Saat Hasan Tiro Mengaku Kecewa
Malam itu, kira-kira pertengahan bulan Oktober, hujan turun sangat deras. Berkali-kali aku menatap jarum jam yang kugunakan. Aku sanksi, apakah lelaki yang beberapa hari lalu berjanji akan bertemu,bakal datang? Bersebab hujan disertai halilintar, seringkali janji yang sudah dibuat bakal tidak dipenuhi.
Kira-kira
setengah jam menunggu, aku hendak berangkat pulang. Namun sekali lagi aku
mencoba melihat keluar jendela. Berharap dia datang.
Lamat-lamat
dari jarak 50 meter aku melihat seorang lelaki tua bermantel tebal serta
memakai payung berjalan mendekat.
Itu
dia sudah datang. Sungguh lelaki yang tidak ingkar janji.
Kami
kemudian berjabat tangan.
“Peumeuah ulon, ujeun di nanggroe nyoe sureng meuno.
Cuaca Kota Stockholm nyoe memang susah bak ta kira-kira,” [1]ujarnya
dengan nada penuh penyesalan.
Lelaki
itu berperawakan kecil. Usianya 84 tahun. Di usianya yang senja, dia masih
tetap bersahaja. Tatapan matanya yang bersinar membuat dia nampak gagah dan
perkasa. Dia memakai baju jas serta berdasi. Penampilannya rapi dan necis.
Fashionable.
“Puhaba Aceh? Pakon gata ka jareung that teumuleh
tentang kondisi bansa teuh?,”[2]tanyanya
setengah menggugat.
Aku
diam. Kharismanya memuat diriku kehilangan nyali untuk menjawab. Menatapnya
saja aku agak sungkan.
Sejenak
dia menatap keluar jendela.
“Saya
rindu tanah Aceh. Saya ingin kembali ke Alimon[3]. Ada sebuah rasa yang sampai
saat ini menyiksa batin saya,” ujarnya sambil menunduk.
“Kenapa
Wali tidak pulang saja?,” tanyaku menyela. Kali ini aku terpaksa bicara, agar
dia tidak bermonolog.
“Saya
sudah pulang. Tapi waktu yang tidak memberikan saya kesempatan untuk
berlama-lama di tanah yang sangat saya cintai itu,” jawabnya sembari meneguk
minuman berkarbonasi.
Kemudian
dia membuka tas kulit berwarna hitam. Dia mengambil sebuah map lusuh.
“Ini
kliping-kliping berita tentang Aceh pasca damai yang berhasil saya kumpulkan.
Simpan ini baik-baik. beberapa diantaranya adalah tulisan yang kamu buat,”
katanya sambil meletakkan di atas meja.
“Tapi
Wali, bukankah Wali membutuhkan itu?,” kataku.
“Saya
sudah tidak membutuhkannya lagi. Saya sudah ditakdirkan selesai dengan semua
ini. Semua gagasan yang ingin kuperjuangkan, sudah kutuliskan di banyak buku.
Sekarang giliran you untuk terus menuliskan gagasan-gagasan baru tentang imaji
Aceh yang bertamaddun di kemudian hari,” katanya pelan namun penuh penekanan.
“Apa
kabar Aceh?,” dia kembali bertanya.
“Ya,
seperti yang Wali baca di media. Tentunya yang bukan pariwara,” jawabku.
“Kasihan
Aceh. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Akupun sebagai manusia biasa tidak
sepenuhnya mampu mengedalikan banyak orang.
Walau
tidak semuanya, namun banyak diantara mereka yang hanya mau mengutip nama
perjuangan yang kugagas tanpa mau mengaplikasikan ide-ideku tentang upaya
memajukan Aceh.
Namun,
ya sudahlah. Saya sudah tidak punya kuasa lagi atas mereka semua. Alam sudah
memisahkan saya dengan kefanaan dunia. Saya rindu Aceh,” katanya.
Sejenak
kemudian dia pamit. Aku berusaha mencegat. Karena masih ada hal yang hendak
kutanyakan. Namun dirinya memberikan isyarat jemari. Bermakna dialog sudah
harus dihentikan.
Setelah
dirinya pergi, aku menemukan secarik kertas di atas meja, agak tertutup dengan
map lusuh tadi.
Pejuang
tidak pernah mencuri. Karena pejuang adalah orang yang membangun perjuangan.
Bila ada yang mengambil keuntungan pribadi, berarti dia bukan pejuang. Tapi
pencuri yang sedang menyaru sebagai pejuang.
Usai
membaca tulisan itu, aku berlari keluar coffee shop itu. Namun dia sudah tidak
nampak lagi. Hujan sudah reda. Beratus-ratus manusia bermantel dan berpayung
silih berganti menapaki jalan.
***
Azan
subuh membuat diriku terjaga. Aku mencoba mengingat-ingat mimpiku bertemu
dengan Teungku Muhammad Hasan di Tiro. Setelah shalat subuh aku berhasil
merekontruksinya dengan baik, tanpa terasa air mataku meleleh. Aku menangis.
Mimpi
itu kemudian kuceritakan kepada istriku. Aku menyampaikannya sambil menangis
pula. Dia nampak masygul. Namun sesaat kemudian dia berkata.
“Hentikan
tangismu itu. Toh dengan engkau menangis kantong baju masyarakat tidak akan
berisi dengan uang. Bahkan untuk bahan dapur kita sendiri tidak akan berdampak
apa-apa. susu anak-anak sudah hampir habis. Bila engkau memang benar-benar
mencintai Hasan Tiro, lakukan seperti yang dai cita-citakan. Hanya sekedar
bermimpi tidak akan berguna,”
Sumber: http://www.acehtrend.co
No comments:
Write komentar