Prinsip Hasan Tiro dan Gugatan Nasionalisme
26 Maret 2016 - 15.53
Indonesia merupakan negara multietnis yang sangat problematis sejak pertama kali dideklarasikan. Gagasan Indonesia sebagai sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial hingga akhirnya Belanda datang dengan politik kolonialismenya menetapkan Indonesia sebagai sebuah unit tunggal.
26 Maret 2016 - 15.53
Hasan Tiro dengan beberap petinggi GAM |
Indonesia merupakan negara multietnis yang sangat problematis sejak pertama kali dideklarasikan. Gagasan Indonesia sebagai sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial hingga akhirnya Belanda datang dengan politik kolonialismenya menetapkan Indonesia sebagai sebuah unit tunggal.
Pasca
kemerdekaan, euforia kemenangan dalam keberagaman yang menjadi kekuatan,
berbalik menjadi perpecahan dan bencana politik dengan munculnya
pemberontakan-pemberontakan di berbagai wilayah di Indonesia.
Hal
ini tidak terjadi kebetulan, rekonstruksi Identitas keindonesian yang tidak
selesai pasca kemerdekaan menjadi bumerang yang bertemu dalam satu ruang entitas
bernama Indonesia hari ini.
Salah
satu hal dasar yang menjadi pemicu pemberontakan dan perlawanan adalah tentang
rumusan konsepsi dalam bernegara.
Konsepsi
negara merupakan instrumen penting dalam memperjelas posisi negara dan rakyat
sehingga negara sebagai alat bisa memainkan peranannya untuk mengatur kehidupan
berbangsa dalam suatu wilayah yang beragam seperti Indonesia.
Dalam
istilah ilmu politik, konsepsi negara dan bangsa merupakan suatu natijah(gagasan) dari pemikiran yang utuh dan lengkap – tidak
terpisah – yang dibangun berdasarkan logika – sehingga keseluruhannya berdiri
secara bebas serta tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya,
disamping itu juga memberikan solusi dan jawaban atas setiap persoalan yang
dihadapi oleh pemerintah dan rakyat dalam suatu negara.
Konsepsi
negara dan pemerintahan yang ideal adalah negara dan pemerintah tidak berdiri
atas kepentingannya sendiri atau kelompok sehingga mengorbankan kepentingan
rakyat atau terlepas dari kepentingan masyarakatnya. Jika tidak, kesadaran diri
(nasionalisme) dalam berbangsa, khususnya Indonesia hanya menjadi slogan
belaka.
Adalah
Tengku Hasan Muhammad di Tiro, salah satu intelektual muda Aceh
pasca-kemerdekaan yang menaruh harapan besar dan cintanya pada wujud konsepsi
ideal Indonesia.
Hasan
Tiro muda mendambakan nasionalisme Indonesia itu sebagai wujud dari ide dan
gagasan yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang
berjalan bersama dan beriringan dengan beragam identitas lainnya seperti suku,
agama, bahasa, teritorial, golongan dan lain sebagainya, sebagaimana L.
Greenfeld dan D. Chirot mendeskripsikan nasionalisme dalam Theory and Society
(1994).
Bagi
Hasan Tiro muda (1958), negara dan pemerintahan merupakan suatu kekuasaan yang
bersandar pada etika dan nilai-nilai moral serta kebaikan-kebaikan masyarakat
yang memiliki hak atas negara, karena baginya negara dan pemerintah tidak bisa
membentuk rakyat, tetapi rakyatlah yang membentuk negara dan pemerintahan,
sehingga konsepsi negara tidak boleh menutup mata atas falsafah dan ideologi
yang dianut oleh masyarakat jauh sebelum negara itu terbentuk, yakni Islam.
Hasan
Tiro menganggap, Indonesia merupakan proyek bersama yang di gagas oleh beragam
identitas di Indonesia, masing-masing entitas memiliki konstribusi yang sama
dalam mewujudkan cita-cita dan penciptaan negara bangsa. Masalahnya kemudian
adalah Indonesia dikuasai oleh sekelompok golongan, dengan nasionalisme sempit
dan buta, dengan sistem demokrasi ‘primitive’
dan filsafah serta ideologi yang tidak sejalan dengan apa yang dulu pernah
diharapkan. Sehingga, muncul kebijakan-kebijakan dari sekelompok golongan atas
nama bangsa dan negara.
Hasan
Tiro muda melakukan kritik terhadap konsepsi nasionalisme dan identitas
Indonesia yang terlalu sentralistik. Baginya, nasionalisme Indonesia yang dulu
diharapkan sudah menjadi topeng untuk melanggengkan kekuasaan kelompok,
pemerintah dan negara menciptakan instrumen-instrumen nasionalisme sempit yang
tidak berdiri atas fakta dan sejarah yang sebenarnya, sehingga muncul simbol-simbol
kelompok dalam bernegara seperti; Sumpah Pemuda, Lagu Indonesia Raya,
semboyan-semboyan negara yang tidak mewakili bahasa persatuan yang dulu digagas
bersama, dan puncaknya adalah istilah bangsa Indonesia yang tidak
memiliki korelasi dan pengertian apapun dalam istilah kebangsaan. Begitulah
Hasan Tiro menggugat tafsiran nasionalisme Indonesia (1985). Baginya,
nasionalisme Indonesia hanyalah ciptaan imperialisme Barat untuk melawan Islam
yang sudah berakar kuat dalam masyarakat Indonesia sebagai ideologi.
Sebenarnya,
nasionalisme Indonesia sebagai suatu identitas merupakan hal yang tidak bisa
dipaksakan karena identitas adalah hak darah dan hak sejarah yang sudah menjadi
kodrat bagi umat manusia yang memang diciptakan beragam oleh Pencipta.
Sejarah
Indonesia membuktikan, Sukarno yang pernah memaksakan identitas bangsa
Indonesia melalui Demokrasi Terpimpin-nya dan Suharto dengan Orde Baru yang
kekuatan politiknya berada dalam hegemoni kelompok mayoritas kala itu,
dua-duanya berakhir dengan tragis. Sehingga, asumsi Samuel P. Huntington (1993)
yang meramalkan bahwa konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru
dipicu oleh masalah-masalah suku, agama, ras dan antargolongan sudah
benar-benar terjadi di Indonesia, dulu hingga sekarang. Konflik itulah yang
menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke
dalam komuninisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya struktur politik
negara-negara Eropa Timur.
Akhirnya,
Hasan Tiro sesudah bergabung dengan DI/TII tahun 1953 sebagai wadah perlawanan
atas gugatan ide dan tafsiran nasionalisme yang salah dari Republik sudah
pernah mengancam; Jika seandainya Sukarno tetap menjalankan konsep keadilan
berdasarkan satu kelompok dan golongan, maka tidak ada pilihan lain bagi
bangsa-bangsa yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Pasundan,
Madura dan sebagainya selain meninjau kembali kedudukan dan ‘status’ nya untuk
memerintah dan menentukan nasib diri sendiri yang dijamin oleh piagam
PBB (Hasan Tiro:1958).
Selanjutnya,
dia merumuskan konsepsi Nasionalisme Melayu pada tahun 1965 dan dia sendiri
menjadi Ketua Badan Persiapan Konfederasi Sumatera Merdeka, karena konsep
tersebut tidak mendapat sambutan seperti yang diharapkannya, maka dua tahun
setelah itu (tahun 1968) Hasan Tiro merumuskan konsep Nasionalisme Aceh melalui
bukunya Atjeh Bak Mata Donja yang menjadi awal dan landasan serta latar
belakang lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Bagi
Hasan Tiro, pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat bukanlah keinginan untuk
menyerang negara, tapi karena rakyat sudah kehilangan kesabaran untuk
menderita. Memang, biaya yang dikeluarkan untuk sebuah peperangan itu sangat
mahal, tapi biaya merawat perdamaian jauh lebih mahal. Sehingga, diakhir
perjalanan hidupnya beliau membuktikan bahwa perdamaian adalah tujuan yang
didambakan oleh umat manusia.
Sumber: http://www.acehtrend.co
No comments:
Write komentar