Saturday, March 12, 2016

Mengenang Perjalanan Karier Haji Adnan PMTOH, Budaya Seni Yang Hilang Tanpa Pengganti

Aceh, Negeri Seribu Satu Hikayat “Masih Adakah yang Tersisa?”

Jika negeri belahan Asia Barat sana ada yang menda­pat julukan sebagai “Negeri Seribu Satu Malam”, kami menilai Aceh sebagai negeri seribu satu hikayat. Gelar ini kami berikan untuk Aceh dengan tanpa menafikan ge­lar-gelar lainnya seperti Serambi Makkah, Tanah Rencong, Negeri Iskandar Muda, Negeri Syariat Islam, Daerah Mod­al, atau julukan lainnya. Gelar “Seribu Satu Hikayat” kami berikan karena Aceh memang banyak menyimpan kisah lama, baik suka, duka, luka, nestapa, sengsara, air mata, canda, tawa, atau kisah bahagia akan kejayaan Is­kandar Muda yang selalu dikenang sepanjang zaman. 
             Tgk. H. Adnan PMTOH

Kisah-kisah itu, di Aceh bukan lagi men­jadi sebuah dongeng, tapi dianggap sebagai hikayat. Karenanya, kami menyebut Aceh “Negeri Seribu Satu Hikayat”.



Perjalanan Karier sang Traubador 

Beliau dilahirkan di Meukek, Aceh Selatan, Desember 1931. Adapun nama PMTOH bukanlah judul hikayat sebagaimana nama-nama hikayat di atas. PMTOH merupakan salah satu jenis irama hikayat. Penamaan PMTOH diambil dari nama sebuah mobil bus penumpang lintas Sumatera, yang memiliki corong klakson di kiri kanan bagian depan mobil.

Sejalan dengan perkembangan dan penyebaran nilai-nilai seni yang dilakukan oleh Tengku Adnan pada masanya. Akhirnya nilai sebutan nama kesenian ini singgah pada nama PM. Toh. Nama ini notabenenya adalah nama dari sebuah Bus Trans Aceh-Medan, yaitu Perusahaan Motor Transport Onderneming Hasan (P.M.T.O.H). yang melintasi rute Banda Aceh-Medan.

“Menurut seorang muridnya, Agus Nuramal, Adnan berkeliling membawa hikayat juga sambil menjual obat. Konon, ketika Adnan berhikayat keliling, dia sering menggunakan sebuah mobil lintas Sumatera. Di samping badan mobil itu bertuliskan PMTOH. Kemudian, di samping kanan-kiri bagian depan mobil terdapat terompet klakson. Katanya, terompet mobil ini akan selau berbunyi saat melintas setiap kampong di Aceh. Si supir sangat suka memainkan klakson mobil itu. Nah, Adnan bisa meniru suara terompet mobil PMTOH itu sambil memencet hidungnya. Hal ini sering dilakukan Adnan saat main hikayat. Dari asal nama mobil yang beroperasi mulai tahun 1970-an inilah gelar PMTOH melekat pada dirinya sehingga namanya lebih dikenal dengan sebutan Teungku Haji Adnan PMTOH”.[2]

Cerita singkat ini mengantarkan Tengku Adnan menapaki karirnya di tahun 1956 di sebuah pasar malam. Ke ingintahuan dirinya akan seni ini terbukti pada saat di undang oleh Panglima Iskandar Muda pada acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan di undang ke Amerika Serikat di tahun 1968.

Keahlian dalam menuturkan hikayat Aceh ini lah yang menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat Aceh, seni ini kemudian menjadi dikenal oleh kalangan orang yang berniaga dipasar malam dan di tempat-tempat hajatan. Keahlian Tengku Adnan dalam menuturkan cerita hikayat Aceh inilah yang membuat nilai hikayat yang biasa hanya di ucapkan dengan lantunan musikalitas Aceh berubah fungsi menjadi sebuah hikayat yang memiliki alur cerita yang hidup dan memiliki alur plot yang jelas. Keahlian dalam menghidupkan tokoh laku dan keahlian dalam berpantun serta diperkuat dengan keahlian memainkan alat musik dan berimprofisasi sebagai andalan Tengku Adnan.


Kajian ini sebenarnya erat kaitannya dengan pernyataan Jhon C. Sagers seorang Profesor Arkeolog berkembangsaan Amerika yang menjuluki Tengku Adnan sebagai seorang Trobadur Aceh di tahun 1968. Kata Troubadour itu sendiri berasal dari kata Trou"ba*dour`,yang diambil dari suku kata dalam bahasa Inggris, yang artinya “penyanyi keliling”. Karena keahlian Tengku Adnan dalam mendendangkan hikayat dan sembari keliling dari pasar ke pasar, dari tempat hajatan ke tempat hajatan lainnya, maka dengan sering berpindah tempat itulah Tengku Adnan diberi julukan oleh sang Profesor Arkeolog Amerika tersebut sebagai sang Troubador Aceh.

Pernyataan Profesor Jhon C. Sagers ini pun di iakan oleh Agus Nur Amal. Bagi Agus awal ketertarikannya pada Tengku Adnan adalah pada saat dirinya telah lulus di akademi teater di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1991. Setelah masa belajarnya selesai, pada saat itulah dirinya menginginkan untuk belajar teater tutur Aceh.

Pekerjaan sebagai pesuruh Tengku Adnan yang membeli segala bahan baku pembuat ramuan herbal selama satu tahun lebih. Agus merasa banyak hal yang didapat dari magangnya selama hampir satu tahun lebih tersebut. Dari perjalanan akhir dari magangannya, agus mengusulkan pada Dewan Panitia Festival Istiqlal agar kesenian teater tutur Aceh ini dapat dipentaskan di festival Istiqlal tahun 1991.

“Awalnya, saya belajar mendongeng dari penyair Aceh yang bernama Tengku Adnan. Selama satu tahun, saya belajar banyak dari Beliau mengenai tata cara mendongeng yang baik. Setelah itu, saya mulai mendongeng di Aceh. Belakangan, saya diundang ke banyak tempat di luar Aceh, bahkan sampai ke luar negeri”.

Melihat keunikan pertunjukan dari PM.Toh tersebut agus pun menirukan semua gaya bentuk pertunjukan Tengku Adnan, namun pada prosesnya Agus melihat ada kemungkinan lain yang di dapat dari bentuk tampilannya itu, yaitu dari model suara penuturan bawaan hikayat yang di ubah dari model vokalisasi etnis dengan menggunakan bahasa Aceh berganti dengan model vokalisasi dengan bahasa Indonesia dan setting property yang biasanya di isi dengan boneka dan pistol-pistolan, serta baju para tokoh cerita berubah bentuk menjadi kantong kresek dan gayung plastic, serta satu baju khas Aceh.


Cerita hikayat aceh yang penuh dengan legenda keacehan, dengan tema-tema sosial-budaya yang sangat lokal direkontruksi ulang oleh agus sehingga menjadi cerita yang modern dengan pola sosial masyarakat kekinian. Hanya saja symbol-simbol tokoh legenda aceh yang tidak pernah dihilangkan dari cerita hikayatnya. Seperti tema hikayatnya ; Anak Emak Mencari Telur, Hikayat Jenderal Puyer Bintang Toejoeh, dan Hikayat Cincin Setia. Sebahagian cerita hikayatnya menggunakan nama-nama seperti nama Hamzah Fansuri, dan nama-nama aceh lainnya.

Melihat perbandingan yang tidak seimbang antara dirinya dan Tengku Adnan di wilayah kerja pertunjukan, maka pada saat itu Agus memutuskan pada dirinya untuk berteater keliling di wilayah kota Jakarta. Alhasil dirinya mendapat banyak bentuk gaya dari pengalamannya sebagai tukang pendongeng keliling di ibukota besar serta dengan bekal ilmu dari intitutnya sehingga pemaduan metode tradisional dengan metode modern menjadi sebuah tampilan unik disetiap pertunjukannya.

Penganalisaan struktur aktifitas kesenian teater tutur Aceh ini memiliki landasan kreatifitas yang unik juga memiliki nilai budaya yang sangat kaya akan potensi yang dimiliki teater tutur Aceh ini. Apalagi bentuk pertunjukan teater tutur Aceh ini telah di rekontruksi ulang oleh Agus Nur Amal sehingga kesenian ini memiliki nilai estetis yang dapat menambah perbedaharaan potensi kesenian Aceh khususnya.



No comments:
Write komentar