Thursday, March 10, 2016

Kisah Teungku Peukan Manggeng, Seorang Ulama Aceh Yang Tak Gentar Melawan Belanda

Perlawanan Tengku Peukan Manggeng Terhadap Belanda Di Aceh Barat Daya (Abdya)



Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi diwilayah Barat Daya yang dipimpin oleh Tengku Peukan Manggeng, Haji Yahya dan Sidi Rajab. Dalam suatu musyawarah yang diselenggarakan di Paya Dapu wilayah Kluet, ditetapkan Tengku Peukan Manggeng sebagai panglima perang dan penyerangan lebih dahulu dilakukan pada malam hari di tangsi (asrama) Blangpidie pada akhir tahun 1926. 
Tengku Peukan tergolong seorang ulama yang kharismatik dan berpengaruh di Manggeng dan sekitarnya, orang tua beliau juga merupakan seorang ulama yang berpengaruh di daerah itu. Tengku Peukan merupakan putera dari seorang ulama yang bernama Tengku Padang Ganting dan Siti Zalekha yang dilahirkan pada tahun 1886 di desa Alu Paku kecamatan Sawang Aceh Selatan. 

Tugu Teungku Peukan Manggeng di Abdya

Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat yang berpengaruh, Tengku Peukan semakin membahayakan posisi Belanda di Blangpidie. Dakwah Tengku Peukan selalu dimata-matai oleh kaki tangan Belanda. Tengku Peukan sering merekrut para pengikut melalui media dakwah. Dalam dakwahnya Tengku Peukan selalu memaparkan bahwa membela dan mempertahankan tanah air adalah ibadah, jika meninggal dalam peperangan sabil melawan kafir (kaphe) Belanda maka akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Tengku Peukan juga mengajak rakyat untuk menentang setiap penjajahan dan membenci setiap perampasan hak azasi manusia.

Belanda semakin mencurigai aktifitas dakwah Tengku Peukan. Sehingga Belanda memboikot dakwah beliau. Pemboikotan ini membuat Tengku Peukan tersinggung dan marah, ditambah lagi kaki tangan Belanda mencari-cari kesalahan Tengku Peukan dengan bermacam cara dan strategi. Belanda membuat siasat baru dengan memerintahkan petugasnya menagih uang blesting atau pajak tanah yang sudah 3 tahun dibebaskan oleh ulebalang Manggeng. Belanda terus mendesak agar pajak tersebut dilunasi terus dalam waktu singkat. Tetapi Tengku Peukan tetap bersikeras tidak membayar dan tidak akan tunduk kepada Belanda.


Karena pembangkangan ini Belanda mendapatkan alasan untuk menangkap Tengku Peukan, tetapi Tengku Peukan telah lebih dulu menghimpun kekuatan pasukan untuk menyerbu bivak atau tangsi Belanda di Blangpidie, yang jaraknya sekitar 20 kilo meter dari Manggeng. Pada tanggal 9 September 1926 malam Kamis, Tengku Peukan mengumpulkan ratusan pengikutnya dengan ciri khas berpakaian hitam, mereka menuju ke Blangpidie melalui jalan umum. Sebelum menyerang, Tengku Peukan dan seluruh pasukannya mengumandangkan takbir lebih dahulu untuk meneguhkan keimanan mereka.



Menjelang Shubuh tanggal 10 September 1926 Tengku Peukan dan pasukannya tiba di Blangpidie, beliau lebih dulu singgah di rumah seorang ulama Blangpidie yang bernama Tengku Di Lhoeng di Geulumpang Payong. Selanjutnya dirumah Tengku Di Lhoeng, Tengku Peukan dan pasukannya beristirahat guna mengatur siasat dan strategi penyerangan dengan membagi 7 panglima pemimpin pasukan. Tengku Peukan juga meminta pendapat dari Tengku Di Lhoeng. Sehingga diputuskan penyerangan dimulai sebelum azan shubuh, Tengku Di Lhoeng juga berwasiat kepada pasukan Tengku Peukan agar tidak gegabah dan bersuara saat melakukan penyerangan. 
Setelah tanda penyerbuan dibunyikan, Tengku Peukan bersama pasukannya serentak menyerang tangsi saat tentara Belanda masih tidur nyenyak. Sehingga banyak tentara Belanda yang tewas, tangsi Belanda kala itu benar-benar banjir darah dan puluhan mayat serdadu Belanda pun bergelimpangan. Tengku Peukan kemudian mengumandangkan azan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, karena berhasil menumpas serdadu Belanda. Pada saat mengumandangkan azan itulah Tengku Peukan gugur sebagai syuhada setelah ditembak oleh seorang serdadu Belanda yang masih hidup. 
Dalam pertempuran tersebut turut syahid pula putera Tengku Peukan yang masih belia yang bernama Muhammad Kasim. Sedangkan dari pihak serdadu Belanda hanya 3 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Jenazah Tengku Peukan selanjutnya dimakamkan di dekat tangsi Belanda (didepan mesjid jamik Blangpidie sekarang), tanpa dimandikan lebih dulu sebagai mana hal yang berlaku terhadap seorang yang mati syahid.



Setelah pertempuran itu, para pejuang untuk sementara mengembara di wilayah Lama Inong dan kemudian kembali ke Kluet. Di Alue Paku kembali terjadi pertempuran sengit pejuang Aceh yang dipimpin Pang Paneuk dan Sidi Rajab melawan serdadu Belanda, dalam pertempuran di Gunong Mata Ie wilayah Alue Paku, Sidi Rajab gugur sebagai syuhada, jenazahnya kemudian dicincang oleh tentara marsose Belanda dan tiga hari kemudian baru dikebumikan. Setelah pertempuran di Alue Paku ini, kembali terjadi pertempuran di Alue Meuh pada malam hari. Pasukan Belanda sengaja dijemput oleh Imum Sabi agar datang ke Alue Meuh. 
Berkat kelihaian Imum Sabi, serdadu Belanda berhasil dijebak dan hanya satu orang yang berhasil menyelamatkan diri melalui hilir krueng Inong sampai kemuaranya. Pasukan marsose Belanda kembali datang dengan pasukan yang lebih kuat lagi, sehingga beberapa kali terjadi pertempuran di Sibombong dan menyebabkan gugurnya Haji Yahya sebagai syuhada.


Tengku Peukan, Haji Yahya dan Sidi Rajab telah gugur sebagai pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali ridha dari Allah SWT semata. Dan kelak darah yang ditumpahkan akan menjadi saksi di hari pembalasan, bahwa betapa jihad fisabilillah sudah pernah dicetuskan di daerah Barat Daya dan Aceh Selatan. Ketika syahid Tengku Peukan diperkirakan berumur lebih kurang 40 tahun. Sampai sekarang makam beliau yang ada di depan kompleks mesjid Jamik Blangpidie banyak dikunjungi oleh pejabat dan masyarakat. Dan kuburan beliau akan menjadi kenangan dan saksi kehebatan perjuangan suci pada tahun 1926.

No comments:
Write komentar