Oleh Yusra Habib Abdul Gani | OPINI
PROKLAMASI perang kolonial Belanda pada 26 Maret 1873 ke atas Aceh, merupakan klimaks dari luapan emosi yang tidak terkendali, ditindih pula oleh logika ‘keniscayaan’ yang percaya bahwa jika Aceh berhasil dicaplok, niscaya sempurnalah sudah prestasi kolonial Belanda di wilayah Nederlands East Indie, karena Acehlah satu-satunya negeri terletak paling ujung Sumatera yang belum berhasil ditaklukkan oleh Belanda.
Selain itu, Aceh dianggap aral-perintang kelancaran lintas dagang Belanda melintasi Selat Malaka menuju kawasan dunia Arab dan Eropa --terutama setelah Terusan Suez beroperasi pada 1869-- karena Aceh-Inggris berpengaruh dan merupakan pemegang kuasa di Selat Melaka berdasarkan perjanjian (1603) dan (1819). Padahal melalui Traktat London 1824, Belanda-Inggris berjanji menghormati kedudukan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat dan menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh. Untuk memperkuat komitmennya, Belanda-Aceh menandatangani perjanjian pada 1857.
Institut Peradaban Aceh mewakafkan 3.000 buku digital bertema Aceh, 25 kliping koran (repro) The New York Time yang memuat berita Perang Belanda-Aceh dan juga 17 e-manuscript tentang Perang Aceh. |
Di belakang layar, Belanda melancarkan provokasi supaya Inggris membatalkan perjanjian Raffles (1819) dengan Aceh, karena isinya dianggap merugikan seluruh orang Eropa, kecuali Inggris. Di luar dugaan, Inggris pun terpedaya dengan provokasi ini, sehingga lahirlah perjanjian Sumatera 1871, di mana Inggris memberi laluan kepada Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan militer.
Berbekal logika ‘keniscayaan’ dan sokongan Inggris, maka sebuah kapal perang Belanda merapat ke perairan Aceh dan ER Krayenhoff (juru runding Belanda) yang berada dalam kapal itu menitip pesan singkat: ‘Aceh mesti menyerah kepada Belanda atau menyediakan satu kota untuk pangkalan militer Belanda’ (The New York Times, 6 Mei 1873), yang mengutus Sidi Tahil menyampaikan kepada Sultan Aceh.
Ultimatum Perang
Setelah missi ER Krayenhoff ini gagal, kapal itu menghilang dari perairan Aceh. Barulah kemudian muncul ultimatum perang pada 26 Maret 1873, berisi:
- Aceh supaya menyerah tanpa syarat,
- Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda,
- Hentikan melanun di Selat Melaka,
- Serahkan semua wilayah Sumatera yang berada di bawah perlidungan Aceh, dan
- Putuskan hubungan diplomatik dengan kekhalifahan Utsmaniyah Turki.
Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropa yang pernah mengalahkan Inggris, di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan Belanda di atas belahan dunia.
Apa pun dalihnya untuk menyerang Aceh, Belanda telah mengenyampingkan segala pertimbangan etika moral yang sanggup mengkhianati isi Traktat London 1824 dan perjanjian 1857 dan tidak sadar kalau Belanda melancarkan perang (Ultimatum 1, 2, 4 dan 5) ke atas Aceh (sebuah negara berdaulat dan merdeka).
Sebelumnya, pemerintah Turki dan pegawai sipil kolonial Belanda sudah menyampaikan nasihat kepada Raja Belanda supaya tidak menyerang Aceh, karena permasalahan Aceh tidak sama dengan yang berlaku di Jawa dan di Siak. ‘Aceh mempunyai kekuatan pertahanan, hubungan ekonomi dan politik Internasional dengan Inggris, Prancis dan Amerika Serikat. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 55).
L.W.C. Keuchenius (anggota Raad van Indë 1859-1864) juga mengutuk keras rencana Belanda menyerang Aceh, begitu pula James Loudon (Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1861-1874) berpendapat bahwa “setiap perluasan kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara, disifatkan sebagai satu langkah lebih dekat menuju keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda, akan merendahkan wibawa, menelan kepahitan dan bermulanya kehancuran ekonomi Belanda, sekaligus memperjudikan nasib penduduk bangsa Eropa (78.000 orang) yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda.”
Artinya, jika perang dimenangkan oleh Belanda, sudah tentu berakhir bahagia. Tetapi jika berlaku sebaliknya, maka seramai itulah orang Eropa merana dan hancur masa depan usahanya. Multatuli juga mengutarakan, “Pemerintah Belanda melakukan provokasi yang dibuat-buat tanpa alasan yang masuk akal sehat untuk memerangi Aceh. Jika hal ini terjadi, maka tindakan Belanda adalah merampas kedaulatan Aceh. Perbuatan demikian sungguh tidak berbudi, tidak jujur dan tidak bijaksana (Paul Van `t Veer: 1985, hlm. 24).
Loby yang dibangun untuk mengelak dari terjadinya perang dikesampingkan. Seiring dengannya, FN Nieuwenhuijzen (ketua juru runding Belanda) secara sepihak menyampaikan laporan palsu kepada pemerintah Turki bahwa Aceh kerap melakukan lanun di Selat Melaka. Hal ini dianggap merugikan kepentingan ekonomi Belanda. Adalah tidak bermoral dan keji, jika hanya karena alasan untuk membangun mahligai kolonialisme --kejayaan, kekayaan dan Kristianisasi-- yang turut dimotori oleh kaum Puritan, ilmuan, politisi dan militer Belanda menyerang Aceh, yang terbukti tiada apapun harta kekayaan Aceh, Belanda angkut ke Batavia dan Belanda.
Perang Aceh-Belanda yang melelahkan selama 69 tahun ini, tidak diselesaikan menurut prosedur hukum perang, Resolusi PBB 1960, hasil Sidang PBB 1970 dan penerapan Veinna Convention 1978. Belanda telah membayar mahal ultimatum perang ini. Selain mencoreng reputasi Belanda di mata dunia, mengorbankan 100.000 jiwa mati, puluhan ribu yang cedera di pihak Belanda, juga seluruh perusahaan pemerintah kolonial Hindia Belanda gulung tikar dan musnahnya masa depan 78.000 orang Eropa yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti dibayangkan oleh James Loudon (penandatangan Ultimatum);
Membayar Mahal
Aceh juga telah membayar mahal perang ini, bukan saja kehilangan 250.000 pejuang Aceh yang gugur dalam medan perang, 1.500 orang mengalami dipresi dan sakit jiwa. (Paul Van ‘t Veer: 1985), akan tetapi Aceh, juga gagal memanfaatkan peluang untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh --meletakkan Aceh semula sebagai sebuah negara merdeka-- ketika Belanda sudah berhasil diusir dari bumi Aceh pada 1942. Bahkan kehilangan segala-galanya, seperti institusi kesultanan, sistem dan struktur pemerintahan, batas wilayah negara, mata uang, bendera, lambang, kekuatan militer, hubungan diplomatik dengan negara luar, konstitusi (Meukuta Alam) dan kerugian harta benda.
Peristiwa tersebut tidak diinsafi oleh bangsa Aceh. Sebaliknya beberapa putera Aceh mengundang Jepang masuk ke Aceh menukar posisi Belanda (1942). Apabila giliran Jepang angkat kaki dari Aceh (1945), Aceh gagal untuk kedua kalinya menyatakan kemerdekaan; bahkan beberapa putera Aceh (kalangan PUSA dan Ulèëbalang) berkongsi dengan pemerintah pusat Indonesia membentuk Komite Nasional Daerah (KND) Aceh untuk memerangkap dan memasukkan Aceh ke dalam wilayah Indonesia pada Oktober 1945.
Bagaimana pun juga Turki, Morokko, Isfahan dan Agra --sahabat Aceh yang tergabung dalam fakta pertahanan dunia Islam pada abad 16-17-- lebih bernasib baik dibandingkan Aceh. Turki, misalnya, walaupun terpaksa kehilangan 80% wilayah imperiumnya melalui perjanjian Sevres (10 Agustus 1920); akibat kekalahan dalam perang Dunia I. Namun, setelah Mustafa Kemal Atatürk berhasil membangkitkan semangat perang dan nasionalisme, Turki mengerahkan 120.000 pejuang terbaik bertempur di medan perang Sakaria (Izmir) berhasil mengalahkan pasukan Yunani seramai 200.000 (yang berperang atas nama negara bersekutu).
Akibatnya, negara-negara bersekutu Eropa terpaksa menandatangani Penjanjian Lausanne (24 Juli 1923); untuk mengembalikan semula wilayah Turki yang hilang dalam perjanjian Sevres. Marokko (walau pun pernah menjadi negara protektorat Prancis pascaperang Dunia I, namun meraih kemerdekaan penuh pada 1956). Isfahan, sebuah kota yang pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu masa dulu, tetap wujud dalam negara induk (Iran). Begitu juga Agra (pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu ketika dulu, tetap berada dalam wilayah negara induk (India). Artinya, untuk mengembalikan wilayah berdaulatnya, Turki mesti bertempur di medan perang Sakaria (Izmir).
Sebaliknya, Aceh yang telah berhasil mengusir penjajah (Belanda dan Jepang) dari bumi Aceh tanpa harus menempuh jalan peperangan sengit seperti dialami Turki; gagal mempertahankan dan menyelamatkan Aceh, bahkan status turun derajatnya dari sebuah negara kepada Residen sejak (1938-1942), Residen Jepang (1942-1945), dan Residen Indonesia (1945-1949), salah satu provinsi (1949-1950) dan provinsi (1950-sekarang). Di atas pertimbangan inilah, ultimatum perang ini dianggap menyisakan masalah politik Aceh hingga sekarang. Wallahu a’lam bis-sawab. [Serambi Indonesia]
* Dr. Yusra Habib Abdul Gani, S.H., Direktor Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark. Email: yusragani@gmail.com
Artiker Terkait:
No comments:
Write komentar