Melihat isu kekinian di Aceh terkait bendera Bintang Bulan yang kembali menjadi perbincangan publik, seperti diketahui Qanun Bendera dan Lambang Aceh telah disahkan DPR Aceh sejak 2013 lalu. Namun implementasi qanun ini belum bisa dilaksanakan karena hingga kini belum mendapat persetujuan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri.
Bendera Bulan Bintang dikibarkan dalam rapat di DPR Aceh Selasa, 1 Maret 2016 |
Mengenai bendera itu merupakan amanah yang dimuat dalam perjanjian damai antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005 lalu. Jelas sekali mengenai persoalan bendera Bulan Bintang ini tidak ada aturan manapun yang dilanggar karena pada dasarnya persoalan bendera ini ada landasan hukumnya yang jelas dan sudah di sahkan oleh DPR Aceh. Hanya saja Pemerintah Pusat yang belum menngesahkan serta memberi kebebasan dalam mengimplementasikan aturan mengenai persoalan bendera yang tertera pada Qanun Perda Aceh.
Namun, mencermati pernyataan sikap anggota DPR Aceh dan anggota DPRK dari Fraksi Partai Aceh yang dibacakan oleh Abdullah Salleh, yang mengatakan, “kami DPRA dan DPRK seluruh Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk mengimplementasikan MoU Helsinki dan UUPA secara konsisten dan menyeluruh. Mendesak pemerintah kab/kota untuk melaksanakan Qanun nomor 3 tahun 2013 tentang bendera Bintang Bulan selambat-lambatnya tanggal 30 April 2016. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan eksekutif se-Aceh tak berani mengibarkan bendera Bulan Bintang, maka DPRA dan DPRK kab/kota akan menolak Pilkada 2017.“
(http://klikkabar.com/2016/03/01/jika-bendera-aceh-tak-berkibar-dpra-ancam-boikot-pilkada/)
Siapa pun boleh setuju dan boleh tidak tentang pernyataan sikap tersebut karena tergantung dari sudut pandang mana melihat hal ini. Namun dalam pernyataan yang dibacakan Abdullah Saleh terlihat mencampuradukkan dua persoalan yang berbeda.
Penulis kurang sependapat dengan pernyataan sikap tersebut, karena siapa saja boleh mendesak Pemerintah Pusat agar segera mengimplementasikan qanun/perda tersebut. Tetapi sedikit melenceng jika DPR Aceh maupun DPRK serta segelintir politisi Aceh mencampuradukkan antara masalah bendera dengan pemilihan kepala daerah.
Dua hal ini merupakan persoalan yang berbeda dan tidak ada kaitannya sama sekali. Pilkada berada di bawah payung pengawasan/pelaksanaan KIP, sementara DPR merupakan lembaga legislasi. Tidak salah jika mendesak pemerintah segera mengimplementasikan qanun tersebut. Namun bila mengaitkan persoalan bendera dengan mengancam akan memboikot pilkada 2017, nantinya justru akan berdampak buruk bagi Aceh sendiri. Karena dilaksanakannya pilkada merupakan salah satu cara mencapai perdamaian di daerah pascakonflik.
Karena dengan terselanggaranya pilkada mempunyai tujuan yaitu bagaimana perdamaian dan stabilitas tercapai tapi pada saat yang bersamaan bagaimana demokrasi terbangun. Justru dengan adanya pilkada ini kita dapat menyelesaikan masalah secara arif . Apabila DPR Aceh maupun DPRK mengancam akan memboikot pilkada demi tercapainya keinginan masyarakat Aceh terkait bendera, bukan menyelesaikan masalah yang ada namun akan memperkeruh dan memunculkan masalah yang baru. Jadi pada intinya ialah memboikot pilkada bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.[]
*Penulis adalahMahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsyiah
No comments:
Write komentar