Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab
disapa, adalah putra Syekh Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah
di Tanah Rencong. Syekh Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari
Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan
julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly,
misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di
Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi
karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke
Aceh dalam sekejap.
Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal
Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad
bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan
itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang
dimilikinya kepada Abuya.
Diceritakan, ketika menunaikan
ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan
Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya
tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid
Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky menangis haru dan memeluk Abuya,
kemudian mengijazahkan semua ilmu tarekatnya. Hal yang sama sekali tak diduga
sebelumnya oleh Abuya. Pertemuannya dengan Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh
dengan isak tangis mengharukan. Setelah memeluk Abuya erat-erat, sambil terus
memegang tangannya, Syekh Yasin mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang
dikuasainya. Untuk pertama kalinya, tempo doeloe di masa remaja, Abuya
Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap
cukup, belakangan, Syekh Mudo Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi
mursyid kepada gurunya, Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar).
Saat itu di pesisir laut Sumatra ada
dua mursyid besar yang tinggal di Riau.Mereka termasyhur sebagai min
jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani
Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh
Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam.
Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai
guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H.
Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh
Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama
besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu
teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah
pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan
ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Abuya Muhibbudin Waly
Syekh Muhibbuddin Waly mengambil
gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi
tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang
singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI
K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya
cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh. Kini, setelah
kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir 2004 lalu, ia lebih banyak mengisi
waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf
dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku
ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu
senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan
menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly
(Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan
Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf). Dan
ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya,
terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair
Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada
murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses
perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat
besar dan guru-guru yang dimuliakannya.
Mengenai perkembangan tarekat dewasa
ini, ia menyatakan, “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat
– Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh
orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah,
sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang
menemukan kebuntuan dalam hidup.” Mengenai hubungan guru dan murid dalam
tarekat, ia berpendapat, seorang mursyid adalah pengemudi biduk pengembaraan
spiritual muridnya. Oleh karena itu, seorang mursyid seyogianya juga menjadi
musahhil, yaitu orang yang membantu kemudahan sang murid dalam melewati
beberapa maqamat atau terminal spiritualnya.
Kini beliau tela tiada dan namanya
harum terkenang, Abuya Pro.DR. Muhibuddin Waly berpulang kehadirat Allah sekira
pukul 21.30 WIB Rabu Malam pada tanggal 7 Maret 2013, di RS Fakinah,
Banda Aceh. Abuya meninggal setelah beberapa hari dirawat di RS Fakinah. Saat
ini, jenazah Almarhum dibawa pulang ke kediaman di Desa Lamreung, Kecamatan
Darul Imarah, Aceh Besar.dan almarhum akan dikebumikan di kampung halamannya
Desa Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan.
Berikut
sekilas Biografi Abuya Muhibuddin Waly
Nama
Penuh : Prof. Dr. H. Teungku
Muhibbuddin Waly
Nama
Pendek : Muhibbuddin
Asal
: Tanjungan,
Sumatera Barat
Nama
Ayah : Teungku Syeikh H.
Muhammad Waly Al-Khalidy Al-Syafi’i
Darussalam,
Labuhanhaji, Aceh Selatan
Gelaran
Tradisi : Teungku dan Abuya
Gelaran
Profesional : Doktor (Ph.D) Penghantar Ilmu Fiqh Islam
Tarikh
Lahir : 17 Desember 1936,
(Rabu)
Tempat
Lahir : Simpang haru Padang
Kota, Sumatera Barat
Agama
: Islam (Sunni)
Status
: Kahwin, mempunyai
seorang isteri dan tujuh orang Putera ( Taufiq, Hidayat, Wahyu, Rahmat, Amal,
Habibie dan Maulana )
Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA
di Darussalam Labuhanhaji, Aceh Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul
Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan
Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan
Magister Syari’at Islam, Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical
Bases of Islamic Law Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute
& Law, Cairo, Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh
Al-Islami (Spesialisasi The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar
University. 1978-1979 Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta.
1979 Penataran Pemuka Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980
Penataran Calon Penatar P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran
Kewaspadaan Nasional (Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.
Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen
(status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi
Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas
Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta. 1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993 Professor Ilmu Hukum Islam, Institut
al-Quran (IIQ) Jakarta.
Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul
Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang
Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982
Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum
Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah
wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung
Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa,
Kuala Lumpur, Malaysia.
Karya Ilmiah : Al-Ijtihad fi al-Fiqh
al-Islami (Ijtihad dalam Hukum Islam), tahun 1970. Thesis Ph.D. dari Falkutas
Syari’ah dan Qanun, Universitas al-Azhar. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf (4
jilid), 1972-83. Ulama Menurut Islam (Mahiyat al-Ulama fi al-Islam – Naskah
Seminar PB N. U. 1976). Asuransi dalam Pandangan Syari’at Islam (Al-Ta’min fi
al-Syari’ati al-Islamiyah-Naskah Seminar PB N. U. 1975). Taraweh dan Witir
serta Ibadat-ibadat yang Bertalian dengannya menurut Sunnah Rasul Dan Sunnah
Sahabat, dan Pengalaman Para Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985)
Dari Manakah Datangnya Istilah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985).
Undangan seminar dan lain-lain
seperti ke Malaysia (Seminar Guru-guru Asean) tahun 1977, Ke Brunei Darussalam
(Seminar Da’wah Islamiah) tahun 1985 dan lain-lain.
No comments:
Write komentar