Saturday, March 26, 2016

Sebuah Asa, di Saat Sosok Hasan Tiro Mengaku Kecewa


Saat Hasan Tiro Mengaku Kecewa

Malam itu, kira-kira pertengahan bulan Oktober, hujan turun sangat deras. Berkali-kali aku menatap jarum jam yang kugunakan. Aku sanksi, apakah lelaki yang beberapa hari lalu berjanji akan bertemu,bakal datang? Bersebab hujan disertai halilintar, seringkali janji yang sudah dibuat bakal tidak dipenuhi.
 
 
Kira-kira setengah jam menunggu, aku hendak berangkat pulang. Namun sekali lagi aku mencoba melihat keluar jendela. Berharap dia datang.
Lamat-lamat dari jarak 50 meter aku melihat seorang lelaki tua bermantel tebal serta memakai payung berjalan mendekat.
Itu dia sudah datang. Sungguh lelaki yang tidak ingkar janji.
Kami kemudian berjabat tangan.
“Peumeuah ulon, ujeun di nanggroe nyoe sureng meuno. Cuaca Kota Stockholm nyoe memang susah bak ta kira-kira,” [1]ujarnya dengan nada penuh penyesalan.
Lelaki itu berperawakan kecil. Usianya 84 tahun. Di usianya yang senja, dia masih tetap bersahaja. Tatapan matanya yang bersinar membuat dia nampak gagah dan perkasa. Dia memakai baju jas serta berdasi. Penampilannya rapi dan necis. Fashionable.
“Puhaba Aceh? Pakon gata ka jareung that teumuleh tentang kondisi bansa teuh?,”[2]tanyanya setengah menggugat.
Aku diam. Kharismanya memuat diriku kehilangan nyali untuk menjawab. Menatapnya saja aku agak sungkan.
Sejenak dia menatap keluar jendela.
“Saya rindu tanah Aceh. Saya ingin kembali ke Alimon[3]. Ada sebuah rasa yang sampai saat ini menyiksa batin saya,” ujarnya sambil menunduk.
“Kenapa Wali tidak pulang saja?,” tanyaku menyela. Kali ini aku terpaksa bicara, agar dia tidak bermonolog.
“Saya sudah pulang. Tapi waktu yang tidak memberikan saya kesempatan untuk berlama-lama di tanah yang sangat saya cintai itu,” jawabnya sembari meneguk minuman berkarbonasi.
Kemudian dia membuka tas kulit berwarna hitam. Dia mengambil sebuah map lusuh.
“Ini kliping-kliping berita tentang Aceh pasca damai yang berhasil saya kumpulkan. Simpan ini baik-baik. beberapa diantaranya adalah tulisan yang kamu buat,” katanya sambil meletakkan di atas meja.
“Tapi Wali, bukankah Wali membutuhkan itu?,” kataku.
“Saya sudah tidak membutuhkannya lagi. Saya sudah ditakdirkan selesai dengan semua ini. Semua gagasan yang ingin kuperjuangkan, sudah kutuliskan di banyak buku. Sekarang giliran you untuk terus menuliskan gagasan-gagasan baru tentang imaji Aceh yang bertamaddun di kemudian hari,” katanya pelan namun penuh penekanan.
“Apa kabar Aceh?,” dia kembali bertanya.
“Ya, seperti yang Wali baca di media. Tentunya yang bukan pariwara,” jawabku.
“Kasihan Aceh. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Akupun sebagai manusia biasa tidak sepenuhnya mampu mengedalikan banyak orang.
Walau tidak semuanya, namun banyak diantara mereka yang hanya mau mengutip nama perjuangan yang kugagas tanpa mau mengaplikasikan ide-ideku tentang upaya memajukan Aceh.
Namun, ya sudahlah. Saya sudah tidak punya kuasa lagi atas mereka semua. Alam sudah memisahkan saya dengan kefanaan dunia. Saya rindu Aceh,” katanya.
Sejenak kemudian dia pamit. Aku berusaha mencegat. Karena masih ada hal yang hendak kutanyakan. Namun dirinya memberikan isyarat jemari. Bermakna dialog sudah harus dihentikan.
Setelah dirinya pergi, aku menemukan secarik kertas di atas meja, agak tertutup dengan map lusuh tadi.
Pejuang tidak pernah mencuri. Karena pejuang adalah orang yang membangun perjuangan. Bila ada yang mengambil keuntungan pribadi, berarti dia bukan pejuang. Tapi pencuri yang sedang menyaru sebagai pejuang.
Usai membaca tulisan itu, aku berlari keluar coffee shop itu. Namun dia sudah tidak nampak lagi. Hujan sudah reda. Beratus-ratus manusia bermantel dan berpayung silih berganti menapaki jalan.
***
Azan subuh membuat diriku terjaga. Aku mencoba mengingat-ingat mimpiku bertemu dengan Teungku Muhammad Hasan di Tiro. Setelah shalat subuh aku berhasil merekontruksinya dengan baik, tanpa terasa air mataku meleleh. Aku menangis.
Mimpi itu kemudian kuceritakan kepada istriku. Aku menyampaikannya sambil menangis pula. Dia nampak masygul. Namun sesaat kemudian dia berkata.
“Hentikan tangismu itu. Toh dengan engkau menangis kantong baju masyarakat tidak akan berisi dengan uang. Bahkan untuk bahan dapur kita sendiri tidak akan berdampak apa-apa. susu anak-anak sudah hampir habis. Bila engkau memang benar-benar mencintai Hasan Tiro, lakukan seperti yang dai cita-citakan. Hanya sekedar bermimpi tidak akan berguna,”

No comments:
Write komentar