa Jepang. “E”, berasal dari perkataan EROPAH. “H”, yaitu bangsa Hindustan, jadi orang-orang ATJEH sekarang berasal dari campuran  bangsa- bangsa tersebut di atas, yaitu: bangsa Arab, Tjina, Jepang, bangsa-bangsa Eropah, dan bangsa Hindustan (India-Pakistan).
Untuk menguatkan dalilnya mereka yang berpendirian pada versi campuran bangsa, mengatakan begitu lihat saja saja keadaan physik dari orang Aceh. Ada yang berkulit putih- putih, kuning, hitam, sawo matang, kuning langsat. Warna kulit itu menunjukkan dari bangsa apa mereka dulu berasal. Begitu pula dengan bentuk hidung mereka. Ada yang berhidung pesek, mancung (hidong daruet minyeuk), hidung sederhana dan lain-lain. Kalau ia sekarang berhidung mancung misalnya, berarti ia berasal dari keturunan Arab, begitulah seterusnya. Namun demikian belum terbentuk panitia khusus yang menyelidiki  kebenaran adagium itu. Memang orang Aceh kurang menaruh perhatian pada sejarah mereka sendiri. Dibandingkan antara orang orang Barat khususnya bangsa Belanda yang mengetahui seluk beluk sejarah Aceh dengan putra Aceh sendiri, maka dari kalangan putra Aceh dapat kita hitung dengan jari yang mengetahui perjalanan sejarah daerahnya. Keadaan begini, sungguh sangat kita sayangkan!.
PANCA GELAR
Lima gelar yang kini melekat  bagi  sebutan daerah Aceh, dapat penulis beri urutan sebagai berikut. 1.  Serambi Mekkah. 2.  Tanah Rencong. 3.  Daerah Modal.  4.  Bumi Iskandar Muda dan 5.  Negeri Darah Pahlawan.
1. Serambi Mekkah

Martabat SERAMBI MEKKAH melekat sebagai nama pengganti bagi daerah Aceh mulai melekat, sejak Agama Islam   menjadi anutan rakyat dan menjadi agama kerajaan di daerah ini. Sebagaimana kita ketahui, bahwa agama Islam   diturunkan Allah di tanah Arab. Menurut ilmu Tauhid, yang disebut dengan agama Islam   itu, bukan hanya yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW  saja. Tetapi termasuk juga kedalam agama Islam   adalah agama-agama pada nabi-nabi Allah yang mendahului Nabi Muhammad SAW. Agama Nabi Ibrahim disebut juga agama Islam   dengan Kitabnya hanya beberapa shuhuf yang diturunkan Allah. Agama Nabi Musa dengan Kitab Tauratnya juga Islam, Zabur sebagai Kitab di zaman Nabi Daud disebut juga agama Islam. Nabi Isa dengan Kitabnya Injil termasuk juga agama islam, bahkan sejak masa endatu manusia, yaitu Nabi Adam  a.s, agama Islam   telah  diberlakukan.
Agama Islam   yang diturunkan kepada Muhammad SAW adalah penyempurnaan dari agama Islam   sebelumnya. Nabi Muhammad dilahirkan di kota Mekkah sehingga dapat dikatakan, bahwa pusat sentral dari agama Muhammad SAW ini adalah di kota suci Mekkah (Makkatul Mukarramah). Menurut keputusan beberapa seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam   di Indonesia, mengatakan/berkesimpulan bahwa, agama Islam   yang dianut oleh 90 % rakyat Indonesia sekarang ini, buat pertama sekali dianut oleh masyarakat daerah Perlak Aceh Utara. Demikian keputusan seminar tersebut, baik yang diadakan di Medan (1963), di Banda Aceh (1978), maupun di Perlak tanggal 25 – 30 September 1980.
Ketiga seminar tentang masuknya Islam   di Indonesia sependapat bahwa agama Islam   masuk ke Indonesia (Aceh) pada abad pertama hijriah dan langsung dari Tanah Arab (Mekkah). Setelah sekian lama berkembang di Perlak (Aceh), barulah agama Islam   itu tersebar ke seluruh kepulauan nusantara. Karena Islam   itu secara langsung datang dari Tanah Suci Mekkah dan juga karena Acehlah yang merupakan daerah pertama yang didatangi Islam, maka disebutlah Aceh dengan julukan daerah Serambi Mekkah. Dalam bahasa Aceh; Serambi Mekkah disebut Seuramoe Mekkah. Hal ini berpedoman pada bentuk rumah Aceh (Rumoh Aceh) yang bertiang tinggi itu. Bagian lantai dari Rumoh Aceh tidak datar/sejajar keseluruhan rumah. Keadaannya bertingkat-tingkat. Rumoh Aceh memiliki dua buah seramoe (serambi), sebuah seuramoe inong (kamar isteri), dan sebuah ruang tiphiek (ruang dapur).


Keadaan tingkatnya sbb: sejak dari seuramoe leun (serambi depan) yang diselangi oleh rumoh inong dan rambat yang lebih tinggi, baru menurun lagi ke seuramoe inong (serambi perempuan) dan yang paling rendah adalah rumah dapur (tiphiek). Jadi pusat sentral dari rumoh Aceh adalah  rumoh  inong, baru kemudian diikuti oleh dua buah seramoe dibahagian muka dan belakang, terus menurun ke tiphiek, maka agama Islam   yang berpusat di Mekkah ditamsilkan ia berada di rumoh inong. Karena untuk pertama kali ia masuk ke Aceh (untuk Indonesia), yang langsung dari Arab/Mekkah, maka diibaratkan ia turun ke seuramoe (serambi).


Maka melekatlah julukan negeri SERAMBI MEKKAH  bagi sebutan  Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Menurut catatan sejarah, bahwa pelaksanaan agama Islam   masa dahulu di Aceh sangat murni. Rakyat dan kerajaan Aceh mengamalkan secara murni dan konsekuen.  Persis seperti pengamalan agama Islam   di kota Mekkah, begitulah keadaan Serambi Mekkah di masa itu. Dan kalau umat Islam   yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara hendak melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, mereka terlebih dahulu harus singgah di pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Aceh, karena Aceh pada masa itu merupakan pintu gerbang untuk  berlayar ke Mekkah. Satu lagi peranan penting yang diperankan oleh daerah Aceh sebagai negeri Serambi Mekkah.
2. Tanah Rencong
Mengenai sebutan Tanah Rencong dapat penulis jelaskan, bahwa julukan ini berasal dari sejenis senjata yang khusus hak ciptanya dipunyai rakyat daerah Aceh. Kalau di daerah Jawa dan Malaysia terkenal dengan alat senjata keris; sebagai yang paling terkenal seperti keris pusaka Empu Gandring, maka di daerah Aceh terkenal dengan Rencongnya. Pada masa dahulu, rencong merupakan alat kebesaran bagi rakyat dan orang patut-patut (ureueng ukok-ukok). Senjata rencong ini bentuknya melengkung. Bentuk tersebut mengikuti bentuk tulisan Arab terhadap kalimat suci dalam agama islam, yaitu BISMILLAAHIRRAHMANIRRAHIM.
Seni kebudayaan Islam terpateri pada bentuknya. Itulah suatu tanda, bahwa Islam telah masuk sampai ke dalam tulang sumsum bagi masyarakat Aceh. Segala hasil karya tangan dan lainnya, semuanya menurut seni kebudayaan  Islam. Bentuk dari hulu/gagang (uleei rencong) tidak sama. Ada yang panjang mencuat(Rencong meucugek) dan ada pula yang tipis bulat gagangnya yang biasanya terbuat dari tanduk kerbau dan gading gajah terutama masa akhir-akhir ini tidak menentukan besar atau kecil – khasiat dari rencong itu. Menurut para ahli yang biasa menempa Rencong, bahwa tuah dari senjata itu sangat ditentukan oleh besi yang setelah ditempa menjadi Rencong. Sebagai perhiasan raja-raja, hulunya dibuat dari emas murni. Sedangkan bagi orang kaya dan hulubalang (uleei balang) dan panglima-panglima hanya disaluti emas, suasa ataupun perak saja. Rencong jarang digunakansebagai senjata untuk membunuh, tetapi lebih banyak digunakan sebagai alat perhiasan. Tetapi tidak jarang pula serdadu Belanda mati terkapar setelah dadanya ditembusi  Rencong Aceh.


Dimasa akhir- akhir ini sudah sangat jarang utoih beusou (pandai besi) yang dapat menempa rencong Aceh. Di zaman kemerdekaan sekarang, banyak pejabat negara yang datang dari Jakarta, atau luar negeri yang mendapat Rencong Aceh sebagai hadiah pemerintah daerah ini sebagai kenang-kenangan atau bungong jaroe dari Tanoh Rencong. Banyak jenis rencong di Aceh, antara lain: Rencong Meucunggak (gagangnya panjang), Mencong Meutampoek (rencong yang hulunya di saluti, baik dengan emas, perak, suasa), Rencong Uleei Gadeng (berhulu gading) Rencong Ulee Lungke (hulu tanduk) dan Rencong Beusou Jeut (rencong besi jadi). JENIS   sarungnya banyak juga.


3. Daerah modal


Gelaran Daerah Modal melekat pada Daerah Istimewa Aceh baru timbul sejak kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah negara Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, pihak Belanda masih  cuba berusaha untuk kembali menjajah kita. Dua kali agressi dilakukan Belanda untuk mencapai maksudnya itu, namun tidak berhasil.
Kenapa Belanda tidak berhasil?. Karena seluruh bangsa Indonesia bersatu padu untuk membela Tanah Air, tidak ketinggalan pula putra-putri Aceh berjuang  bersama. Dalam suatu agressi, pihak Belanda hampir saja mencapai niatnya. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, H. Agus salim dan sejumlah Menteri Kabinetnya telah ditawan Belanda . Ada yang ditahan di Prapat ( Sumut) dan di pulau Bangka. Pemerintahan Indonesia pada masa itu dikendalikan dari Sumatera dibawah pimpinan MR. Syarifuddin Prawiranegara sebagai PM Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah menangkap Kepala Negara, pihak Belanda beranggapan, bahwa usaha mereka telah sukses. Anggapan itu meleset 100%. Mereka lupa, bahwa walaupun Presiden tiada, rakyat Indonesia masih berjuang sampai gugur semuanya. Semua daerah telah dikuasai, baik daratan maupun lautan. Hanya tinggal daerah Aceh yang tak sanggup ditembusi Belanda . Rakyat Aceh bahu-membahu berjuang di Medan Area (perbatasan Sumatera Utara). Sampai dengan peristiwa KMB, pihak Belanda masih tak sanggup mematahkan pertahanan diperbatasan Aceh.


Hal ini berarti, setelah Belanda meninggalkan Aceh pada tahun 1942, mereka tidak pernah menginjak kakinya lagi ke daerah Aceh. Karena perjuangan yang gigih itu, yang akhirnya membawa kemenangan bagi negara kita; Presiden Soekarno memberi gelar Daerah Aceh dengan julukan Aceh Daerah Modal. Sejak dijuluki Presiden pertama Indonesia itulah sampai sekarang, daerah Aceh masih tetap disebut sebagai Daerah Modal. Dalam suatu pidato ketika berkunjung di kota Meulaboh ibukota dari Aceh Barat, tanggal 4 September 1949, Presiden Soekarno menegaskan bahwa: “Daerah Aceh adalah DAERAH MODAL, dan akan tetap menjadi  DAERAH MODAL, bukan saja modal yang berupa emas, bukan saja modal yang berupa uang, tetapi yang terutama sekali modal   yang  berupa   jiwa yang berkobar-kobar.


Rakyat Aceh jiwanya memang jiwa yang bernyala-nyala dan berapi-rapi. Dan modal jiwa yang bernyala-nyala dan berapi-api itulah modal yang pertama untuk merebut kemerdekaan, menegakkan kemerdekaan, memelihara kemerdekaan sampai akhir zaman, sesuai dengan sumpah kita, “sekali merdeka tetap merdeka”. Itulah asal usul sebutan Daerah Modal untuk daerah Aceh.


4.   Bumi Iskandar Muda


Aceh disebut juga Bumi Iskandar Muda. Hal ini sehubungan dengan kejayaan yang dicapai Aceh dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1636). Ia memerintahkan selama tiga puluh tahun. Dimasa itu kerajaan Aceh sangat luas meliputi Aceh, Langkat, Deli, Tanjung Balai, Riau, Perak, Pahang, Johor, Kedah yang semua daerah itu di semenanjung Melayu juga bahagian dari Aceh. Angkatan perang Aceh dapat mengusir angkatan perang Portugis di Malaka hingga mereka terpaksa lari ke Goa (India). Kemakmuran rakyat di masa itu cukup merata. Sampai dewasa ini masih hidup sebuah syair Aceh yang mengisahkan kebesaran dan keagungan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh. Syair tersebut berbunyi:
Naggroe Aceh nyoe seuramoe Mekkah

Naggroe mutuah pusaka kaya

Nanggroe meusyuhu hase le leupah

Lawet perintah Iskandar Muda
Terjemahan bebas:
Negeri Aceh ini Serambi Mekkah
Negeri bertuah mempusakai kaya
Negeri masyhur (tersohor) hasilnya melimpah
Masa pemerintah Sultan Iskandar Muda

 5.  Negeri Darah Pahlawan

 

Dan terakhir sekali Aceh disebut sebagai Negeri Darah Pahlawan. Hal ini juga sebagai proses sejarah yang terjadi di masa perjuangan menentang agressi Belanda ke Aceh. Pertempuran terus-menerus terjadi selama puluhan tahun. Karena itu Bung Karno ketika berpidato di Koetaradja (Banda Aceh), 15 Juni 1948 berkata: “saya mengetahui bahwa rakyat Aceh adalah pahlawan. Rakyat Aceh adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia mengetahui hal ini, seluruh rakyat Indonesia melihat ke Aceh, mencari kekuatan batin dari Aceh, dan Aceh tetap menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia”, demikian Bung Karno.
Kalau Bung Karno mengatakan dimasa 32 tahun lalu, bahwa “seluruh rakyat Indonesia melihat ke Aceh, mencari kekuatan batin dari Aceh”, maka dewasa ini, seluruh rakyat Indonesia juga melihat ke Aceh mengikuti perkembangan penyelenggaraan MTQ Nasional yang ke XII, baik melalui RRI ataupun melalui TVRI. Dengan adanya saling kenal mengenal sifat dan adat-istiadat dari berbagai suku bangsa di negara ini, persatuan bangsa menjadi lebih kokoh. Semoga Allah akan melindungi kita semua dan MTQ Nasional ke XII kita doakan semoga sukses tanpa rintangan. Insya Allah/.            Sekian/.

 Oleh : T. A. Sakti

Note : JIKA ARTIKEL INI TERLALU PANJANG, PENULIS TIDAK KEBERATAN KALAU DIPOTONG SEBAGIANNYA ATAU MANA YANG KURANG PENTING.

Catatan mutakhir: sedihnya, gelar-gelar itu, menjadi bahan yang memudahkan orang Aceh “tertipu” pula!. Pujian memang memabukkan!!  Waspadalah!!!.
Bale Tambeh, Aleuhad/Ahad, 6 Sa-Usen 1432/12 Desember 2010 M

No comments:
Write komentar