Setelah belajar di
Malaysia, diusia 23 tahun Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee berangkat ke Arab
Saudi untuk menunaikan ibadah haji serta bermaksud melanjutkan pendidikan
tingginya di Masjidil Haram. Sebelum berangkat ke Mekkah, Tgk Muhammad Hasan
Krueng Kalee pulang ke Aceh untuk berpamitan dengan keluarga dan mengajak adik
kandungnya Tgk Abdul Wahab belajar disana. Enam bulan di Arab Saudi, Tgk Abdul
Wahab meninggal dunia dan Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee tetap bertahan
melanjutkan pendidikannya hingga usai.
Itulah sedikit dari
banyak kisah yang ada dalam buku Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee yang
ditulis oleh tiga alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry,
yakni Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen Aly As Su’udi.
Buku tersebut dicetak pada tahun 2010 lalu.
Selain tentang
pendidikan, Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee dalam buku tersebut sarat dengan
informasi lain seputar kehidupan ulama besar Aceh ini, antara lain seputar
rumah tangganya, penghargaan yang pernah ia peroleh, kiprahnya dalam politik
dan pendidikan di Aceh. Disana juga berkisah tentang arah perjuangan dan
nilai-nilai keteladanannya selama Tgk Hasan Krueng Kalee hidup.
Muhammad Faisal
Sanusi seorang penulis yang dijumpai langsung AtjehLINK pada Sabtu
(23/03/2013) di Dayah Darul Ihsan mengatakan bahwa awalnya tidak ada niat untuk
menulis buku, namun hanya sekedar ingin mengetahui tentang Tgk Haji Muhammad
Hasan Krueng Kalee saja.Dalam perjalanannya, Faisal Sanusi dan dua rekan
lainnya merasa harus mengumpulkan seluruh informasi tentang Tgk Haji Muhammad
Hasan Krueng Kalee karena banyak dari tulisan beliau yang menjadi referensi
penulis sudah mulai tidak terawat.
Melihat kondisi ini,
penulis merasa perlu merangkum semua tentang kisah perjalanan seorang ulama
besar Aceh yang sudah berjasa dalam membangun dan berkarya untuk Aceh. Sejak
itulah niat menulis buku dimulai. Sumber bahan penulisan mulai dari orang-orang
yang pernah mengetahui dan dekat dengan Tgk Muhammad Hasan semasa hidupnya,
begitu juga dengan referensi lain yang pernah ditulis oleh Tgk Hasan sendiri
atau orang lain.
Faisal menambahkan, selama ini sudah bayak buku biografi Tgk.Muhammad Hasan
Krueng Kalee karangannya yang dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan dan untuk
masyarakat yang ingin mempunyai buku tentang Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee
dapat berkunjung langsung ke Dayah Darul Ihsan Siem, Kecamatan Darussalam, buku
tersebut akan diberikan secara cuma-cuma. (zamroe)
Siapa Teungku Hasan?
Syaikh Teungku Hasan bin Teungku
Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku
Muhammad Fadhli. Yang lebih dikenali sebagai Syaikh
Hasan Krueng Kaleeatau Abu Krueng Kalee adalah salah
seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh.Untuk pengetahuan,
"teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi
kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada
bangsawan atau pemimpin.
Beliau lahir pada
tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah
Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie, Aceh. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk.
Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam
pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di
kawaasan Aceh Besar.
Muhammad Hasan kecil
dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di
sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad
Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga
belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru
pertama setelah ayahnya sendiri.Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan
pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik
Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut
mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.
Dari Yan, Tgk. M. Hasan
bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk
melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di
sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk.
Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari
para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang
pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana
kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad
Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari
Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu
singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di
pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian
dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak
Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah
Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut.
Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di
Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa
Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.Di tempat terakhir ini, Abu Krueng
Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader
ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh, Di antara
murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah :
- Teungku
Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
- Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Bireuen.
- Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie
Puteh,
- Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang
- Tgk. Haji Adnan Bakongan
- Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi
Aceh Rayeuk.
- Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam masjid
Baitur Rahman Banda Aceh.
- Teungku
Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
- Teungku
Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
- Teungku
Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timue.
- Teungku
Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timue.
- Teungku
Haji Muda Waly Labuhan Haji, pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh
Selatan.
- Tgk.
H. Idris Lamreng (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Rektor IAIN Ar-Raniry)
- Teungku
Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Barat Daya
- Syaikh
Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
- Kolonel
Nurdin, bekas Bupati Aceh Timue.
- Teungku
Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.
Pada tahun 2007, senin
7 Mei, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi
ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada
pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat
ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah. Keempat
ulama itu, masing-masing:
1. Syaikh Abdurrauf As-Singkili,
2. Syaikh Hamzah Fansuri,
3. Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee dan
4. Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy ( Tgk H Muda
Waly )
Peran Tgk. H. M. Hasan
Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan
pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam
bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi
kelangsungan RI yang ketika itu baru seumur jagung.
Kiprah dalam Politik
dan Organisasi Islam
Satu hal yang menarik
dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu
Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal
sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia
politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.Pada
masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang
menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya
tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak
bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan
lain-lain.
Pada tanggal 1-2
Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar,
Tgk.Haji Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan
masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir
menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk H.Hasballah
Indrapuri, Tgk H.Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi
Ash-Shiddiqy, Tgk Haji Hasan Kruengkalee, Tgk. H.Trienggadeng dan lain-lain
sebagainya. Keputusan-keputusan yang diambil dari musyawarah pendidikan Islam
tersebut adalah :
1. Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita
mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib
dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
2. Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke
sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
3. Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu
tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara.
Setelah proklamasi 17
agustus 1945, Tgk H.Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama
mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku haji
Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Haji Hasballah indrapuri dan Teungku Muhammad
Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa :
”Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah
perjuangan suci yang disebut perang sabil.Maka percayalah wahai bangsaku bahwa
perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin
oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.
Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu,
mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita
dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk
keselamatan tanah air agama dan bangsa.”
Pernyataan tersebut
tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan orang-orang dewasa dan
orang-orang tua agar berjihat dalam satu barisan teratur, barisan sabil atau
barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk Haji Hasan Krueng Kalee
mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis
dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik
Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy
tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan
ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu tersiar luas, maka berdirilah
barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi
Teungku Chik Ditiro.
Pada masa itu Tgk Haji
Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik
masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah
pendidikan yang lebih berdaya guna. Tetapi pada masa hangt-hangatnya perjuangan
membela tanah air, organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan
pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof.
A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya.
Pada awal tahun 1942
Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh,
adalh hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut
sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam
madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah
diperbaharui.Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil
sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan
Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di
Aceh.
Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah
Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah
ikut aktif dalam pemberontkan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini
pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan diatas Tgk Haji
Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah,
hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945.
Almarhum Tgk Haji Hasan
Krueng Kalee juga telah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah
untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan
Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya,
diantaranya oleh Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Muhammad Daud
Beureueh, Teungku Ja’far Lamjabat alias Teungku Syik Lamjabat dan Teungku Haji
Ahmad Hasballah Indrapuri (Teungku Indrapuri).Dari uraian diatas jelas bahwa
Tgk Haji Hasan Krueng Kalee, pada awal tahun proklamasi Republik Indonesia,
beliau pernah mengeluarkan fatwa Aceh, tentang seruan jihad fisabilillah
melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Indonesia merdeka bersama-sama
ulama Aceh lainnya. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul
organisasi islam yang lain, namun Tgk Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan
aktifitasnya melalui organisasi Perti.Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan
masyarakat tampil kemedan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan
dan mempertahankannya.
Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya
Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah,
Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun
organisasi-organisasi Islam lainnya.Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga
terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku
Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada
dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah
seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di
Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu
ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional
Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi
besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh
dipenghujung tahun 1945 tersebut.
Dayah Darul Ihsan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at
sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk.
Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga
istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri.
Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda
Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee
memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat
Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di
Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih
terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi
kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam. (DIPOSTING OLEH YASIRMASTER).
Abu Hasan Krueng Kalee adalah Ahli Falakiyah Aceh
Diantara
guru-gurunya selama berada di Mekkah adalah syeh said Alyamani Umar bin Fadhil,
Syeh khalifah, Syeh said Ahmad bin said Abibakar al Syattar addimyati, Syeh
Abdullah Isma’il, Syeh Hasan Zamzami, Syeh Abdul Maniem dan Syeh Yusuf
Annabhany. Abu hasan Krueng Kalee menetap di Mekkah selama tujuh tahun yaitu
dari tahun 1909-1916 M. Disamping menguasai berbagai disiplin ilmu agama
yang lazim dipelajari oleh ulama lain, Ia juga menguasai Handasatul
Mutsallastaat (ilmu ukur sudut) dan ilmu falak (Astronomi). Dalam mempelajari
ilmu falakiyah, beliau memiliki Rubu’al Mujayyab, suatu alat ukur yang
sederhana dalam ilmu falakiyah, belia belajar ilmu ini pada
pensiunan Jenderal Turki Usmani yang telah bermukim di Mekkah diketika itu. Yang
beminat menukuni ilmu falak dari nusantara waktu itu cuma abu Hasan Krueng
Kalee dan Syeh Jamil Jaho dari Padang. Sehingga nama abu hasan Krueng Kalee
dikenal dengan sebutan Syeh Muhammad Hasan Al Asyie al Falaky.
Dalam
ilmu falak beliau menganut faham rukyatul hilal dan kriteria bulan bisa dilhat
6 derajat di atas ufuk mar’i. untuk menghindari komplik dalam penentuan awal
bulan Ramadhan dan wal Syawal, setiap tahun beliau mengeluarkan imsakiyah
pribadi sebagai rujukan umat islam Aceh dengan standar jam kreta api waktu itu.
Bahkan hasil hisabnya diakui pemerintah Belanda sebagai penentuan resmi awal
puasa di Aceh pada masa penjajahan.Suatu ketika, seorang konteler (ahli ukur
sudut ) Belanda yang ingin menguji kehebatan Abu Hasan Krueng Kalee dalam Ilmu
Falakiyahnya dan ukur sudut datang menjumpai Abu di dayah menasah blang sambil
minum air kelapa, kolonel itu bertanya berapa tinggi gunung yang terlihat jelas
dari dayah,,? Setelah Abu memikir sejenak beliau langsung menjawab dengan benar
dan diakui oleh kolonel Belanda tersebut. (sumber: media dakwah santi dayah
edisi 10 / 2011 dengan penambahan dan pengurangan seperlunya).
(OLEH: TGK. ISMAIL, S.Sy)
Sepak Terjang Abu Krueng Kalee
”Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah negara yang berdiri
sendiri. Namun semuanya buyar setelah usulan itu tak diterima Daud Beureueh
yang pada akhirnya ia sendiri tertipu janji palsu Soekarno...”
Sapaan akrab Abu Krueng
Kalee jika bertandang ke Gampong Siem, Aceh Besar, mungkin tak asing lagi bagi
masyarakat di sana. Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee itulah nama aslinya yang
kini telah bersemat megah di sebuah pondok pesantren: Darul Ihsan Tgk Hasan
Krueng Kalee. Pesantren itu juga dikenal dengan sebutan “Dayah Manyang”.Abu
Krueng Kalee merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh. Ia lahir pada 13
Rajab 1304 H/18 April 1886 M di Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Mukim
Sangeue, Kabupaten Pidie. Abu, begitu ia disapa, selain piawai dalam
mengajarkan ilmu agama dan pendidikan, juga menjadi sosok ulama yang begitu
peduli dengan keadaan politik dan sosial Aceh pada masa-masa kemerdekaan
Indonesia tahun 1945.
Melihat sepak terjang
Abu dan sejarah hidupnya memang sangat mengagumkan, khususnya bagi generasi
Aceh yang ingin tahu banyak tentang kisah hidup ulama-ulama Aceh yang berjaya
pada masanya.Abu Krueng Kalee menjadi ulama bukan karena diagungkan oleh
masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh yang begitu
besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”. Gelar
itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5 Mei 2007, di
Masjid Raya Baiturrahman.Pada pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat,
selain Abu Krueng Kalee, ada tiga ulama lainnya yang telah sampai pada tingkat
Ma’rifatullah. Dua di antaranya ulama terkemuka masa silam, yakni Syeikh
Abdurrauf as Singkily dan Syeikh Hamzah al Fansuri dan Tgk H Muhammad Waly
Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan Tgk H Muda Waly—pendiri salah satu
pesantren terkemuka di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Pandangan Politik Abu
Berbicara masalah
politik (siyasah) bukan barang langka bagi Abu, terlebih setelah Indonesia
merdeka. Abu piawai dalam mengambil berbagai keputusan politik di Aceh, karena
didasari pada penguasaannya terhadap pelbagai ilmu sejarah, baik sejarah Islam
(tarikh al Islamy) maupun dunia.Dari itu, Abu mampu mengkaji elemen-elemen
sosial dan politik dalam menghadapi berbagai persoalan dan peristiwa yang
muncul saat itu.Dalam biografi singkat “Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng
Kalee (1886-1973): Ulama Besar dan Guru Umat” yang diterbitkan Yayasan
Darul Ihsan Tgk Hasan Krueng Kalee disebutkan, pada hakikatnya seseorang yang
ingin mendalami kandungan Alquran dengan baik dan benar, mutlak harus
mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai upaya mengambil suatu hukum dan i’tibar
serta memahami dengan benar ilmu fiqh sirah.
Hal itulah yang
dipraktikkan Abu dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi di
Aceh dan nusantara semasa hidupnya.Perannya sebagai seorang ulama salafi dan
sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh dari berbagai persoalan-persoalan umat.
Kiprahnya selalu hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul di
sekelilingnya.Salah satu hal yang masih membekas pada rakyat Aceh adalah
lahirnya “Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh” pada 15 Oktober 1945.
Maklumat itu dicetak dalam bentuk selebaran dan dibagikan ke seluruh Aceh dan
wilayah Sumatera.
Maklumat itu
dikeluarkan di Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai oleh empat tokoh ulama yang
mewakili seluruh ulama Aceh, yakni Tgk H M Hasan Krueng Kalee, Tgk M Daud
Beureueh, Tgk H Dja’far Siddik Lamjabat dan Tgk Ahmad Hasballah Indrapuri.
Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno.
Inti muatannya,
maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan
mempertahakan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang
disebut perang sabil (jihad fi sabilillah) meneruskan perjuangan Aceh terdahulu
seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat
mewakili rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan penuh dengan dicantumkannya
atau diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residen Aceh dan disetujui oleh
Tuwanku Mahmud (keturunan Sultan Aceh) selaku Komite Nasional Indonesia Daerah
Aceh (KNIDA).Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan
seruan/maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting atas nama pribadinya
pada 25 Oktober 1945. Isinya tak jauh beda dengan maklumat bersama.Seruan yang
ditulis dalam bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda
Republik Indonesia). Disertai surat pengantar yang ditandatangani Ketua Umum
PRI, Ali Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor 116/1945. Maklumat itu kemudian
dikirim ke seluruh pimpinan dan ulama Aceh.
Adanya maklumat itu
berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik dan materil
rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak
terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni
1948, dengan lantang Soekarno menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya
adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Aceh Nyaris Berdiri Sendiri
Di Blang Padang, Banda
Aceh, ada sebuah bangunan tua bekas pusat pemerintahan Belanda. Kini telah
berubah wujud. Dijadikan SMA Negeri 1 Banda Aceh.Di ‘gedung setan’, sebutan
rakyat Aceh waktu itu terhadap kantor Belanda (SMAN 1 Banda Aceh kini), menjadi
saksi bisu fakta sejarah tanggal 20 Maret 1949. Di gedung itulah pertemuan
penting para tokoh-tokoh di Aceh berlangsung, salah satunya Abu Krueng Kalee.
Pertemuan itu membahas
isi sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang dikirim Wali Negara Sumatera
Timur, DR Teungku Mansur ke Aceh. Saat itu Aceh merupakan provinsi yang
dipimpin seorang Gubernur Militer dan Sipil yang membawahi wilayah Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo. Dan surat itu berisi undangan kepada Tgk M Daud
Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh untuk menghadiri rapat yang diberi nama
“Muktamar Sumatera” untuk membahas pembentukan “Negara Republik Federasi Sumatera”.
Padahal, Muktamar
Sumatera itu merupakan gagasan terselubung dari politiknya Gubernur Hindia
Belanda Van Mook untuk memecah-belah wilayah Indonesia yang sudah
memproklamirkan kemederkaannya bisa bubar. Van Mook melakukan itu karena
seluruh wilayah di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki Belanda
pascaagresi militer ke II tahun 1948.Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di bawah kepemimpinan Syahruddin Prawiranegara yang dibentuk atas
perintah Soekarno, akhirnya harus pindah-pindah, yakni ke Yogyakarta, Bukit
Tinggi, dan Aceh, karena kala itu ibukota RI di Jakarta telah diduduki Belanda
serta sejumlah tokoh nasional dan termasuk Soekarno telah berhasil ditawan
Belanda.
Hanya Aceh,
satu-satunya yang sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949) tidak berhasil
diduduki Belanda, sehingga gagasan yang ditawarkan oleh Van Mook untuk
bergabung dalam Negara Republik Federasi Sumatera (NRFS) akan membuat Indonesia
pada akhirnya tak lagi berwujud.
Kepentingan Belanda
untuk Aceh agar bergabung bersama NRFS sangat besar. Aceh dianggap Belanda
telah menjadi daerah modal RI dan tak lagi memberi dukungan dan perjuangan
untuk rakyat Indonesia ke wilayah lain.Suasana ‘gedung setan’ pun hari itu
berlangsung panas. Terjadi perdebatan sejak jam 10 pagi sampai jelang jam 11
malam. Hasilnya berupa tiga pilihan: sebagian menerima ajakan Van Mook
bergabung bersama NRFS; sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai negara
sendiri; dan sebagian tetap setia mempertahankan negara Republik Indonesia.
Dari tiga pilihan itu,
hanya Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri sendiri. Berbagai pertimbangan
Abu uraikan. Menurutnya, roda pemerintahan Republik Indonesia sudah lumpuh.
Secara defacto, wilayah RI sudah kembali diduduki Belanda, kecuali Aceh.Selain
itu, Aceh telah memiliki sejarah dan kemampuan secara militer untuk berdiri
sendiri lewat salah satu komando Tgk Daud Beureueh yang menjabat Gubernur
Militer dan Sipil untuk Aceh, Langkat, dan, Tanah Karo, sehingga berbagai alat
persenjataan berat peninggalan Jepang yang berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa
menjadi salah satu modal kemampuan Abu dan para ulama lain untuk menggalang
kekuatan rakyat dalam mendukung gagasan tersebut.
Namun saat berbagai
gagasan dan uraian disampaikan Abu, Tgk Daud Beureueh juga meminta pendapat peserta
rapat atas tawaran Van Mook, tetapi tidak ada satupun dari mereka memberikan
tanggapan.
Menurut Tgk Ishak
Ibrahim, salah satu anggota TNI yang pernah bertugas di Makassar dan pada masa
DI/TII menjabat sebagai komandan Batalion DI/TII wilayah Darussalam, malam itu
Tgk Daud Beureueh akhirnya menanyakan tanggapan ke Abu tentang tawaran Van
Mook.
Abu dengan tegas menjawab,
“Kalau mau senang, lepaskan Aceh dari RI. Ambil yang baik meskipun itu
keluar dari mulut rimueng (harimau).”
Tgk Daud Beureueh menentang
keras jawaban Abu. Padahal sosok Abu di mata Daud Beureueh adalah seorang guree
(guru). Daud Beureueh pun kembali mempertegas: kesetiaan rakyat Aceh terhadap
RI bukan dibuat-buat, melainkan kesetian yang tulus dan ikhlas dengan hati
nurani yang penuh perhitungan dan perkiraan.
Dalam pidatonya, Tgk Daud Beureueh mengatakan;
“…sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk suatu Aceh Raya, karena
kita di sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan dari Wali Negara
Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada saja, dari karena itu tidak
kita balas.”
Penolakan Tgk Daud
Beureueh juga didasari atas keyakinannya bahwa Soekarno akan menepati
janji-janji yang telah disampaikan dengan linangan air mata kepadanya dalam
kunjungan ke Aceh tahun 1948. Pada Tgk Daud Beureueh, Soekarno berjanji akan
memberikan izin bagi Aceh untuk mengurus daerahnya sendiri dan menjalankan
syariat Islam.Akhirnya, usulan Abu tak mendapat dukungan penuh dari peserta
rapat. Ia kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin tetap bergabung dengan RI.
Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR Teungku Mansur dan gejolak
membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.Akan tetapi semangat Abu Krueng Kalee
belum surut. Ia didampingi muridnya Tgk Idrid Lamnyong di kediamannya di Banda
Aceh, kembali mengajak Tgk Daud Beureueh mendirikan Pemerintahan Aceh. Ajakan
itu diungkapkannya sehari menjelang penyerahaan kekuasaan Belanda kepada
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) di Den Haag, 27 Desember
1949.Namun jawaban Daud Beureueh juga tak berubah. Perdebatan sengit pun
kembali terjadi, hingga akhirnya Abu mengatakan;
“Mulai jinoe, bek ka peugah sapeu le bak lon, kah hana ka teupeu… (mulai sekarang jangan katakan apapun lagi pada saya, kamu tidak tahu—apa
yang saya ketahui—)….”
Ketika Peristiwa DI/TII Meletus di
Aceh
Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh, seorang utusan Daud Beureueh
datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau
menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “terbangkanlah layang-layang
ketika angin kencang Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan
kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat,
tidak akan membuahkan hasil, Namun justru akan menyengsarakan rakyat.
Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang
ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni
thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Meski demikian beliau
bukanlah seorang ulama yang tradisional (kolot). Salah seorang murid Tgk Haji
Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.Tengku
Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu
mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai
ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan
aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang
hidupnya.Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif
berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan
bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama.
Para ulama
tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi
seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) dan lain-lain.
Logika Agama dan Ilmu Hakikah
Menelaah secara logika, apa yang disampaikan Tgk Daud Beureueh lewat
pandangannya bersama tokoh-tokoh lain untuk mendukung Aceh tetap bergabung
dengan Republik Indonesia memang tidak dapat disalahkan.Pandangan tersebut
terlihat dari motivasi dan prinsip mashalah yang lebih besar, karena demi
memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia yang pada saat itu mati
suri. Apalagi janji-janji Soekarno masih begitu terpatri dalam setiap ingatan
rakyat Aceh, sehingga sulit dipercaya jika janji itu akan dikhianati dikemudian
hari. Bak seorang negarawan sejati tentu akan mengambil kesimpulan yang sama
dengan Daud Beureueh.
Abu sendiri dalam
menilai persoalan ini tetap merujuk pada logika agama. Namun di sisi lain Abu
juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut ilmu firasat (laduni). Salah satu
ilmu yang diberikan Allah SWT kepada para walinya yang telah mencapai maqam
ma’rifah, sehingga sulit bagi awam untuk mengerti pada awalnya.Jelas sekali padangan
Abu sangat bertolak belakang jika merujuk apa yang terjadi pada Maklumat Ulama
sebelumnya. Namun bagi orang yang paham sikap dan pola pikir Abu dalam
mengambil suatu keputusan, tentu akan menjadi jelas dan mudah mengerti.
Melihat kondisi awal
kemerdekaan, menjadi alasan bahwa mengharamkan umat Islam keluar dari ketaatan
pemimpin jika sudah terpilih atau diakui secara mayoritas, walaupun pemimpin
itu fasiq atau jahat, selama ia tidak mengharamkan umat untuk mengerjakan salat
dan farzu lainnya. Maka menurut pemahaman sunni, pemimpin itu harus tetap
ditaati, walau boleh dibenci.
Lain halnya saat
Indonesia pascaagresi militer, di mana Pemerintah RI sudah lumpuh dan tak bisa
lagi berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian situasi di Bukit Tinggi
tak lagi aman. Bahkan Daud Beureueh meminta Presiden PDRI waktu itu Syafruddin
Prawinegara hijrah ke Aceh, sehingga pemerintahan RI masih dapat
dipertahankan.Oleh karena itu, secara hukum agama, Aceh sudah memiliki momentum
yang tepat dan boleh untuk mengumumkan negaranya sendiri demi menghindari
kevakuman pemimpin dan pemerintahan, di mana kehilangan pemimpin menurut ajaran
agama dan keyakinan Abu sangat dilarang dalam agama, seperti dalam salah satu
riwayat ulama fiqih mengatakan:
“Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang jahat lebih baik dari
semalam tanpa pemimpin.”
Jadi, bisa dikatakan,
tak ada kontradiksi antara kedua pandangan Abu dalam hal ini. Sebab pandangan
tersebut berada dalam situasi dan kondisi negara yang sangat berbeda. Berbagai
sikap politik Abu untuk mendukung dan lepas dari RI juga berpijak atas dasar
agama dan dalil-dalil seperti ayat Alquran dan Hadis, Ijma serta kajian terhadap
ilmu Fiqh Siyasah. Kini Abu telah tiada, manusia yang hanya bisa berencana
namun takdir Allah untuk menentukan apa yang berlaku. Wallahua’lam.
Oleh Aulia Fitri, Penulis, salah satu pendiri dan penggiat di Komunitas Aceh Blogger.
Kutipan dari Sosok Abu Krueng Kalee di kancah
Nusantara, Rubrik Fokus Harian Aceh.
Santriwati Dayah Darul
Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee Kunjungi Tempat Bersejarah
Baru-baru ini santri
Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee yang berasal dari Kelas satu Aliyah
mengadakan kegiatan rihlah/tour kesejumlah situs-situs sejarah yang berada di
sekitar Banda Aceh.Kegiatan yang dipandu langsung oleh guru sejarah Drs.
Tarmizi ini, berjalan sesuai rencana. Situs sejarah pertama yang dikunjungi
adalah rumoh Aceh. Setelah siap melihat dan menggali sejarah dari rumoh Aceh.
Santriwati Darul Ihsan menuju Makam Iskandar Muda untuk memperkenalkan kepada
santriwati siapa punggawa Aceh tempo dahulu. Sekaligus untuk memotivasi pelajar
agar lebih kreatif berkarya di masa depan dengan spirit sejarah indatu yang
pernah mencapai masa keemasan pada masa silam.
Santriwati Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee
Kemudian setelah merasa puas menggali sejarah untuk
membangkitkan jiwa kesatria dari sang raja diraja Sultan Iskandar Muda.
Rombangan santriwati Darul Ihsan menuju Museum Tsunami. Adapun tujuan tuor ke
Museum Tsunami adalah untuk mengenang kedahsyatan musibah yang menimpa
masyarakat Aceh pada delapan tahun silam.Tour sejarah ini,bagian dari
pengamalan Al-Quran, karena dalam kitab suci Alqur’an banyak sekali terdapat
ayat yang menganjurkan setiap muslim melakukan perjalan di muka bumi Allah.
Antara lain : Yang terdapat dalam Surah Al-Fathir ayat 44.
“Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana
kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah
lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan
Allah baik di langit maupun di bumi”.
Sebut Tgk. Mustafa Husen Wayla kepada Majalah Santri Dayah.
Perintah melakukan
perjalannan juga banyak terdapat dalam surat yang lain. Diantaranya; Al Hajj :
46, Thaha : 128, Muhammad : 10, Mukmin: 21Ar,Rum: 42 dan Mukmin: 82. Jadi
intinya, Program perjalan kesejumlah tempat situs sejarah adalah bagian dari
mengamalkan perintah agama sekaligus sebagai bentuk tarbiyah/pembelajaran
sejarah dengan objek atau pelaku sejarah secara langsung bukan sekedar membaca
materi semata. hal ini sesuai dengan visi misi Dayah Darul Ihsan dalam
menciptakan generasi yang islami, aktif, aplikatif, beriman, berwawasan dan
memiliki ilmu tentang masalah duniawi dan ukhrawi.
Pada akhir rangkaian
akhir scheedul acara tour kali ini, Santri Darul Ihsan menjumpai tokoh heroik
pejuang Aceh,doto Zaini Abdullah di Pendopo Gubernur Aceh. Santriwati Darul
Ihsan diberikan waktu khusus untuk berbincang-bincang dengan gubernur mantan
dokter dan pejuang itu. Kegiatan temu ramah dengan orang nomor satu di Aceh di
tutup dengan acara foto bersama Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah. [TF]
Santri Dayah.Com, Banda Aceh
No comments:
Write komentar