Sunday, July 17, 2016

Lintas Sejarah Hubungan Aceh dengan Turki

Hubungan Aceh dan Negeri Turki dalam Catatan Sejarah

 

TURKI tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya Aceh pada saat ini. Ikatan sejarah masa lalu yang telah mendarah daging khususnya bagi masyarakat Aceh. Gerakan-gerakan pemuda Turki masa lalu juga telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.  Hubungan Aceh dan Turki Usmani pada masa lalu sangatlah erat, hingga bisa dikatakan seperti hubungan adik dan kakak. 
Dinasti Tukey Utsmaniyah

Beberapa sumber baik yang berasal dari hikayat-hikayat Aceh seperti Hikayat Aceh, Hikajat Soeltan Atjeh Marhoem dan juga tulisan Nuruddin Ar-Raniry yakni Bustanu’s-salatin menunjukkan bahwa  Kerajaan Turki Usmani dahulu telah membantu Kerajaan Aceh dalam memerangi bangsa Portugis
 
 
Dalam Hikajat Soeltan Atjeh Marhoem dikisahkan tentang kemurahan hati Sultan Kerajaan Turki Usmani yang mengirimkan ahli-ahlinya untuk mengajarkan seni berperang, membangun Kerajaan Aceh, juga menghadiahkan beberapa meriam sebagai alat bantu perang yang terkenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Dinamakan Meriam Lada Sicupak karena jauh dan rumitnya perjalanan dari daratan Aceh ke Kerajaan Turki, yang mengakibatkan utusan Kerajaan Aceh tersesat sampai memakan waktu tiga tahun untuk sampai di daratan Turki. Mereka terpaksa menjual padi, beras, dan lada-hadiah untuk Raja Turki yang masing-masing barang tersebut dimuat dalam tiga kapal layar-demi bertahan hidup.

Rombongan Aceh yang tiba di Istanbul dengan kapal bermuatan lada, komoditi paling berharga zaman itu ditugaskan Sultan Alauddin mempersembahkan lada yang dibawa kepada Sultan Sulaiman. Lada yang dibawa itu juga menjadi sumber perbelanjaan selama rombongan itu di Istanbul menanti dibenarkan menghadap Sultan Sulaiman yang sedang memimpin tenteranya di Hungary. Akhirnya, Sultan Sulaiman mangkat pada 1566 dan jasadnya dibawa pulang untuk dimakamkan di Masjid Sulaimaniye, Edirne.

Hanya  tinggal Lada sebanyak setengah bambu (Lada Sicupak) yang bisa dipersembahkan kepada Raja Turki Usmani. Selain itu, pada De Hikajat Atjeh dikisahkan juga tentang kunjungan utusan Kerajaan Turki ke Aceh untuk mencari obat bagi Raja Turki yang sedang mengidap suatu penyakit. Setelah mendapatkan obat yang dicari, maka pulanglah utusan tersebut dari Aceh dan dilaporkanlah kepada Sultan Turki Usmani tentang kemegahan Kerajaan Aceh. Sultan pun mengatakan pada wazirnya, “Pada masa lampau di Bumi atas kehendak Allah terdapat dua Raja besar yaitu Nabi Sulaiman dan Raja Iskandar Zulkarnain, maka pada zaman sekarang atas kehendak Allah terdapat dua raja yang amat besar, kita di Barat dan Sri Sultan Perkasa `Alam Raja di Timur.”

Sayangnya, di dalam hikayat-hikayat tersebut tidak   didapatkan informasi secara jelas tentang raja yang berkuasa di Turki dan di Aceh  saat itu. Namun, berdasarkan sumber yang lebih terpercaya sebagaimana  ditulis oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad, pengiriman bantuan dari Turki ke Aceh terjadi ketika Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar berkuasa di Aceh. Apabila kita membaca  sumber yang ditulis sejarawan asing, baik dari Turki ataupun negara lain, disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dan Turki telah terjalin sepanjang abad ke-16 sampai awal abad ke-17.

Kerajaan Aceh menjalin hubungan dengan Turki semenjak Turki Usmani berada di bawah kekuasaan Sultan Selim I, kemudian berganti Sultan Sulaiman I, sampai masa Sultan Selim II, bahkan berlanjut lagi pada abad ke-19 ketika kekuasaan di tangan  Sultan Abdulmejid II. Sumber Turki, Ismail Hakki Goksoy, menyebutkan, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar mengirim surat kepada Sultan Sulaiman melalui duta besar Hussein bertanggal 7 Januari 1566 dengan tujuan meminta bantuan militer untuk memerangi pasukan Portugis.

Namun, bantuan berupa ahli perang, kapal, meriam, tentara bersenjata lengkap tidak dapat segera dikirimkan dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi di Istanbul pada saat itu, termasuk juga peristiwa pengangkatan Sultan Selim II menggantikan Sultan Sulaiman yang mangkat. 

Istanbul Turki saat itu pernah dikenali sebagai "Islambul" yang bermaksud Kota Islam yang dibelah dua oleh Selat Bosphorus, memisahkan benua Asia dari Eropah. Menara masjid yang kelihatan di mana saja di kota itu  menggambarkan pengaruh Islam yang kuat sepanjang 471 tahun era Uthmaniyah di Istanbul. Sejak 1453 hingga 1924 iaitu dari detik Muhammad Al-Fateh membuka kota Constantinople hingga ke saat Mustafa Kamal Atarturk mengisytiharkan berakhirnya institusi Khalifah Uthmaniyah di Turki, 1001 peristiwa tercatat di lembaran sejarah Islam.

Keagungan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, pemimpin empire Uthmaniyah yang mewariskan kemegahan Islam melalui perluasan jajahan takluk dan penyebaran agama Islam, masih disebut hingga hari ini. Mungkin kejayaan itulah yang menjadi inspirasi kepada Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar, hingga merangsang beliau menghantar wakil diplomatik ke Istanbul. 


Saat itu, Ancaman Portugis di Nusantara para rombongan Aceh turut menceritakan hal itu kepada Sultan, maka baginda mengerahkan armadanya bersama meriam Turki, Ahli pembuat meriam dan senjata api pulang bersama rombongan Aceh. Pelabuhan Melaka bersejarah adalah kota rebutan di Selat Melaka yang menyaksikan kehadiran tiga kuasa Eropah sejak 1511 berpunca pada perdagangan rempah yang dikuasai pedagang Islam yang berulang alik antara dunia timur dan barat.
 
Makam Ulama Turki Salahuddin di Aceh ( Teungku Di Bitay)
Selama keberadaannya di Aceh, utusan yang dikirim dari Kerajaan Turki telah banyak memberikan kontribusi dan pengaruh besar terhadap Kerajaan Aceh. Di samping hubungan dagang antara dua kerajaan tersebut, Turki Usmani juga mendirikan akademi militer di Kerajaan Aceh yang telah mencetak pemimpin perang tangguh. Salah satunya  Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati adalah seorang  perempuan Aceh yang pernah memimpin berpuluh kapal perang, yang di setiap kapal tersebut terdapat ratusan tentara. Di samping itu, Goksoy juga menyebutkan dalam tulisannya tentang bendera Kerajaan Aceh yang berlatar merah bersimbolkan bulan sabit dan bintang putih dengan pedang di bawahnya.

Ini semua  pengaruh dari Kerajaan Turki Usmani. Hubungan antara dua kerajaan berlanjut lagi pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda menjajah Aceh. Sultan Aceh meminta bantuan kembali kepada Turki Usmani agar mengirimkan pasukan dan juga meminta kerajaan Aceh agar ditegaskan sebagai bagian dari Turki Usmani. Tujuannya  agar Belanda tidak dapat menguasai tanah Aceh.

Namun, pada abad ini Turki Usmani telah mengalami kemunduran pesat karena kekuatan Eropa yang semakin kuat dan semakin berkuasa di tanah Turki. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan, walaupun Turki Usmani mengirimkan sejumlah utusannya ke Aceh. Sekalipun tidak berhasil mengusir penjajah dari Melaka, kesultanan Aceh memberi isyarat jelas kepada Portugis bahwa Aceh bukan negara sembarangan, dan kerajaan Islam terbesar di nusantara itu turut mempunyai sekutu dan sangat disegani di tanah Eropa.

Setelah sekian lama tidak berhubungan dengan Aceh, Turki kembali mengirimkan bantuan kemanusiaannya setelah bencana gempa dan tsunami terjadi pada akhir tahun 2004. Tidak hanya berhenti pada saat itu, Turki terus melanjutkan bantuannya dengan mendirikan Sekolah Fatih dan juga memberikan bantuan berupa beasiswa bagi pemuda-pemudi Aceh yang ingin melanjutkan pendidikan S1, S2 dan S3 ke Turki. Setiap tahunnya sejak tahun 2007, jumlah masyarakat Aceh yang menempuh studi di Turki semakin bertambah, khususnya pada tingkat strata-1 dengan bidang ilmu yang bervariasi seperti teknik,  kedokteran, politik, komputer, hingga  sejarah. Semoga saja persahabatan dua negara muslim ini akan mengulangi kejayaan Islam  seperti abad keemasan Islam pada masa lalu.
 

No comments:
Write komentar