Friday, March 25, 2016

Riwayat Pendidikan Islam Masa Kesultanan Aceh Darussalam Abad ke 16-17 Masehi

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM ABAD KE 16-17 MASEHI

A.    Pendahuluan
Aceh sebagai sebuah kerajayaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara. Pada masa dahulu Aceh sudah dijuluki sebagai Serambi Makkah. Julukan ini sebagai apresiasi masyarakat muslim di Asia Tenggara terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai agama yang suci. Aceh pernah dikenal sebagai pusat Islam pertama di Nusantara, Islam telah berada di Aceh sekitar tahun 800 M. Setiap sisi kehidupan masyarakat Aceh identik dengan Islam. Mulai dari adat, budaya dan hukum dipengaruhi oleh ajaran Islam. Aceh mengalami kejayaan politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 sampai dengan masa sultan Aleiddin Muhammad Syah (1781-1795), karena setelah itu Aceh mulai surut terutama ketika terjadi agresi Belanda besar-besaran pada abad ke 18.[1]
Orang Aceh tempoe doeloe
 
Kerajaan Aceh Darussalam terletak di provinsi Aceh sekarang yang dulunya dikenal dengan kabupaten Aceh besar. Di sini pula terletak ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-15 M. Kerajaan Aceh Darussalam ini menurut De Graaf sebagaimana yang dikutip oleh Munawiyah, dkk dalam bukunya yang berjudul Sejarah Peradaban Islam, peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh Darussalam adalah sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahhar dengan raja nya yang pertama yaitu Sultan Ali Mughayat Syah. Lalu bagaimana sejarah pendidikan Islam berlangsung pada masa kerajaan Aceh Darussalam? Inilah yang akan penulis uraikan dalam makalah ini.

B.     Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam
Aceh dalam sejarah perkembangannya memiliki beberapa kerajaan besar. Di awali dengan Kerjaaan Peureulak. Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan reaksi dari pihak-pihak yang menjadi korban. Banyak kerajaan di Nusantara yang akhirnya berperang dengan kaum pendatang yang mengedepankan imperialisme dan monopoli perdagangan. Salah satu kerajaan yang memerangi imperialisme dan kolonialisme Barat adalah kerajaan Aceh Darussalam. Berdirinya kerajaan Aceh Darussalam erat kaitannya dengan penaklukan kota Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511 M.[2]
Akibat pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M sangat luas, Portugis memegang kunci perdagangan di Selat Malaka dan Asia Tenggara umumnya. Walaupun pendudukan ini bersifat komersil, namun motivasi agama (perang salib) tidak pernah pudar dari ingatan mereka. Para ulama dan pedagang muslim pindah ke tempat lain seperti Pidie dan Pasai. Portugis tidak mentolerir akhirnya mereka berusaha menguasai Pidie pada tahun 1520 dan Pasai tahun 1521.
Pasukan perang Aceh tempoe doeloe
 
Maka pada saat itu Kerajaan Aceh Darussalam memperkuat kekuatannya untuk mengusir Portugis. Dan pada tahun 1524 Kerajaan samudera Pasai menjadi bagian dari kerajaan Aceh Darussalam, karena berhasil mengusir Portugis.
Ada yang berpendapat bahwa kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke 15 M di atas puing-puing Kerajaan Lamuri. Kerajaan  Aceh Darussalam menerima Islam dari Samudera Pasai yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Aceh Darussalam mendekati pertengahan abad ke 14 M.[3]
Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan ’Ali Mughayat Syah itu adalah kerajaan Islam. Dalam Adat Mahkota Alam, yaitu Undang-undang dasar Kerajaan Aceh Darussalam, yang diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya, disebutkan bahwa sumber-sumber hukum yang dipakai dalam negara ialah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijmak’ Ulama Ahlussunnah dan Qiyas.[4]
Dari segi praktik, syari’at Islam juga ditegakkan tanpa pandang bulu. Iskandar Muda dalam sejarah diceritakan bahwa ia pernah menjatuhkan hukuman mati (rajam) kepada putranya sendiri Meurah Pupok, yang didapatinya salah melakukan zina dengan istri seorang perwira muda. Beliau juga membatalkan adat-adat zalim yang dipusakai dari zaman Hindu seperti saksi-saksi dikehendaki mencelur tangan ke dalam minyak panas atau menjilat besi panas untuk menguji kebenaran pernyataan-pernyataan mereka.[5]
Selain itu, Iskandar Muda juga mengantar para mubaligh Islam ke negeri-negeri yang bukan Islam seperti Batak yang telah ditaklukkannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baginda Raja Iskandar Muda telah menggalakkan Dakwah Islamiyah, seperti yang dituntut oleh Syara’.
Dalam bidang pendidikan pula, Pada masa kerajaan Aceh Darussalam ini telah menggalakkan ulama-ulama dari luar, seperti tanah Arab, India dan lain-lain untuk menetap dan mengajarkan ilmu-ilmu agama di Aceh. Para ulama tersebut diberi perlindungan penuh oleh pemerintah kerajaan. Dari sinilah kemudian muncul ulama-ulama masyhur seperti Hamzah Fansuri, Syamsyuddin as-Sumaterani, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, yang berasal dari Ranir (Rander), Gujarat, India, dan Abdurrauf dari Singkil, dan lain-lain.[6] 
Adapun silsilah penguasa kerajaan Aceh Darussalam  dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Sultan Ali Mughayat Syah
2.      Sultan Salahaddin
3.      Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Qahhar
4.      Sultan Ali Riayat Syah
5.      Sultan Muda
6.      Sultan Sri Alam
7.      Sultan Zainal Abdidin
8.      Sultan Alaaddin Mansur Syah
9.      Sultan Ali Riayat Syah
10.  Sultan Alaaddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil
11.  Ali Riayat Syah
12.  Sultan Iskandar Muda
13.  Sultan Iskandar Tsani, Alaain Mughayat Syah
14.  Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1676 M).
15.  Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1676-1678 M).
16.  Sultanah Inayat  Zakiatuddin Syah (1678-1688 M).
17.  Sultanah Kamalatuddin Syah. (1688-1699 M) [7]
22.  Sultan Syamsul Alam (1726-1727)
23.  Sultan Alauddin Ahmad Syah (1727-1725)
24.  Sultan Alauddin Johan Syah (1735-1760)
25.  Sultan Mahmud Syah (1760-1764)
26.  Sultan Badruddin Johan Syah (1764-1765)
27.  Sultan Mahmud Syah (1765-1773)
28.  Sultan Sulaiman Syah (1773)
29.  Alauddin Muhammad Syah (1781-1785)
30.  Sultan Alauddin Jauhar al-Alam (1795-1823)
31.  Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1820)
32.  Sultan Alauddin Jauhar al-Alam (1820-1823)
33.  Sultan Muhammad Syah (1823-1838)
34.  Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
35.  Sultan Mansur Syah (1857-1870)
36.  Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
37.  Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)  ia ditangkap oleh belanda dan diturunkan tahta pada tahun 1903.[8]

Kedudukan kerajaan Aceh Darussalam di mata International ketika itu, khususnya pada masa Sultan Iskandar Muda abad ke-16 dipandang sebagai suatu negeri yang diakui kedudukannya secara istimewa di kalangan dunia Islam, disegani oleh bangsa Eropa bahkan di akui kehebatannya oleh kesultanan Turki. Kedatangan meriam ”secupak” yang ditempatkan di halaman ”dalam” (royal enclosure) di Banda Aceh adalah lambang pengakuan tersebut.  Bahkan bukan hanya itu saja, Bendera yang berwarna merah dengan bintang bulan yang dipakai oleh kerajaan Aceh adalah bendera yang dipakai juga oleh kesultanan Turki pada waktu itu.[9] Dengan kekuatan senjata dan dukungan international Aceh berusaha mengusir Portugis dari Malaka.
Selain itu Aceh memiliki keunikan tersendiri yang patut dicatat dalam sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara, dimana kedudukan perempuan pada abad ke-17 telah memperlihatkan pada dunia bahwa daerah ini merupakan salah satu kerajaan Islam yang membolehkan perempuan memimpin kerajaan. Dalam catatan sejarah kerajaan Aceh Darussalam ada 4 ratu yang secara resmi menjadi penguasa kerajaan yaitu:Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1676 M), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1676-1678 M), Sultanah Inayat  Zakiatuddin Syah (1678-1688 M) dan Sultanah Kamalatuddin Syah. (1688-1699 M).[10]
Kepemimpinan perempuan dalam sejarah Aceh tidak hanya dalam bentuk kekuasaan eksekutif semata tapi juga legislatif dalam parlemen. Ada banyak kebijakan dan perubahan dari periode kepemimpinan perempuan yang layak di catat seperti upaya untuk mengedepankan sistem demokrasi yang mulai dilakukan di masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin dan ratu-ratu setelahnya melalui pemerintahan tiga sagi.[11]
Keberhasilan kerajaan Aceh Darussalam disebabkan oleh kekuatan politik dan pola pendidikan yang berlangsung pada saat itu. Dari segi politik pemerintahan, setiap raja di Aceh didampingi oleh alim ulama. Dari segi lembaga pendidikan, Aceh memiliki dayah-dayah yang cukup populer sebagai pusat studi Islam. Keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu yang sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dimasanya memang tidak diragukan lagi. Pemimpin-pemimpin Aceh pada masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah juga alumni dayah. Dayah pada masa lalu telah sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, salah satunya adalah out put dayah bukan hanya ulama saja tapi juga mampu menjadi seorang politikus atau negarawan yang berpengaruh. Ini semua dikarenakan bahwa pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi.

C.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan di dunia Islam Tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan bagi manusia sebab ia mencerminkan kesempurnaan agama sebagai penyelamat ummat di dunia dan di akhirat. Penulis tidak menemukan secara langsung apa tujuan pendidikan pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Namun tujuan tersebut barangkali dapat dilihat dari tujuan di dirikan dayah yaitu sebagai lembaga atau pusat belajar pendidikan agama sekaligus sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penjajah.[12]
Jika dibaca dari makalah Fadhlullah Jamil yang berjudul Kerjaan Aceh Darussalam dan hubungannya dengan semenanjung tanah melayu dikatakan bahwa Iskandar Mudah pernah mengirim para da’i/ mubaligh Islam kepada negeri-negeri yang bukan Islam seperti Batak yang telah ditaklukkannya.[13] Ini berarti bahwa tujuan pendidikan pada saat itu sebagai center atau pusat ilmu pengetahuan agama, sebagaimana yang disampaikan oleh Hasbi Amiruddin dimana Aceh ketika itu sampai menjadi pusat perhatian umat Islam di Asia Tenggara. Artinya jika persoalan Islam diperselisihkan di negaranya mereka bersepakat merujuk ke Aceh untuk mendapatkan jawaban.[14]
Dayah khas Aceh, tempat pendidikan tradisional

D.    Sumber Daya Manusia (Guru)
Bukti lain adalah terdapat sejumlah kita-kitab yang bereputasi internasional yang ditulis oleh sejumlah ulama Aceh. Salah satunya kitab Tarjuman al-Mustafid  yang merupakan kitab tafsir al-qur’an lengkap 30 juz dalam bahasa Melayu (sekarang telah menjadi bahasa Indonesia) yang pertama adalah ditulis oleh ulama Aceh, yaitu Syekh Abdurrauf as-Singkili. Jika kita bandingkan di masa lalu semua pejabat negara adalah tamatan dayah mulai dari pejabat rendahan sampai raja, demikian juga dalam dunia militer, mulai dari tamtama sampai panglima adalah tamatan dayah. Itu berarti lembaga pendidikan dayah di masa lalu menyediakan berbagai mata pelajaran di dayah. Banyak ulama-ulama pada masa lalu ahli dalam ilmu pertanian, ilmu falak bahkan ilmu persenjataan. [15]
Sejumlah ulama-ulama Aceh yang memiliki pengaruh pada abad ke-16-17 telah menghasilkan karya-karya yang monumental di ataranya adalah:
1.      Hamzah Fansury, seorang ulama dan pujangga besar yang menganut aliran filsafat wahdatul wujud. Diantara kitab karangannya adalah Asyrabul Asyiqin wa Zinatul Muwahhidin, Kitab filsafat yang membahas thariqat, syari’at, hakikat dan ma’rifat.
2.      Samsuddin Sumatrany, seorang ulama dan negarawan yang menjadi qadhi Malikul Adil pada zaman Iskandar Muda. Diantara kitab karanggnya itu adalahMir’atul Mukminin, Jauharul Haqaiq, Kitabatul Martabah dan lain-lain.
3.      Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama besar, politikus, negarawan, yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin, 1045-1086 H (1641-1675 M). Kitabnya berbahasa Melayu, antara lain: Ash Shiratul Mustaqim (berisikan hukum Islam, fiqh), Darul Faraidl bi Syarhil’Aqaid (Filsafat dan Ketuhanan), Bustanus Salatin fi Zikril wa Akhirin (Sejarah), Akhbarul Akhirah fi Awwali Yaumil Oiyamah (bahasan Hari Kebangkitan), Havatul Habib fi Targhib wa Targhib (Filsafat Akhlak), At-Tibyan fi ma’rifatil Adyan (hal ihwal Aliran Agama), Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruhi war Rahman (Ruh dan Ketuhanan), Lahiful Asrar (Rahasia Alam), Nubzah Fi Dakwazil Mada Shahibin (berisikan Filsafat, menolak Wihdatul Wujud), Hilluz Zil (membahas Ketuhanan dan menolak Wihdatul Wujud), Syifaul Qulub (Filsafat dan Akhlak), Umdatul I’tiqad (masalah Keimanan), Maul Hayati, Li Ahlil Mamati (membahas Hidup dan Mati, Filsafat), Jawahirul Ulum fi Kasyil Ma’lum (membahas masalah Ketuhanan), Bad – U Khalqis Samawati Wal Ardhi (membahas tentang Langit dan Bumi), Hujjatus Shadiq Li Dafiz Zindiy (membahas kesalahan Kaum Zindiq, Ateisme), Fathul Mubin’AIaI Mulihidin (kitab yang membantah Kaum Mulihid, membantah Ateisme), Al – Lam’u ft Tafkiri Man Qalabil Khalqil Our’an (menolak Kaum Mu’tazilah yang mengatakan Al-Quran itu makhluk), Tambihul Awamili fi Tahqiqil Kalami fi Nawafil (membahas masalah Tasauf), Shawarinush Shadiq li Qath’iz Zindiq (kitab yang menolak Kaum Zindiq, kaum sesat), Rahiqul Muhammadiyah fi Thariqish Shufiyah (kitab yang membahas Tasawuf berdasarkan Sunnah Nabi), Kisah Iskandar Zulkarnain (Kitab Sejarah), Hikayat Raja Badar (karya sastra dalam puisi/syair, kisah Perang Badar), Babun Nikah, Saqyur Rasui (Kitab yang membahas perjuangan hidup dan sejarah Rasul), Mu’amadul I’tiqad, Hidayat Mubtadi fi Padhli Ilahi Muhdi (Kitab Ilmu Tasauf).
4.      Abdurrauf As-Sinkily, seorang ulama besar, negarawan, filosof, yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya (1086-1109 H, 1675-1699 M). Beliau adalah ulama yang mendamaikan rakyat dan para pemimpin Aceh pada masa itu, karena bertentangan pendapat akan Ratu wanita dan perselisihan perebutan kekuasaan. Karena kebijaksanaannya, semua lapisan masyarakat hidup rukun dan damai, beliau juga mengarang kitab ilmu pengetahuan dalam bahasa Melayu, antara lain: Turjumanul Mustafid (Kitab yang berisikan Tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Melayu), Mir’atul Thullab (Kitab yang berisikan Hukum Islam, melengkapi segala bidang hukum termasuk Hukum Dagang dan Tata Negara), Umdatul Ahkam (Kitab Pengantar Ilmu Hukum Islam), Umdatul Muhtajin Ila Suluki maslaki Mufradin (Filsafat Akhlak), Kifayatul Muhtajin (Akhlak), Daqaiqul Huruf (Rahasia-rahasia Huruf), Hidayatul Balaghah’Ala Jumatil Mukhasamah (Kitab Hukum Acara dalam Islam), Bayan Tajalli (Kitab Filsafat Ketuhanan, menolak faham Wihdatul Wujud), Syair Ma’rifat (karya sastra yang berbentuk puisi membahas tentang Ma’rifat/Ketuhanan). 
5.      Jalaluddin Tursany seorang ulama, ahli hukum Islam kenamaan yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Johan Syah, 1147-1174 H (1733-1760 M), dengan karangannya yang terkenal Mudharaul ajla ila rutbatil A’la (kitab yang mengandung Filsafat, membahas hubungan makhluk dengan Khaliq, Tuhan), Safinatul Hukam (kitab Hukum Islam yang membahas Hukum Dagang, Hukum Keluarga, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata/Pidana dan Teori-teori Pemerintahan yang Maju, bahkan wanita menjadi Raja).
6.      Syekh Daud Rumym yang lebih dikenal dengan julukan Teugku Chiek di Leupeu yang bersama Syekh Abdur Rauf As-Singkily mendirikan Pusat Pendidikan Dayah Manyang Leupeu Banda Aceh. Hasil karangannya antara lain Risalah Masail Muhtadihi ikhwanil Mubtadi yang ditulis dalam bahasa Melayu. Kitab ini berisi pelajaran lengkap tentang agama Islam dan digunakan di seluruh Negara Asia Tenggara. Hingga sekarang sudah 100 (seratus) kali dicetak, dipakai oleh seluruh dayah di Nusantara.
7.      Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Al – Asyi. beliau bermukim di Mekkah, pada abad ke-19 telah mengumpulkan naskah karangan ulama terdahulu dan mencetaknya. Salah satu kumpulan karangan itu dinamakan Jam’u Jawamil Mushasanfat dan satu kumpulan lain bernama Tajul Muluk.[16]

E.     Materi Pendidikan Islam
Adapun materi yang diberikan pada lembaga-lembaga pendidikan di Aceh itu berbeda-beda satu tingkat dengan tingkat lainnya. Untuk tingkat dasar, misalnya balai pengajian (rumoh beut) diajarkan Al-qur’an, setelah selesai khatam, para santri belajar dasar-dasar pokok ajaran agama dalam kitab Masailal Muhtadiy sebuah kitab yang berisikan tanya jawab di dalamnya. Setelah itu murid mempelajari Bidayatul Muhtadiy, atau kitab Bidayah dalam sebutan orang Aceh.
Kemudian untuk tingkat lanjutan pengajian diberikan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan guru sehingga ada guru yang mengajarkan  majmu’ al-mushannafat yang lazim dikenal dengan kitab lapan, kitab Darussamin dan lain-lain.[17]
Di Meunasah murid-murid diajarkan menulis dan membaca huruf Arab, membaca Qur’an, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, rukun iman dan lain-lain.
Kemudian di pondok-pondok sekeliling masjid yang disebut rangkang juga diajarkan fiqh, ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/ umum, bahasa Arab, disamping digunakan kitab-kitab dalam bahasa melayu juga ada bahasa Arab.
Di dayah diajarkan fiqh muamalat, tauhid, tasawuf/akhlak, geografi (ilmu bumi) sejarah/ ilmu taata negara dan bahasa Arab. Di samping Dayah umum juga adanya dayah-dayah khusus wanita yang di dalamnya juga diajarkan ilmu pertanian, ilmu pertukangan, ilmu perniagaan dan sebagainya.
Kemudian di dayah Teungku Chik/ dayah Manyang yang masa sekarang bisa disamakan dengan Akademi. Di sini diajarkan bahasa Arab, Fiqh Jinayat, figh Munakahat,fiqh dauly (hukum tata negara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, tauhid/ filsafat, tasawuf/ akhlak, ilmu falak, tafsir, hadits dan lain-lain.
Dan untuk tingkat lembaga pendidikan paling tinggi setingkat dengan universitas ada Jami’ah Baiturrahman yang menjadi satu kesatuan dengan masjid Baiturrahman. Di sini diajarkan ilmu tafsir/ hadits, ilmu kedokteran, Kimia, Sejarah, sosial politik, filsafat dan lain-lain.[18]

F.     Metode Pendidikan Islam
Dalam memperlajari Islam, pengenalan pertama adalah mengenai Al-Qur’an. Dasar-dasar pelajaran yang diterima murid pada tingkat dasar ini yaitu dengan mempelajari huruf-huruf Arab dan menghafal ayat-ayat yang terdapat dalam Al-qur’an. Dalam mempelajari huruf-huruf Arab tersebut mengikuti metode baghdadiyah. Metode ini adalah melafazkan huruf-huruf Arab secara alphabet yang diucapkan dalam dialeg lidah orang Aceh seperti Aleh untuk huruf Alif, zou untuk huruf zai, keuh untuk huruf kaf dan lain sebagainya, namun terkadang ditemui perbedaan pengucapan antara satu daerah dengan daerah lain.[19]
Dalam pengajaran pendidikan Islam pada dayah-dayah juga menggunakan metodeTarghib dan Tarhib. Hal ini diterapkan baik dengan cara menakut-nakuti dan mengancam peserta didik dengan berbagai tingkatan, mulai dari Ancaman yang bersifat teoritis hingga praktis. Juga diberikan ganjaran seperti pujian dan sejenisnya.[20]
Disamping itu untuk tingkat yang lebih tinggi tentunya memiliki metode-metode pendidikan lain layaknya pendidikan umumnya seperti metode hafalan, tanya jawab, diskusi, prakti (demonstrasi), dan lain-lain.

G.    Sarana-prasarana (Institusi Pendidikan)
Pendidikan Islam di Aceh dimulai sejak masuk Islam ke Aceh, yaitu semenjak abad I Hijriah. Sebagaimana dinyatakan oleh sejarawan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh, maka lembaga pendidikan ini juga telah berjalan seiring masuknya Islam ke Aceh.[21] Semenjak itu pendidikan Islam di Aceh terus dimulai dan berkembang hingga abad ke-3 H/ awal abad ke-10 M pendidikan Islam di Aceh sudah lengkap dari tingkat rendah sampai ke perguruan tinggi seperti Dayah Cot kala, bertempat di Cot Kala Aceh Timur.
Dayah Cot Kala ini merupakan pusat pendidikan tinggi yang pertama di Aceh bahkan untuk Indoensia dan Asia Tenggara. Dari sini kemudian berdirilah dayah-dayah lain baik dalam Kerajaan Perlak sendiri maupun di Kerajaan Pasai, termasuk kerajaan Aceh Darussalam. Semenjak kerajaan Aceh dikuasai oleh Islam, seperti daerah-daerah lainnya, juga di Pidie keadaan pendidikan Islam telah mengalami kemajuan. Dimana-mana terdapat dayah, dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi, seperti Dayah Pante Geulima di Meureudu, Dayah Teungku Chik di Simpang Teupin Raya, Dayah Teungku Chik di Reubee, Dayah Teungku Chik Pante Kulu di Titie Keumala, Dayah Teungku Chik di Tiro sampai periode Syaikh Muhammad Saman, dan Dayah Teungku Chik Dian di Kumbang Tanjong.[22]
Dayah-dayah tersebut smuanya merupakan dayah-dayah tingkat tinggi. Kebiasaan dari dayah-dayah tinggi disertai tingkat menengah yaitu tingkat rangkang yang menjadi gurunya adalah murid (santri) dari dayah tinggi tersebut. Sedangkan pendidikan agama tingkat rendah atau tingkat dasar itu telah ada di tiap-tiap Meunasah pada tiap desa, selain yang terdapat di rumah-rumah, kadang-kadang juga terdapat di dalam komplek Dayah Tinggi.
Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, rangkang (junior), bale (senior) dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat junior (rangkang) dan senior (bale), sedangkan ditempat lain hanya ditemui tingkat universitas saja. Meskipun demikian, di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai universitas. Sebelum murid belajar di dayah, mereka sudah mampu membaca al-Qur’an. Kemampuan membaca al-Qur’an tersebut mereka dapatkan dari rumah atau seorang teungku di meunasah.[23]
Keadaan pendidikan Islam mengalami puncak kemajuan pada masa kerajaan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda. Namun setelah itu pada abad ke 18 tepatnya pada peperangan melawan Belanda tahun 1873 keadaan pendidikan Islam mulai mundur. Banyak Dayah-dayah dibakar oleh Belanda. Hampir semua masyarakat Aceh mengalihkan aktifitasnya untuk berperang melawan Belanda, termasuk para Teungku dayah dan para santri memimpin peperangan tersebut. Dan tidak sedikit para teungku dan santri yang syahid dalam melawan kafir Belanda. Perang ini berlangsung hingga tahun 1912.
Keadaan perang yang demikian telah menyebabkan para pemuda dan guru syahid sebagai pahlawan. Meunasah-meunasah, rangkang-rangkang, dayah-dayah menjadi porak-poranda. Bahkan Jami’ Baiturrahman sebagai Universitas dan pusat kegiatan Islam Aceh ketika itu di bakar oleh tentara Belanda.[24] Padahal pendidikan pada Al-Jami’ah Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda itu telah memilki 44 orang guru besar yang berasal dari Arab, Turki, Persia, dan India.[25]
Jami’ah Baiturrahman ini setingkat dengan Universitas yang didalamnya memiliki berbagai fakultas (daar), seperti daarut tafsir (ilmu tafsir/ hadits), daarut thib wal kimia ( ilmu kedokteran, Kimia), daarut tarikh (Sejarah), Daarut siyasah (sosial politik), dan daarut falsafah (filsafat) dan lain-lain.[26]
Aceh ketika itu sampai menjadi pusat perhatian umat Islam di Asia Tenggara. Artinya jika persoalan Islam diperselisihkan di negaranya mereka bersepakat merujuk ke Aceh untuk mendapatkan jawaban. Demikian juga kekuatan tauhid yang dimiliki umat Islam di Aceh telah menjadi kekuatan besar dalam mempertahankan negeri Islam dari penjajahan kolonialis kafir Belanda. Hal-hal tersebut menjadi beberapa faktor sehingga Aceh diberi gelar Serambi Mekkah.[27]

H.    Kesimpulan
Aceh  pernah dikenal sebagai pusat Islam pertama di Nusantara Aceh sebagai sebuah kerajayaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara. Aceh mengalami kejayaan politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam khususnya pada masa Sultan Iskandar Muda.  Banyak keunggulan yang sudah pernah dicapai diantaranya adalah Aceh pernah menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara, para mubaligh Aceh dikirim untuk menyiarkan Islam ke wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan.
Disamping itu Aceh sendiri memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang eksis hingga saat ini. Di antara lembaga pendidikan yang ada pada saat itu yang memberikan kontribusi terbesar dalam perjuangan melawan penjajah adalah Dayah, dayah dalam perkembangannya kemudian telah mengajarkan berbagai materi, bukan hanya materi Agama tapi juga materi pendidikan umum. Sehingga bisa dipastikan tidak adanya dikotomi ilmu pada saat itu.  Melalui lembaga pendidikan inilah kemudian islam tersebar ke seluruh asia tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesi; Kumpulan Pra Saran pada Seminar 17-20 Maret 1963 di Aceh, Bandung: Al-Ma’arif, 1993
Ali. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Beuna, 1983
Bustami Usman, Dayah, Banda Aceh: Badan Pembinaan Pendidikan Dayah         (BPPD), 2009.
Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah: Pemrakarsa Lahir Madrasah di Aceh,Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, Banda Aceh: Pena, 2008
Ismail Yakub, “Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda     Sampai Sekarang” dalam   Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh,     Jakarta: Bharata, 1981.
M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Mekkah, Banda Aceh: Penerbit Pena, 2006
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh: Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Ar-Raniry, 2009
M. Yunus Malalatoa, Kebudayaan Aceh: Adat dan Agama Dalam System Budaya            Indonesia, Jakarta: PT. Pamator, 1997
Tasnim Idris, Aplikasi Targhib dan Tarhib pada Pendidikan Dayah Aceh,  Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Usman Husein, Lembaga Pendidikan Kuttab dan Rumoh Beut (Lembaga Pendidikan Islam dasar Arab di Abad Tengah dan dalam Masyarakat Aceh Tradisional), Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Usman Husen, dkk, Aceh Serambi Mekkah, Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.



[1] Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Tanah Rencong,Yogyakarta: Multi Solusindo Press, 2008), hal. 22-27.
[2] Usman Husen, dkk, Aceh Serambi Mekkah, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal. 42.
[3] Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Ar-Raniry, 2009), hal. 208.
[4] A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesi; Kumpulan Pra Saran pada Seminar 17-20 Maret 1963 di Aceh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 249.
[5] Ibid., hal. 250.
[6] Ibid., hal. 250.
[7] Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal. 208.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_penguasa_Aceh  diakses pada tanggal 10 Juli 2013
[9] A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya…, hal. 295.
[10] Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal. 212.
[11] Ibid., hal. 214-218.
[12] Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal. 218.
[13] A. Hasymy, Sejarah Masuk …, hal. 249.
[14] M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Mekkah, (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2006). 56
[15]Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal.. 39.

[16] http://galeriabiee.wordpress.com/orang-yang-menyumbang-emas-tugu-monas/pemikir-islam-dari-aceh  diakses pada tanggal 11 Juli 2013.
[17] Usman Husein, Lembaga Pendidikan Kuttab dan Rumoh Beut (Lembaga Pendidikan Islam dasar Arab di Abad Tengah dan dalam Masyarakat Aceh Tradisional), Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011), hal. 112.
[18] Munawiyah, dkk, Sejarah… hal. 221-222.
[19] Usman Husein, Lembaga Pendidikan…, hal. 111.
[20]Tasnim Idris, Aplikasi Targhib dan Tarhib pada Pendidikan Dayah Aceh,  Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011), hal. 57.
[21] M. Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah: Pemrakarsa Lahir Madrasah di Aceh, Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011), hal. 29. Lihat juga A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 358.
[22] Ibid., hal. 30.
[23]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: Pena, 2008), hal. 47.
[24] M. Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah …, hal. 30-31. Lihat Juga A. Hasjmi,Keadaan Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalan Sejarah, Sinar Darussalam Nomor 63, (tahun 1975), hal. 8.
[25]Ali. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), hal. 191
[26] Munawiyah, dkk, Sejarah…, hal. 222.
[27] M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Mekkah, hal. 56.

No comments:
Write komentar