Benteng Indra Patra, Peninggalan Sejarah Kerajaan Lamuri
Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan bermotor.
Benteng
ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan
Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya
pada abad ke VII Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun
dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan
Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang
Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat
Hindu Aceh saat itu.
Karena
alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di
tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung
dengan Selat Malaka.
Benteng
Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba.
Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan
disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di
dunia), benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan
bagi Kerajaan Aceh Darussalam dari serangan musuh yang datang dari
arah laut.
Saat
ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama
berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding
mencapai sekitar 2 meter. Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari
“beton kapur” (: susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari
campuran Kapur, Tanah Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).
Didalam
benteng Utama terdapat dua buah “stupa” atau bangunan yang menyerupai
kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur /
sumber air bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk
penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng
terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru
dan senjata.
Benteng
merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya ada
kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya.
Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid
Raya, jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.
Sebagai
situs bersejarah, keberadaan Benteng Indra Patra tentu perlu dijaga. Dari segi
fisik, secara alami bangunan akan mengalami kerusakan digerus alam. Hujan,
panas, pengambilan material oleh masyarakat akan membuat bagian-bagian benteng
runtuh perlahan-lahan. Dinding mengelupas, batu pondasi berjatuhan satu
persatu. Lama kelamaan bentuk aslinya tidak kelihatan lagi.
Dari
segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan
dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum
tentu tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.
Untuk
menyelamatkan situs bersejarah itulah, Aceh Heritage Community (AHC) bekerja
sama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta (PDAJ), mengadakan survei
Benteng Indra Patra, 20-21 Desember. Dua orang dari PDAJ yaitu Kemal, seorang
arsitek, dan Ivan, seorang arkeolog, menemani 10 orang dari AHC.
Benteng
ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari
beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu
bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar
benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan
ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35
x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa
dan canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng,
harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
Tim
bergerak menyusuri sudut demi sudut, mencatat fisik bangunan yang mereka lihat.
Mereka mencatat mulai dari warna bebatuan, model menara yang ada, berapa banyak
lubang bidik untuk meriam yang masih utuh, apakah ada ruang bawah tanah dan
banyak lagi hal lainnya. Anggota AHC membuat sketsa benteng Indra Patra untuk
mencatat bentuk asli bangunan.
Ivan,
arkeolog asal Jakarta mengatakan banyak benteng-benteng di Indonesia yang
mengalami kerusakan parah. Pemerintah daerah setempat tidak peduli dengan
keberadaan benteng. Kalau pun ada renovasi, banyak perbaikan yang dilakukan
tidak sesuai dengan kaidah bangunan bersejarah. "Saya pernah menemukan
benteng tua di Maluku yang diplester dengan dinding semen. Itu merusak keaslian
benteng, mana ada semen zaman dahulu" katanya. Padahal turis ataupun
pengunjung sangat menyukai keaslian bangunan sejarah.
Ketua
AHC, Yenni Rahmayanti menambahkan renovasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Aceh melakukan renovasi benteng Indra Patra tidak sesuai dengan
kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah keasliannya.
"Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian
Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujarnya.
Memang
jika kita perhatikan, sebagai contoh papan informasi penunjuk sejarah tidak ada
di tempelkan. Ada juga hal lain yang menyedihkan terkait dengan keberadaan
benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng untuk
keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas reruntuhan
benteng.
Survei
Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga mengumpulkan
kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim melakukan studi pustaka dan wawancara
dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar Benteng Indra
Patra. "Yang paling menarik dari bangunan sejarah adalah cerita seputar
situs tersebut, ini yang paling menarik minat pengunjung" katanya.
Benteng
Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh
(Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke
tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena
berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng
pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda,
dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai
laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan
kerajaan Aceh Darussalam.
Sebagai
masyarakat yang menghargai sejarah sudah selayak benteng Indra Patra di rawat
dan dilestarikan. Jangan sampai nanti orang-orang hanya bisa berkata sambil
menunjuk ke arah reruntuhan.
Foto Benteng Indra Patra
Yang tinggal Reruntuhan
No comments:
Write komentar