|
Pasukan Belanda di Koeta Radja |
Pemerintah Kolonial Belanda menyangka dengan menguasi Dalam dan sebagian kecil
darah Aceh Besar serta dengan sebuah proklamasi dapat membuat daerah Aceh
lainnya takluk, kenyataanya perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya
semakin gencar.
Meskipun van Swieten telah memproklamasikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda
menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap mengangkat pengganti Sultan
Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan Tuanku Muhammad Daud bergelar
Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah, putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan
Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah.
Perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut hingga menjelang awal kedatangan Jepang
(1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan uleebalang serta
disemangati oleh pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair yang
membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut sebagai kafir
yang harus dilawan.
Syair-syair tersebut, di antaranya Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku
Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Kompeni karangan Abdul Karim yang dikenal dengan
panggilan Do Karim, dan berbagai hikayat heroik lainnya. Antipati juga
disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan rakyat Aceh untuk
mengibarkan Bendera Alam Peudeueng dan harus mengibarkan Bendera Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di
atas, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De
Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar
rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange
ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken
vijand,... met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar
achtte... die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben
tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn Kraton zou
ineenstorten maar tegenover een volksoorlong, die behalve over al de materieele
middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of
patriotisme beschikte..”
(“telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan
tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang
dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, ... suatu
bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat
dikalahkan... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat
menghadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya
Kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta-benda negara,
memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air”).
Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni Belanda
memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij
hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich
onverwinbaar achtte” (“Kita telah menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia
tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak
mugkin dapat dikalahkan”).
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat
atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun wanita). Rasa hormat itu
sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, yang menulis: “De
Atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten
haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed,
dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen
overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het
graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het
gezicht”
(“Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan,
terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan
mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai
rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi
maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe”).
Perang antara pihak Belanda dan pihak Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh
melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis: “Geen benden
van Diepo Negoro of Sentot, geen dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of
ruitmassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en
doodsverachting in het gevecht, zooveel stoutheid bij den aanval, zooveel
vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die door den
vrijheidlievenden, fanatieken, voor den guerilla-krijg als geschapen Atjeher
werden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor
ons leger, ...”
(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak
ada pasukan Padri yang sedemikian fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau
pasukan berkuda orang Bone yang telah memperlihatkan keberanian dan tidak
gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran, disertai dengan
kenakalan-kenakalan pada penyerangan, demikian penuh kepercayaan pada kekuatan
sendiri, begitu gigih di dalam menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan
oleh orang Aceh yang cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk
bergerilya. Karenanya, perang Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar
untuk tentara kita, ...”).
Zentgraaf, menutup dengan kalimat: “Cemme ils tombent bien.... en is er een
volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren niet met diepe
vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (... dan adakah suatu bangsa
di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini
dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku
sejarahnya?”).***
Sumber:
No comments:
Write komentar