Tgk. H. Muhammad Amin (Abu Tumin)
Itu adalah nasehat Abu Tumin Blang Bladeh yang beliau sampaikan kepada kami saat hendak beranjak pulang setelah lebih dari setengah jam bersilaturrahmi ke kediamannya di Gampong Kuala Jeumpa, Blang Bladeh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Aceh. Nasehat yang akan selalu bersemi di hati kami.Hari itu kami juga banyak mendapat nasehat lainnya dari Abu Tumin. Seorang ulama salafi kharismatik di Aceh. Murid dari alm. Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy.Nasehat dan pandangannya begitu menyentuh kami. Tapi beliau tetap saja merendah.
Di usianya yang telah lebih dari 80
tahun, beliau nampak sehat dan segar. Pendengarannya masih sangat jelas.
Penglihatannya tajam dan pemikirannya pun cukup jernih. Abu Tumin menyambut
sendiri kedatangan kami siang menjelang shalat Dhuhur hari itu.Tentang tidak ada ilmu yang lebih indah selain ilmu iman, beliau
menjelaskan bahwa tidak ada ilmu yang dapat mengatur hidup dan
kehidupan manusia selain ilmu iman.
“Dan, sebaik-baik ilmu
yang dimiliki atas seseorang adalah ilmu yang diperoleh saat di masa didik,”
ujarnya.
Abu Tumin menjelaskan,
ilmu itu awal dari terbentuknya ideologi. Menjadi landasan seseorang saat akan
terjun ke masyarakat.
“Semua itu bermula dari
ilmu.”
Karena ilmu iman itu
pula, dahulu masyarakat Aceh mencapai puncak kejayaannya. Ilmu yang
mempersatukan umara dan ulama. Ilmu yang sesuai dengan doa umat muslim
sebagaimana tersebut di dalam Alquran, "Rabbana atina fid-dunya
hasanatan wa fil 'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar." Doa yang
mempunyai makna bahwa Islam datang untuk mengatur kehidupan manusia dengan
Allah SWT dan kehidupan manusia dengan sesama manusia.Menurut Abu Tumin,
landasan-landasan itu yang dahulu membentuk kerjasama yang erat antara sultan
(umara) dengan ulama, hingga kemudian kita mengenal,
“Adat bak Poe
Teumeruhom, hukom bak Syiah Kuala.”
Poe Teumeuruhom
atau nama lain dari Sultan Iskandar Muda yang melambangkan sosok umara
atau negarawan dan Syiah Kuala sebagai seorang ulama besar kala itu.
Abu Tumin sendiri,
dalam bahasa beliau, termasuk sosok ulama yang dalam pergaulannya senantiasa
berinteraksi dengan tubuh pemerintah dan keamanan. Tapi beliau sendiri bukanlah
orang pemerintah. Hal itu sudah dilakukannya semenjak masih usia muda. Tentang
perkembangan Aceh masa kini, Abu Tumin juga punya pandangannya tersendiri.
Menurut beliau, saat ini Aceh belum memiliki seorang panglima yang dapat menyatukan
seluruh komponen masyarakat Aceh. Begitupun dengan panglima yang dapat memupuk
kembali kesadaran umara atau negarawan dan ulama sebagaimana dipraktikkan pada
masa Sultan Iskandar Muda dahulu.
“Ketika umara atau
negarawan dan ulama berjalan sendiri-sendiri, maka dengan sendirinya masyarakat
juga akan terpecah dan terbagi ke dalam dua kelompok,” tutur Abu Tumin.
“Tapi ketika umara dan
ulama sudah memiliki kesadaran untuk bersatu dalam kebaikan, maka ketika muncul
suatu keputusan, maka itulah keputusan umara dan ulama. Dengan sendirinya
masyarakat juga tidak akan terpecah belah lagi.”
Dalam pandangannya, Abu
Tumin menilai, ulama masih cukup mendapat tempat di hati masyarakat Aceh. Tapi,
karena belum adanya panglima seperti maksud di atas, masyarakat Aceh kini
seperti orang yang tidak tau cara menjaga malakat dan tuah yang dimilikinya.
“Malakat kana lam
jaroe, tuah kana bak droe, tapi lagei-lagei hana ta
teu’oh peutimang,” tutur Abu Tumin dalam
bahasa Aceh.
“Perdamaian dengan
segala hal yang melekat di dalamnya, seperti MoU Helsinki dan UUPA adalah salah
satu malakat dan tuah yang dimiliki Aceh saat ini.”
Bagaimana cara menjaga
malakat dan tuah yang telah dimiliki adalah jalan menuju Aceh yang lebih baik.
Apalagi watak masyarakat Aceh dari dahulu sampai sekarang adalah sama.
“Watak masyarakat Aceh
sebenarnya dari dahulu tidak pernah berubah. Yang berubah adalah perangainya
disebabkan pengaruh budaya global,” tutur Abu Tumin.
Beliau pun kemudian
merincikan tiga watak masyarakat Aceh, yaitu: (1)Geumaseh dalam
artian hana meuthen memberi sesuatu kepada orang lain; (2) Setia
dan; (3) Berani.
Sebagai ulama salafi
kharismatik Aceh yang terlahir sejak masa penjajahan, Abu Tumin menilai, ketiga
watak itu sebenarnya menjadi landasan bagi kemajuan Aceh.
“Tapi Aceh yang tidak
dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian kecil, hingga identitasnya hilang,” lanjut
beliau.
Abu Tumin termasuk
salah satu ulama yang tidak ingin identitas Aceh hilang. Terlebih indatu Aceh
dahulu telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyatukan kerajaan-kerajaan
kecil ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam.Apalagi pada masa Turki Usmany, Aceh
Darussalam pernah mencatatkan namanya dalam daftar lima besar kerajaan-kerajaan
Islam di dunia.Abu Tumin pun tau benar tentang identitas Aceh ini dan berusaha
untuk terus menghidupkannya. Beliau, bersama-sama almarhum Abu Tanoh Mirah yang
juga murid Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy aktif
memprakarsai dan menghidupkan majelis taklim antar kabupaten di seantero tanah
Aceh.Saat itu dan hingga kini pun, beliau aktif mengajar di majelis taklim
dihampir seluruh kabupaten di Aceh. Dari pesisir Timur hingga Barat Aceh.
Menjaga dan memperkuat silaturrahmi dengan seluruh komponen masyarakat Aceh.
Abu Tumin yang memiliki
nama lengkap Tgk. H. Muhammad Amin pertama kali belajar agama dari orangtuanya
di Blang Bladeh.Seperti anak-anak lainnya, beliau juga belajar mengaji dari
satu teungku kepada teungku lainnya di Aceh hingga kemudian hijrah ke Labuhan
Haji untuk belajar pada Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy. Murid-murid Abuya Syeikh
Muda Wali Al-Khalidiy sendiri kemudian banyak dikenal sebagai ulama
kharismatik di Aceh, seperti: almarhum Abu Tanoh Mirah, almarhum Abu Aziz
(Abon Samalanga), Syeikh Abu Lam Ateuk (Abu Mamplam Golek) dan
almarhum Abu Ibrahim Woyla.Sepulang dari Labuhan Haji, Abu Tumin kemudian
meneruskan kepemimpinan Dayah yang ditinggalkan oleh orangtuanya, Tu Muda.
Dayah yang kini memiliki nama lengkap Al-Madinatuddiniyah Babussalam, Blang
Bladeh, Bireuen, Aceh.
Meski berstatus Dayah
Salafiah, tapi, ijazah tingkat akhir yang dikeluarkan Al-Madinatuddiniyah
Babussalam telah disetarakan setingkat dengan Aliyah (SMA) berdasarkan surat
keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bireuen.“Kami mendorong
para santri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” ungkap
beliau.
“Tapi dengan tetap
tidak melupakan ilmu iman yang diperolehnya di masa didik, karena itu adalah
seindah-indahnya ilmu. Landasan terbentuknya ideologi dan menjadi bekal untuk
terjun ke masyarakat.”
Al-Madinatuddiniyah
Babussalam adalah dayah salafiah pertama di Aceh yang mendorong para santrinya
untuk juga menuntut ilmu di sekolah formal.
“Kala itu beberapa
dayah salafiah lainnya masih terkesan tertutup dan agak sukar memberikan izin
kepada santri untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah formal.”
Kini, saat bulan
Ramadhan (puasa) tiba, ketika belajar mengajar diliburkan, banyak santri dan
masyarakat umum yang kemudian melakukan khalut di sana. Mensucikan diri agar
lebih dekat dengan Sang Pencipta; Allah SWT. (mardani malemi)
Didik Santri Sejak Zaman Belanda
DAYAH Alminatuddiniyah Babussalam, Blangbladeh, Kecamatan
Jeumpa
Bireuen merupakan induk dari beberapa dayah slafiah di Aceh yang sudah mendidik santri sejak zaman Belanda. Awalnya, dayah tersebut didirikan Tgk H Imam Hanafiah pada tahun 1890. Setelah Tgk Imam meninggal, estafet kepemimpinan dayah itu dilanjutkan anaknya
Sejak Tgk Mahmudyah meninggal hingga sekarang dayah itu dipimpin anaknya yaitu Tgk Mahmudsyah. Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu Tumin. Abu Tumin adalah cucu Tgk Imam Hanafiah. “Dayah ini adalah dayah salafiah yang terus berupaya melahirkan kader-kader ulama dan berjuang keras agar syariat Islam tidak hanya sebatas wacana,” ujar Abu Tumin (80) menjawab Serambi di rumahnya kawasan Blang Bladeh, dua hari lalu. Menurutnya, dayah yang berciri khas pengajian ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir saat ini memiliki 850 santri dengan 80 guru. Dalam rentang waktu yang sudah mencapai 121 tahun mendidik generasi muda, dayah itu sudah dikenal luas dan telah ada belasan pesantren lain yang merupakan cabang dari dayah tersebut.
Bireuen merupakan induk dari beberapa dayah slafiah di Aceh yang sudah mendidik santri sejak zaman Belanda. Awalnya, dayah tersebut didirikan Tgk H Imam Hanafiah pada tahun 1890. Setelah Tgk Imam meninggal, estafet kepemimpinan dayah itu dilanjutkan anaknya
Sejak Tgk Mahmudyah meninggal hingga sekarang dayah itu dipimpin anaknya yaitu Tgk Mahmudsyah. Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu Tumin. Abu Tumin adalah cucu Tgk Imam Hanafiah. “Dayah ini adalah dayah salafiah yang terus berupaya melahirkan kader-kader ulama dan berjuang keras agar syariat Islam tidak hanya sebatas wacana,” ujar Abu Tumin (80) menjawab Serambi di rumahnya kawasan Blang Bladeh, dua hari lalu. Menurutnya, dayah yang berciri khas pengajian ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir saat ini memiliki 850 santri dengan 80 guru. Dalam rentang waktu yang sudah mencapai 121 tahun mendidik generasi muda, dayah itu sudah dikenal luas dan telah ada belasan pesantren lain yang merupakan cabang dari dayah tersebut.
“Santri juga diajarkan ilmu jual beli, qadhi, sosial, zakat,
pernikahan, pinjam meminjam dan sebagainya,” jelas Abu Tumin.
Dayah yang berada di kompleks Masjid Al-Ikhlas Blangbladeh itu, memiliki beberapa bangunan bertingkat selain tempat penginapan santri dan balai pengajian. Bahkan, dayah itu dibangun pada dua lokasi terpisah, yaitu satu untuk putra yang disebut Babussalam Putra yang ada di Blangbladeh dan satu lagi Babussalam Putri yang berada di Desa Kuala Jeumpa.
Abu Tumin dengan ulama lainnya
Sebagai orang yang dianggap sebagai tokoh ulama di
Bireuen dan Aceh, Abu Tumin selain memimpin dayah itu secara terjadwal ia juga
memimpin pengajian di rumahnya dan setiap bulan diundang untuk memimpin
pengajian dengan puluhan ulama lain di Kampung Beusa
Seubrang,Peureulak,Aceh_Timur.
Di Aceh, tambah Abu Tumin, ada tiga sebutan dayah yaitu dayah Minatuddiniyah adalah bagian dari Alminatuddiniyah Babussalam Bireuen, Darusaa’adah adalah cabang dari Darussaa’adah Teupin Raya (Pidie), dana dayah yagn sebutan Al-Aziziyah adalah dayah yang lahir di Samalanga. “Tiga sebutan itua masing-masing memiliki ciri khas tersendiri,” ujarAbuTumin.(yusmandinidris)
Data Dayah Babussalam:
ü Didirikan tahun 1890 oleh almarhum Tgk H Imam Hanafiah (kakek Abu Tumin)
ü Alminatuddiniyah Babussalam Putra di Desa Blangbladeh, Kecamatan Jeumpa,
Bireuen
ü Alminatuddiniyah Babusalam Putri di Desa Kuala Jeumpa
ü Ciri khas mengajarkan ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir . (Editor:
hasyim)
Abu Tumin Tidak Setuju Pembentukan Ala Abas
Senin,25 Februari 2013 | 11:05
IDI
RAYEUK-Terkait dengan mencuat kembali isu pembentukan Provinsi Aceh Lauser
Antara dan Barat Selatan, menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Seorang
Ulama Kharismatik Aceh, tidak setuju terjadinya pemekaran Provinsi Aceh.Seperti
dikatakan Abu Tumin Blang Bladeh Bireun, dalam sebuah pertemuan khusus dengan
Bupati Aceh Timur Hasballah.H. M Thaib dan dua anggota DPR-RI asal Aceh yaitu
Nasir Jamil dan Marzuki Daud,dipendopoBupatiAcehTimur,kemarinsore(23/2).
Menurut Abu Tumin, dirinya sangat tidak setuju sama sekali jika Provinsi Aceh ini dimekarkan menjadi dua provinsi,” saat ini bukan pemekaran provinsi yang kita butuhkan, tapi bagaimana menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, dengan mengupayakan sektor ekonomi masyarakat bergerak di Aceh, seperti membuka pelabuhan import-eksport dan mengupayakan sektor-sektor lainnya, agar perputaran ekonomi Aceh terus berputar," kataAbuTumin. Abu Tumin, mengharapkan kepada anggota DPR-RI asal Aceh, untuk terus memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh dengan menghidupkan segala sektor perekonomian. “Jangan pikirkan pemekaran Aceh, masih banyak hal lain yang harus dipikirkan,” tegas Abu Tumin.Menanggapi pernyataan Abu Tumin, Nasir Jamil anggota DPR-RI dari Partai PKS itu juga mendukung pernyataan ulama kharismatik Aceh Abu Tumin. Kata Nasir Jamil, masalah pemekaran Provinsi Ala dan Abas, merupakan lagu lama yang dibicarakan kembali oleh segelintir tokoh Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan. “Silahkan teman-teman di ALA dan ABAS mengeluarkan pendapat meminta pemekaran Provinsi Aceh, selagi tidak dilarang undang-undang, “ ujar Nasir Jamil.
Nasir Jamil dan Marzuki Daud
sangat tidak setuju Aceh dimekarkan, pihaknya akan memperjuangkan Aceh tetap
utuh seperti awal. “Lagu lama yang disuarakan kembali oleh tokoh-tokoh kawasan
tengah barat dan tenggara tidak realistis dan upaya antisipasi pemekaran
tersebut ada UUPA. Yang perlu dilakukan Pemerintah Aceh saat ini untuk
antisipasi pemekaran Aceh yaitu melakukan keseimbangan pembangunan antara
Pantai Utara- Timur dan Barat -Selatan serta Tengah dan Tenggara.
Dalam hal ini pemerataan
pembangunan fisik dan pembangunan SDM yang juga harus diimbangi, “ ujar Nasir
Jamil, seraya mengatakan untuk memperkuat UUPA Pemerintah Aceh juga harus
membuat qanun yang melarang pemekaran ALA dan ABAS.Sementara itu, Marzuki Daud
juga mengharapkan dukungan para Ulama Aceh untuk mempertahankan agar tidak
terjadinya pembentukan Provinsi ALA- ABAS. Pihaknya juga memohon dukungan para
ulama dalam mengupayakan peningkatan ekonomi Aceh melalui peningkatan
Pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, diantaranya Pelabuhan Kuala Idi, Kuala
Langsa, Pelabuhan Malahayati, Pelabuhan Krueng Geukuh dan Pelabuhan Labuhan Haji
Aceh_Selatan.
”Peningkatan pelabuhan di Aceh agar lancarnya Import -Eskpor merupakan upaya menghidupkan ekonomi masyarakat Aceh, dan membuka lapangan baru. jika pelabuhan Aceh dapat diaktifkan dengan maksimal, tentu harga komoditi Aceh akan meningkat baik itu di pantai Utara Timur atau pun Barat Selatan, “demikian pungkas Marzuki Daud.(yas)
”Peningkatan pelabuhan di Aceh agar lancarnya Import -Eskpor merupakan upaya menghidupkan ekonomi masyarakat Aceh, dan membuka lapangan baru. jika pelabuhan Aceh dapat diaktifkan dengan maksimal, tentu harga komoditi Aceh akan meningkat baik itu di pantai Utara Timur atau pun Barat Selatan, “demikian pungkas Marzuki Daud.(yas)
No comments:
Write komentar