Thursday, April 21, 2016

Antara Kartini dan Perempuan Aceh

Oleh Teuku Saifullah | Opini
 

Di seluruh Tanah Air kita, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana, sebab mereka pun turut aktif dalam peperangan. Mereka menyediakan perbekalan, membantu digaris belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka. (Hamka).


DALAM sejarah, emansipasi perempuan mulai ramai dibicarakan pada pertengahan abad ke-19, ketika sekelompok perempuan di London menyuarakan gender, persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Ini bermula ketika sekelompok perempuan di Eropa dan Amerika melihat sejarah mereka yang penuh dengan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan tidak mempunyai hak apa-apa dalam hidupnya, tidak bisa mengenyam pendidikan, dan gerakannya dibatasi.

Baca: Kartini, Hanya Propaganda Belanda Mengelabui Sejarah
  Di Indonesia gerakan emansipasi perempuan dimulai oleh RA Kartini, seorang perempuan keturunan priyai dan cendikiawan, kelahiran Jepara pada 21 April 1879 dan wafat pada 17 Desember 1904. Dalam catatan hariannya, Habislah Gelap Terbitlah Terang, yang berisi surat-surat Kartini yang dikirimkan untuk teman-temannya di Eropa, disana dapat dibaca bagaimana Kartini merasa resah melihat kondisi di tengah masyarakatnya bahwa perempuan tidak diberi kesempatan untuk berkembang dan maju.

Singkatnya, atas dasar inilah Kartini kemudian dinobatkan sebagai penggerak emansipasi perempuan pertama di Indonesia dimana hari kelahirannya, 21 April, dijadikan sebagai hari emansipasi perempuan nasional. Tetapi benarkah RA Kartini merupakan orang pertama yang menyuarakan hak-hak perempuan di nusantara ini? Jawabannya, tidak sepenuhnya benar, karena banyak individu, kelompok, suku bangsa dan nation di Nusantara ini sebelum Kartini telah lebih dulu menyuarakan dan bahkan emansipasi perempuan ini telah terealisasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Tanpa mengurangi penghormatan kita, setidaknya RA Kartini adalah orang pertama yang menyuarakan emansipasi perempuan di tanah Jawa.

Perempuan Aceh

Adalah Aceh satu contoh yang dapat kita lihat bagaimana emansipasi perempuan telah mengakar dalam masyarakat Aceh jauh sebelum isu gender disuarakan di Eropa. Perempuan dalam masyarakat Aceh mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dalam rentetan sejarahnya perempuan dalam masyarakat Aceh bebas dan leluasa berpolitik, memperoleh pendidikan, bekerja, dan bahkan ikut aktif dalam urusan peperangan. Kita sering disuguhkan nama Cut Nyak Dhin sebagai seorang pejuang perang dari Aceh, tetapi sesungguhnya ada beratus nama lainnya sebelum dan berbarengan dengan Cut Nyak Dhien yang telah menghiasi sejarah Aceh.


Beberapa periode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan, diantaranya, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan dan ada pula yang menjadi ullebalang (penguasa lokal). Mereka ini oleh peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar Rusia.

Baca: Taukah Anda? Agama R.A. Kartini itu Bukan Islam,Tapi Inilah Agama Yang Dianutnya

Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Malahayati adalah panglima angkatan perang Aceh pada masa sultan al-Mukammil (1589-1604). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. John Davis tertegun melihat fenomena perempuan di Aceh yang pada saat yang sama emansipasi perempuan masih merupakan wacana dibelahan bumi barat saat itu.

Dalam kehidupan sehari-hari perempuan Aceh juga selalu mendapatkan tempat yang layak di masyarakat bersama laki-laki. Dalam acara resmi dapat kita lihat bagaimana perempuan mendapatkan prioritas utama, yang untuk daerah lain di nusantara selalu didahulukan laki-laki atas perempuan: bapak dan ibu atau pemuda pemudi. Tetapi untuk maksud yang sama akan kita temukan sapaan yang sebaliknya di Aceh: kaum mak nyang metuah, kaom ayah nyang meubahagia, (ibu-ibu yang mulia, bapak-bapak yang bahagia) dan dalam pembicaraan keseharian kata perempuan juga selalu lebih dahulu dari laki-laki: inoeng ngen agam yang metuah (wanita dan laki-laki yang mulia). Hal ini sama dengan sapaan masyarakat barat: ladies and gentlement.

Emansipasi perempuan

Selain itu, cara pakaian perempuan Aceh juga bisa menjadi dalil tentang emansipasi perempuan yang sangat intensif di Aceh. Prof Dr Hamka menulis tentang hal ini: “Di seluruh Tanah Air kita, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana, sebab mereka pun turut aktif dalam peperangan. Mereka menyediakan perbekalan, membantu digaris belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”


Di halaman lain Hamka menulis: “Pikirkanlah dengan dalam betapa jauh perbedaan latar belakang perempuan Aceh 385 tahun yang lalu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan mati syahid karena ingin menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh dari arti yang dapat kita ambil dari emansipasi wanita dan feminisme zaman modern sekarang ini.”

Sekali lagi, tidak ada maksud saya untuk menolak bahwa RA Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan di Indonesia. Tetapi tulisan ini hanya ingin menunjukkan kepada para pembaca bahwa emansipasi perempuan telah ada dan bahkan telah mengakar dalam masyarakat kita di beberapa tempat di Nusantara ini jauh sebelum Eropa berbicara tentang emansipasi perempuan.

Semoga pengetahuan sejarah singkat ini dapat menjadi acuan semangat bagi perempuan Indonesia untuk meningkatkan taraf dan keaktifan mereka dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, khususnya dalam masalah politik. Dan semoga pikiran-pikiran yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu menuntut ilmu sampai ke jenjang yang tinggi, tugas perempuan hanya di rumah, perempuan makluk kedua, dan lain sebagainya yang mendiskriminasi perempuan, dapat segara hilang dari benak masyarakat.

* Teuku Saifullah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. Email: saifullah_muslim10@yahoo.com

Sumber: Serambi Indonesia

Terima kasih telah berkunjung di Blog kami! Setelah Anda membaca artikel ini mohon tinggalkan komentar dan jika ingin membagikan atau menyalin isi artikel ini jangan lupa meletakkan sumber link blog http://acehabad.blogspot.com/2016/04/antara-kartini-dan-perempuan-aceh.html

No comments:
Write komentar