Saturday, March 12, 2016

Kisah Perburuan Ahmad Kandang dan Kekejaman Militer Indonesia

Kekejaman TNI/Polri dimasa silam terhadap rakyat Aceh tak berdosa
Awan berbentuk cendawan raksasa itu mengepul tebal. Ledakan menggelegar, tembakan terdengar berentetan. Dua helikopter puma militer meraung-raung di cakrawala yang kelam. Sabtu pagi kemarin sejak pukul 06.30, wartawan TEMPO menjadi saksi mata penyerbuan Desa Meunasah Blang, Kandang, Aceh Utara, oleh Pasukan Satgas Operasi Wibawa 1999.
Tidak tanggung-tanggung, dalam operasi besar-besaran itu, hampir 1.000 prajurit diterjunkan. Terdiri dari gabungan satuan organik setempat dari Batalion 113 (1 SSK), Batalion 131 dari Padang (1 SSK), Yonif Linud 100 Bukit Barisan (4 SSK), Marinir dan pasukan elite TNI AL dari Detasemen Jala Mangkara (2 SSK), Brimob dan Gegana Polri (2 SSK).

Targetnya: memburu tokoh gerakan yang disebut pemerintah sebagai Gerakan Aceh Merdeka, Ahmad Kandang, yang tinggal di sana. Tapi rupanya pemuda berusia 30-an tahun itu licin bak belut. Ahmad, yang pernah mendapat latihan militer di Malaysia itu, berhasil lolos dari kepungan tentara. Mengapa perlu bom untuk menangkapnya? Ketika dikonfirmasi, Danrem 011/Lilawangsa Kol. Inf. Johnny Wahab membantahnya.


Ia menjelaskan bahwa berdasar laporan radio dari stafnya di lapangan, kepulan asap itu berasal dari pembakaran rumah Ahmad Kandang oleh dua orang anak buahnya sendiri, sebagai upaya mengalihkan perhatian agar Ahmad bisa melarikan diri. TEMPO menyaksikan, memang rumah anggota Angkatan Perang Aceh Merdeka itu sudah menjadi puing-puing gosong. "Buruan" ABRI nomor satu itu sebenarnya sempat kepergok salah satu anggota satgas ketika sedang melarikan diri di jalan desa. Ia lantas mencopot dan membuang jaket hitamnya. Dan, aneh bin ajaib, di tengah begitu ketatnya kepungan, hanya berkaos putih, ia lalu lenyap bak ditelan bumi.

Hal ini juga dinyatakan seorang komandan kompi Linud 100—menolak disebut namanya—yang juga sempat melihatnya. Jaket hitam itu belakangan ditemukan aparat. Gagal menangkap Ahmad, seluruh penjuru desa disisir. Lalu pasukan menggeledah setiap rumah dan memeriksa seluruh KTP warga. 

                                 Ahmad Kandang

Sambil menodongkan senapan terkokang, pasukan tempur itu lalu menggelandang dan mengumpulkan ratusan pemuda dan laki-laki di tanah lapang desa.

Beberapa terlihat sambil ditendangi sepatu lars. Yang tidak bisa menunjukkan KTP dan dinilai terlibat, diangkut ke markas Korem Lhokseumawe. Yang lain dilepas. Ternyata, entah apa kaitannya, menurut seorang aparat, hampir semua dari 38 pemuda yang ditangkap karena tidak punya KTP itu mengenakan celana jins—celana yang juga sering dipakai Ahmad Kandang. Seorang lagi yang ditangkap adalah perempuan berusia sekitar 30 tahun. Segenap warga langsung menutup pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat.

Kandang langsung jadi desa mati. TEMPO yang berjalan memutari wilayah desa cuma menemukan wanita dan anak-anak. Rupanya, kaum laki-laki yang tidak diciduk buru-buru angkat kaki. Mereka mengungsi, takut sewaktu-waktu diciduk. Ketakutan langsung menyergap segenap warga, termasuk di desa sekitar. Kepada TEMPO, beberapa warga mengeluhkan suasana mirip perang besar itu. Sekelebat saja melihat sosok tentara, mereka langsung balik badan menghindar. Sejak pukul 01.00 siang, terlihat warga Desa Cut Mamplam—di sebelah Desa Kandang—dalam radius 1,5 kilometer menebangi pohon untuk membarikade jalan. Beberapa meja dan kayu dibakar di tengah jalan. Sehari sebelumnya, Desa Kandang memang sudah amat sunyi dan mencekam.

Namun warga sama sekali tidak menyangka akan adanya operasi penyerbuan, meski tanda-tandanya sudah terlihat sejak Kamis malam. Aliran listrik di desa itu mati total, diputus PLN atas perintah aparat. Jumat pagi itu, sekitar pukul 07.45, dengan mengendarai sepeda motor, TEMPO baru saja memasuki tapal batas Desa Kandang yang terletak enam kilometer dari Kota Lhokseumawe. Terlihat beberapa pemuda, secara berkelompok, sedang duduk-duduk. Raut mukanya jauh dari ramah. Kecurigaan terpantul dari sorot mata mereka. TEMPO mencoba menyapa dengan bahasa Aceh. Para pemuda itu pun membalasnya.

Tapi, ketika tengah mengambil foto, empat orang di antaranya langsung mendekat dan menginterogasi asal-usul TEMPO. Salah seorang, kelihatannya pimpinan mereka, berkata, "Kami, masyarakat Aceh Merdeka tidak perlu wartawan. Semuanya sama saja, membuat berita yang tidak-tidak," bentaknya sangar dalam bahasa daerah. Yang lain kontan ramai merubung. TEMPO berusaha meyakinkan mereka bahwa pers tidak boleh memihak. Barulah mereka mengizinkan TEMPO memasuki desa, dengan ancaman yang cukup mendirikan bulu roma.

"Kalau nanti beritanya tidak benar, kalian akan kami culik," hardik pemuda itu, galak. Mereka pun memaksa untuk memotret wartawan TEMPO dengan kamera yang kelihatannya selalu mereka siapkan. "Supaya mudah dikenali," katanya lagi.
Didampingi mereka, TEMPO diajak menyusuri jalan mulus beraspal memasuki Desa Kandang. Tak lama kemudian, di kejauhan terlihat tenda membujur di sebuah lapangan rumput. Itulah penampungan darurat bagi warga yang mengungsi. Sekitar 700 orang ibu-ibu, anak-anak, dan orang-orang tua sedang duduk di bawahnya. Sebagian tidur-tiduran. 


Tenda itu tak berdinding. Jadi, saat mereka tidur, hawa dingin bebas keluar masuk. Karena itulah, banyak di antaranya yang jatuh sakit. Tapi mereka memilih bertahan. Soalnya, para pengungsi itu setengah mati ketakutan kalau menginap di rumah. Khawatir di tengah malam buta digerebek, lalu diciduk tentara. "Kalau bergabung dalam jumlah banyak begini, kami lebih berani.

Bisa ketahuan siapa yang diambil tentara," jelas salah seorang pemuda. Desa ini memang diincar aparat karena diduga merupakan pusat pergerakan Gerakan Aceh Merdeka. Di dinding salah satu meunasah (musala), terpampang secara mencolok gambar sebuah bendera. Ukurannya empat kali tiga meter dengan warna dasar yang merah menyala.
Di atasnya, terlihat simbol bulan bintang berwarna putih. Tiga garis hitam melintang di bagian atas dan bawahnya. Itulah bendera Aceh Merdeka, perlambang sebuah negara yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam.

Setiba di persimpangan jalan ke arah tenda penampungan itu, sekelompok pemuda lain kembali menginterogasi TEMPO. Tatapan mereka tajam, penuh selidik, dan curiga. Jelas, mereka tidak suka menerima kunjungan wartawan. Apalagi orang asing. TEMPO mencoba membuka percakapan dalam bahasa Aceh. Tapi gayung rupanya tak bersambut. Tak lama kemudian, malah caci maki yang saling bersahutan. "Wartawan datang ke sini hanya untuk cari duit, kita tetap saja menderita. Tidak perlu mereka datang kemari, suruh pulang saja," teriak salah seorang dari mereka.

Suasana memanas. Apalagi setelah seorang laki-laki yang datang naik sepeda motor mengipasi rekan-rekannya. Katanya, TEMPO tidak berniat membantu perjuangan mereka karena tidak mencatat dan merekam semua penjelasannya. Massa makin beringas, mereka mulai mendorong-dorong sambil berteriak garang mengusir wartawan TEMPO untuk segera angkat kaki dari desa itu. Dalam situasi kritis itu, TEMPO berhasil melepaskan diri dari kepungan massa.

Dan meski sempat ditendang seorang pemuda setempat, TEMPO langsung memacu sepeda motor meninggalkan desa itu. Kecamuk amarah itu merupakan rangkaian berbagai kasus yang mengguncang Serambi Mekah belakangan ini. Dimulai dari aksi sweeping dan penculikan sembilan aparat militer oleh warga di Lhoknibong, 20 Desember lalu. Tujuh di antaranya ditemukan terbunuh.

Sedangkan Mayor (Mar.) Edianto dan seorang prajurit lainnya masih tak tentu rimbanya. ABRI kontan naik pitam dan telak-telak menuding Gerakan Aceh Merdeka dan Ahmad Kandang berdiri di balik insiden itu. Lalu, berkompi-kompi pasukan pun diterjunkan ke Tanah Rencong atas nama Satgas Operasi Wibawa 1999 di bawah pimpinan Kapolres Aceh Utara, Letkol. Pol. Iskandar Hasan. Suasana jadi kembali mencekam. Mirip saat Aceh ditetapkan sebagai daerah operasi militer (DOM). Trauma dan luka lama itu, yang meninggalkan kebencian terhadap militer, lalu meledak dalam berbagai aksi kerusuhan, yang lalu dihadapi tentara—yang juga lagi naik darah atas pembantaian rekan-rekan mereka—dengan senapan yang menyalak-nyalak. Berbagai insiden berdarah pun meletus.

Minggu pagi, 3 Januari lalu, misalnya, terjadi penembakan deras oleh tentara terhadap ribuan warga yang bergerak dari Masjid Desa Pusong ke kantor dan Pendopo Kabupaten Lhokseumawe. Korban dari penduduk sipil pun bergelimpangan. Tercatat 11 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka disambar timah panas.

Salah satunya adalah Muhammad Nadir. Pelor menembus kaki mungil bayi 13 bulan itu, dan pelor melesat ke dada renta neneknya, Siti Aminah, 63 tahun, yang tanpa ampun lagi terenggut nyawanya. Jiwa si kecil Nadir masih terselamatkan. Bukan cuma itu, secara membabi buta aparat menangkapi warga biasa. Beberapa karyawan yang akan berangkat kerja, tanpa babi-bu lagi, lantas diciduk. Mereka ditahan selama tiga hari di Gedung KNPI Aceh Utara. Salah seorang di antaranya, sebut saja namanya Fulan, diangkut ketika akan berangkat ke kantornya di sebuah perusahaan minyak ternama di Lhokseumawe.

Setelah dilepas, bibirnya terlihat pecah dan lebam, akibat bogem mentah. KTP serta tanda identitas lainnya disita. Tak ketinggalan, sepasang sepatu yang baru saja dibelinya juga dirampas. Di Jakarta, segala kekisruhan itu dicoba diselesaikan melalui dialog antara pemerintah pusat dan wakil masyarakat Aceh. Selasa pekan lalu, berlangsung pertemuan antara Tim Komite Solidaritas HAM Daerah Istimewa Aceh (Koshamda Aceh) dan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Dephankam beserta seluruh jajarannya. Menurut Hasballah M. Sa'ad, Sekretaris Koshamda Aceh, pertemuan itu berlangsung atas inisiatif pihaknya. 

Tujuannya: untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Saat itu Koshamda mengutarakan tuntutannya, yaitu agar ABRI menghentikan tindakan kekerasan terhadap masyarakat Aceh. Jangan sampai DOM diterapkan lagi dan agar para pelaku pelanggaran HAM, baik dari pihak ABRI maupun masyarakat, ditindak secara hukum tanpa pandang bulu. Atas tuntutan itu, Wiranto menyatakan dapat memahami aspirasi masyarakat Aceh itu.

Tapi ia juga menegaskan keyakinannya bahwa sisa Gerakan Aceh Merdeka-lah yang mendalangi berbagai insiden di Aceh. Perihal daerah operasi militer, Jenderal Wiranto menjamin tidak akan menerapkannya lagi, dan segala operasi aparat keamanan di Aceh adalah operasi kamtibmas yang akan dikendalikan polisi. Ia pun menyepakati usulan Koshamda tentang pembentukan suatu komite bersama untuk mencari penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

Sementara itu, Jumat pagi kemarin, 42 wakil masyarakat Aceh bertemu dengan Presiden B.J. Habibie di Bina Graha. Sebelumnya, juga diundang Kepala Bakin Z.A. Maulani. Mereka terdiri dari Gubernur Aceh, para ulama, pimpinan DPRD, pemuka adat, tokoh-tokoh LSM, pemuda, dan mahasiswa, yang datang dengan membawa lima poin pernyataan.
Pertama, mendesak pengusutan tuntas terhadap pelaku pelanggaran HAM semasa DOM. Kedua, agar Habibie segera memberi amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada tahanan politik Aceh. Ketiga, soal pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Aceh dengan perimbangan keuangan 80 persen untuk Aceh dan 20 persen untuk pusat. Keempat, menuntut ditetapkannya landasan hukum yang jelas mengenai status keistimewaan Aceh. Kelima, pernyataan tetap menjadi bagian Republik Indonesia. Bagaimana hasilnya? "Pertemuan itu mengecewakan sekali," kata Ketua KNPI Aceh, Andaman Ibrahim, salah seorang utusan. Sebab, ternyata forum yang semula amat diharapkan masyarakat Aceh memberikan titik terang itu berakhir tanpa kesimpulan apa pun. Menurut Andaman, tak satu pun tuntutan mereka—yang telah disiapkan dua bulan sebelumnya itu—dijawab Habibie secara memuaskan. Lihat saja.

Untuk poin pertama, Habibie cuma menjawab agar hal tersebut dibicarakan dengan Ketua Harian Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum, Jenderal Wiranto. Poin kedua dan keempat, tidak ada jawaban khusus. Untuk poin ketiga, Habibie cuma bilang tidak bisa memutuskannya sendiri dan harus dibicarakan dulu dengan DPR.
Saking kecewanya, sampai-sampai saat diundang Asisten Wapres Bidang Polkam setelahnya, hanya delapan orang yang memenuhinya. Sebagian besar utusan lainnya memilih menunggu di bis. Dengan kata lain, urusan Aceh ini menjadi "pekerjaan rumah" pemerintah yang belum kelihatan segera usai.

(Referensi dari berbagai sumber)

No comments:
Write komentar