Friday, March 25, 2016

Abdurrahman Az-Zahir, Tokoh Penting yang Terlupakan Ketika Perang Belanda Meletus di Aceh

Abdurrahman Az-Zahir ; Tokoh utama dibalik Perang Belanda di Aceh abad 19

Posted ontidak dapat dipungkiri bahwa Perang Aceh dan Belanda pada abad 19 (1873 – 1907) adalah merupakan perang yang paling lama dan memakan korban yang banyak dari kedua belah pihak dan ternyata merupakan perang yang mendapatkan perhatian dunia internasional pada saat itu.
Mengapa Aceh dipandang penting oleh Belanda ? karena saat itu Aceh adalah merupakan pemasok utama Lada di dunia, sebelum Belanda memutuskan untuk menguasai dan menyerang Aceh, Negara Islam yang sudah menjalin perdagangan dengan berbagai negara, diantaranya Inggris, Perancis, Amerika, dsb.
Dan dari rangkaian peperang yang panjang itu, kita mengenal banyak pahlawan nasional yang harum namanya dari Bumi Aceh seperti Teungku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dsb. Namun sejarah kita melupakan satu tokoh sentral dari seluruh rangkaian sejarah yang panjang ini yaitu Sayyid Abdurrahman Az-Zahir.

Siapakah Abdurrahman Az-Zahir ?
adalah Snouck Hurgronje yang melakukan studi terhadap Abdurrahman Az-Zahir : beliau berasal dari Hadramaut, Yaman, yang mengenyam pendidikan di Mesir dan Calicut, kemudian mengembara ke benua Eropa hingga sampai ke Johor, Malaysia, dan  mulai terlibat dalam perniagaan dengan pedagang lada dari Aceh, hingga beliau mulai terlibat dalam gerakan pembelaan Aceh yang saat itu sudah mulai memanas akibat Belanda yang berambisi hendak menguasai seluruh Aceh.
“Meskipun Abdurrahman memimpin golongan Islam di Aceh, beliau bukanlah seorang alim yang kaku dan ortodoks, melainkan bersikap realistis dan terbuka terhadap Eropa dan berusaha menjadi penengah diantara konflik Aceh dan Belanda” demikian catatan dari Snouck Hurgronje
Aceh, pada saat itu hanya dipandang sebagai negara kecil yang lemah, sangat tidak menguntungkan bagi negara-negara Eropa atau Turki (Ottoman) sekalipun untuk membela Aceh jika konflik dengan Belanda meluas menjadi peperangan, namun konflik Aceh ternyata mendapat perhatian yang cukup besar saat itu dan meraih simpati banyak negara Eropa, walaupun tidak menyurutkan Belanda untuk tetap menyerang Aceh.
Kepiawaian Abdurrahman Az-Zahir dalam berdiplomasi dengan negara-negara Eropa dan Turki pada saat genting itu memainkan peran yang signifikan ; tepat sebelum Belanda melancarkan serangannya, hubungan antara Aceh dan Turki telah terjalin harmonis berkat jasa-jasa beliau, Abdurrahman membawa 60 orang utusan dari Aceh menghadap Sultan Turki (Abdul Majid) untuk memohon bantuan jika suatu saat Aceh diserang oleh Belanda, dan respon dari Turki sangat positif ; Sultan mengeluarkan maklumat untuk melindungi dan menyokong Aceh jika terjadi peperangan.
Atas respon yang positif ini, Sultan Ibrahim dari Aceh mengirimkan bantuan kepada Turki saat Khalifah tersebut terlibat dalam perang di Crimea, Ukrania. atas jasa-jasa tersebut, Sultan Turki memberikan bintang kehormatan untuk Sultan Ibrahim.
Ini adalah merupakan satu bukti bahwa pada saat itu seluruh negara-negara Islam masih merupakan kesatuan ; jika ada satu negara yang sedang terlibat perang, maka negara lain akan turut membantu, karena mereka terjalin dalam satu aliansi keislaman.
“Abdurrahman adalah seorang yang memiliki intelektual yang menakjubkan, kemampuan membaca keadaan yang luarbiasa, pandai meyakinkan orang dan fasih berbahasa Arab, seorang Sayyid yang dihormati di Arab dan Turki, terlebih lagi karena ia memiliki uang yang banyak dari hasil perniagaannya di Aceh dan Penang” demikian catatan dari sebuah pers di Turki saat Abdurrahman menetap di Turki untuk kegiatan diplomasi.
Ketika serang pertama Belanda terhadap Aceh pada 1873 dimulai, Abdurrahman gencar bergerilya diplomasi terhadap negara-negara Eropa terutama kepada Inggris dan Perancis yang bertujuan untuk mencari perdamaian antara Aceh dan Belanda, walaupun usahanya ini cukup menarik perhatian Eropa saat itu, respon dari Inggris dan Perancis tidak seperti yang diharapkan, terutama karena Eropa merasa tidak akan memperoleh keuntungan dari perdamaian tersebut.
Namun usaha diplomasi beliau tidak sia-sia, selain mendapatkan simpati besar dari rakyat Eropa dan Turki, hingga sebagian besar dari kesatuan militer Belanda melakukan desersi dan menyeberang ke pihak Aceh pada masa-masa awal peperang Aceh.
Dan dari Turki, support dari Kesultanan terus mengalir, bantuan senjata dan kapal perang senantiasa mengalir didatangkan dari Turki, hal ini tentu saja sangat menyulitkan pihak Belanda yang terus mengalami kekalahan dimasa-masa awal peperangan Aceh, hingga Belanda mendesak Inggris untuk memberlakukan Blokade pengiriman senjata yang melewati Singapura dan Penang, namun Inggris mengangapinya dengan dingin.
Pada masa-masa awal peperangan, Aceh mendapat dukungan politik yang kuat dari Turki, Inggris, Perancis dan Amerika, terlihat jelas bahwa berkat jasa-jasa Abdurrahman maka Sultan Aceh dan para bangsawan di Aceh saat itu dapat melakukan hubungan diplomatik dengan dunia luar.
Setelah melakukan perjalanan diplomasi ke berbagai negara, Abdurrahman memutuskan bahwa jalan perdamaian tidak akan bisa diwujudkan, ia kembali ke Aceh dan berupaya mempersatukan rakyat Aceh kembali untuk menyerang Belanda, ketika beliau sampai di Aceh, rakyat Aceh bergembira menyambutnya dan ribuan orang berkumpul melakukan arak-arak keliling kota Aceh.
dan Aceh kembali bersatu dalam perang melawan Belanda dibawah Panji Islam yang dibawa oleh Abdurrahman, berbagai serangan dilancarkan dibawah kepemimpinannya antara tahun 1876- 1878, Belanda menyadari bahwa Abdurrahman tidak boleh dipandang sepele maka mereka berusaha membujuk Abdurrahman untuk berdamai yang tentu saja mendapat respon positif dari Abdurrahman yang sejak awal menghendaki cara-cara perdamaian untuk mengakhiri konflik antara Aceh dan Belanda.
“Pada setiap-tiap bangsa akan diutus Ulama dalam suatu masa”
Jika Alam Minangkabau memiliki Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Alam Jawa memiliki Wali Songo, maka saya yakin bahwa Alam Aceh dianugrahi Abdurrahman sebagai pemimpin dan ulama bagi rakyatnya.
Abdurrahman Az-Zahir setelah mundur dari perang Aceh menghabiskan masa-masa tuanya di Mekah hingga akhir hayatnya.

No comments:
Write komentar