Thursday, March 10, 2016

Kisah "Hujan Peluru di Aceh", Setelah Megawati Izinkan Operasi Militer


Cerita Tentang Hujan Peluru Di Aceh

Selepas tengah malam tepat pada tanggal 18 Mei 2003, waktu itu Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, ia mengumumkan izin Operasi Militer di Aceh untuk melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tanpa tunggu lama, tepat pada tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah RI mengirimkan 42 ribu pasukan bersenjata (30 ribu TNI dan 12 ribu polisi) dan operasi berlangsung selama satu tahun.
Operasi ini juga merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Pemerintah RI sejak operasi seroja tahun 1975. Penerapan operasi militer justeru membuat suasana kian mencekam dan mengancam orang yang tak bersalah mulai anak-anak hingga dewasa.

Seorang warga Aceh dikeroyok dengan kejam oleh beberapa aparat militer Indonesia

Berkaitan dengan hal itu, sedikit ulasan kita tulis untuk mengenang sembilan tahun darurat militer. Saat itu Jum'at 2003 lalu, langit cerah masih menerangi pusat pemberlanjaan di Kota Lhoksukon, Aceh Utara yang jarum jam menunjukkan pukul 10:30 wib. Masyarakat disana tampak disibukkan dengan berbagai aktivitas, tapi mereka tak tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu lalang, masyarakat waktu itu dikejar waktu deadline untuk shalat Jum'at.

Ditengah - tengah masyarakat yang sedang disibukkan dengan berbagai aktivitas, sejumlah personil Brimob tampak bersiaga di pusat kota Lhoksukon itu. Namun disela-sela kesibukan, tiba-tiba... Door..!! Door..!! Terdengar dua kali letusan senjata ntah dari arah mana. Akibatnya, dua anggota Brimob yang sedang berjaga tewas seketika dan bersimbah darah tepatnya di salah satu warung unggas di pusat kota Lhoksukon.

Suasana kota Lhoksukon waktu itu yang merupakan kota perdagangan di Aceh Utara berubah menjadi sepi dan mencekam. Tembakan balasan dari aparat semakin membuat masyarakat ketakutan dan panik. Beberapa toko yang semula masih buka, juga buru-buru ditutup oleh pemiliknya.

Masyarakat yang tadi sibuk berlalu lalang, malah kocar-kacir meninggalkan lokasi mencari perlindungan dari peluru nyasar. Baku tembak terus terjadi antara pihak Brimob dan GAM yang diiringi dengan letusan-letusan bom.. Door..door.., Pun ibadah shalat Jum'at waktu itu terpaksa di gagalkan akibat kontak tembak ini.

Tak hanya itu, pasukan bersenjata dari Brimob itu juga nyaris membakar rumah penduduk di Kompleks Hasbi Mawar, yang terletak di Desa Pante AB, Lhoksukon. Daerah itu di duga basis GAM. Baku tembak berlangsung sudah dua jam membuat masyarakat trauma memilih sembunyi dirumah.

Dua jam berlalu, rentetan suara tembakan terus terjadi tiada henti. Mereka menembaki apa yang ada di depan mereka. Kambing, sapi, kaca rumah, mereka tembak dengan membabi buta karena mereka sangat marah bahwa dua orang teman mereka tadi tewas dengan peluru menembus kepalanya. Sesekali mereka mencaci maki musuhnya sambil menembaki apa yang dilihat dari mata mereka. Door...door...door....

Letusan senjata yang saling bersahutan terus berlanjut. "Dimana kau GAM...! Ayo lawan kami...!" Kata-kata itu diucapkan oleh pasukan Brimob yang marah bagaikan kerasukan syetan.

Setelah tiga jam kemudian, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti baku tembak. Aksi kemarahan mereka lalu diarahkan ke puluhan toko yang ada di pusat kota Lhoksukon. Tanpa pikir panjang, pasukan Brimob ini membakar puluhan toko dengan lengkap isi barangnya. Semuanya hangus tanpa sisa seperti elektronik, emas, kelontong, uang, dan lainnya. "Semuanya musnah terbakar, hidup kita saat ini bagaikan hidup diujung peluru. Merekalah yang berkuasa untuk saat ini, bukan kita." Ucapan itu yang masih saya ingat sampai sekarang, diucapkan oleh salah seorang pemilik toko yang hangus dibakar.

Masyarakat yang awalnya bersembunyi di rumah, kali ini mulai tenang dan kembali keluar ke rumah. Setelah keluar, terlihat kepulan asap hitam yang sangat tebal. Mereka justeru berhamburan mendekati lokasi tempat dibakarnya puluhan toko itu. Suasana mencekam di Aceh khususnya Lhoksukon waktu itu terus berlanjut, membuat masyarakat yang tak bersalah menjadi panik, dan ketakutan.

Masa darurat militer di Aceh pada waktu itu membuat masyarakat tak bisa kemana-mana karena diselimuti kepanikan dan ketakutan. Pasukan TNI dan Polri mulai bergerak ke pelosok Aceh untuk membatasi ruang gerak GAM. Akibatnya, telah terjadi perusakan fasilitas-fasilitas publik, meningkatnya arus pengungsian karena khawatir menjadi korban perang, lumpuhnya perekonomian di beberapa wilayah dan jatuhnya korban.

Kini, darurat militer yang sangat di takuti masyarakat sudah sembilan tahun telah berlalu. Masyarakat tidak lagi dihantui dengan tembakan-tembakan nyasar maupun kesengajaan. Tak ada lagi orang yang memperebut kekuasaan di tanah rencong ini, dan kini semua milik bersama. Masyarakat Aceh kembali tersenyum setelah penanda tanganan MoU Helsinki antara RI dan GAM. Bangunan-bangunan yang dulunya porak-poranda akibat di serbu pihak bersenjata, kini tak tampak lagi bekasnya, sudah dibangun kembali. Semuanya terlihat indah, berwarna, dan tak lagi seperti kota mati. Semoga Aceh terus hidup damai...
Chairul Sya'ban | The Globe Journal

No comments:
Write komentar