Oleh Furqan Ishak Aksa
PROSESI Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 --yang meliputi pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota-- di Aceh telah usai dilaksanakan. Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota sudah melaksanakan Rapat Pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada 2017 di 23 kabupaten/kota di Aceh pada Kamis (23/2/2017). Dari rekapitulasi tersebut pasangan Irwandi Yusuf unggul. Disusul kemudian oleh Muzakir Manaf. Dari data tersebut, jika tidak ada halangan dapat dipastikan pasangan Irwandi Yusuf bisa melangkah menuju Pendopo Gubernur Aceh periode 2017-2022.
Polisi dalam pengamanan pleno KIP Aceh di depan kantor DPRA |
Ini kali ketiga rakyat Aceh memilih pemimpin secara langsung setalah damai. Jika kita bandingkan dengan Pilkada tahun 2012 harus diakui bahwa Pilkada 2017 ini relatif lebih aman. Intimidasi dan kekerasan sudah semakin berkurang. Rakyat dapat dengan bebas menyalurkan aspirasi atau pilihan politiknya. Kondisi ini tentu sangat didambakan oleh jutaan rakyat Aceh. Kita patut bersyukur atas anugrah ini.
Di samping itu, proses rekonsiliasi setelah Pilkada berlangsung sangat cepat. Rabu (22/2) telah dilaksanakan pertemuan khusus dua calon gubernur (cagub) Aceh yang bersaing ketat dalam Pilkada 2017, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf, di sebuah rumah kawasan Kampung Pineung, Banda Aceh, pertemuan itu diakhiri dengan sesi wawancara dan makan siang bersama diselingi canda-tawa (Serambi, 23/2/2017). Pertemuan antara sang kapten (Irwandi Yusuf) dan Panglima (Mualem) dapat mendinginkan suasana para pendukung di akar rumput yang sempat "agak" memanas setelah hasil quick count dirilis oleh beberapa lembaga survei. Pertemuan tersebut menunjukkan elit politik Aceh sudah memiliki kematangan dalam berdemokrasi.
Pada pertemuan tersebut, ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh Muzakir Manaf yakni "Saya akan mendukung pemerintahan Irwandi, itu sudah pasti. Legislatif dan eksekutif harus kompak bersama. Hari ini kita berjumpa berbicara masa depan, menyamakan persepsi. Mari kita bersatu untuk bersama-sama membangun Aceh (Serambi, 23/2/2017).
Rakyat berharap, ini bukan hanya sekedar pernyataan di bibir melainkan terealisasi di lapangan. Seperti yang kita ketahui bahwa eksekutif tidak dapat menjalankan program kerja tanpa dukungan dari legislatif yang mayoritas dikuasai oleh partai pengusung Muzakir Manaf. Parlemen harus mendukung pemerintah ketika yang dijalankan adalah program-program pro rakyat. Sebalikya legislatif harus bersuara lantang ketika eksekutif sudah melenceng dari tujuan mensejahterakan rakyat.
Pekerjaan rumah
Pilkada sudah usai, pemenang harus merangkul yang kalah dan bersatu membangun Aceh. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Gubernur terpilih. Kondisi Aceh sangat terpuruk saat ini. Ada beberapa masalah yang harus segera ditangani dalam liam tahun ke depan, di antaranya: Pertama, kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (2016) Aceh termasuk provinsi kedua termiskin setelah Bengkulu dengan persentase 16,73%.
Kondisi ini sangat miris jika melihat APBA yang mencapai Rp 12,8 triliun (2016). Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera APBD Aceh paling tinggi. Ironisnya, selama lima tahun terakhir ini hampir tidak terdengar program unggulan dari Pemerintah Aceh untuk pengentasan kemiskinan. Publik hanya melihat para elit politik sibuk mengurus masalah bendera dan lembaga Wali Nanggroe.
Kedua, angka penganguran di Aceh mencapai 270 ribu jiwa (BPS 2015). Selama ini Pemerintah Aceh tidak hadir dalam memberdayakan rakyatnya untuk mengali potensi daerah untuk membuka lapangan kerja. Balai Latihan Kerja (BLK), perguruan tinggi serta lembaga penyalur tenaga kerja tidak difungsikan dalam mengurangi angka pengangguran.
Ketiga, dalam aspek pendidikan. Masalah mutu guru dan lulusan juga masih tergolong rendah. Apalagi sekolah-sekolah yang terletak di wilayah pedesaan. Lulusannya masih belum mampu bersaing global. Ironisnya Dinas Pendidikan Aceh malah sibuk mengurusi proyek videotron senilai Rp 8,5 miliar untuk pengadaan 5 unit videotron di lima kabupaten.
Keempat, pembangunan yang tidak merata di semua wilayah Aceh. Pantai timur Aceh lebih maju dibandingkan dengan Barat Selatan Aceh. Kondisi ini dapat memicu konflik di tengah-tengah masyarakat. Tidak heran bila masyarakat ALA-Abas menuntut pemekaran wilayah.
Kelima, masalah narkotika. Pengguna narkoba di Aceh terus meningkat setiap tahun. Saat ini, Polda Aceh menangani 1.170 kasus peredaran dan penggunaan narkoba di seluruh Aceh selama 2015. Jumlah ini meningkat drastis dibanding 2014 sebanyak 943 perkara (Serambi, 2/1/2016). Kondisi ini membuat kita harus "mengelus" dada. Seperti apa nasib bangsa Aceh 10 tahun kedepan jika sebagian besar generasi muda sudah mengkonsumsi barang haram tersebut.
Belum lagi masalah pelayanan kesehatan yang tidak kunjung membaik. Masalah-masalah tersebut menunjukkan keprihatinan yang mendalam akan masa depan bangsa Aceh. Kondisi ini diperparah dengan besaran dana otsus yang semakin berkurang pada 2023. Kemudian, ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) yang merupakan turunan dari MoU Helsinki masih ada yang belum diselesaikan oleh pemerintah pusat. Sudah 10 tahun UUPA disahkan tapi turunan UUPA yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sampai hari ini masih ada yang belum tuntas.
Harus kompak
Menurut hemat saya, ke depan Gubernur bersama dengan legestatif harus kompak melakukan penekanan maksimal kepada pemerintah pusat untuk merampungkan tugasnya. Kita berharap legislatif jangan disibukkan lagi dengan bendera, lambang dan hyme, yang merupakan cover dari amanat MoU Helsinki. Gubernur dan legeslatif harus berani "mendobrak" pemerintah pusat untuk segera menuntaskan PP tersebut.
Melihat begitu kompleksnya permasalahan di Aceh saat ini, sudah saatnya semua elite politik Aceh bergandengan tangan membangun Aceh. Jangan ada lagi perpecahan di Aceh. Kehangatan dan kemesraan dua elite Aceh yang dipertontonkan kepada publik harus menjadi langkah awal dalam rekonsiliasi semua elemen masyarakat di Aceh dari elite sampai akar rumput.
Sungguh, rakyat sudah sangat lelah dengan konflik. Kita tidak ingin lagi konflik Aceh terulang dan dirasakan oleh anak cucu. Cepatnya proses rekonsiliasi pascapilkada merupakan modal besar dalam membangun Aceh ke depan. Rakyat tidak lagi disibukkan dengan tahapan-tahapan pilkada yang sangat melelahkan ini. Gubernur tepilih pun dapat dengan mudah menyusun rencana kerja.
Terakhir, kita berharap pembangunan Aceh ke depan harus bersifat partisipatif. Elemen masyarakat, seperti ulama, akademisi, praktisi, pelaku usaha, pemuda dan mahasiswa harus dilibatkan dalam pembangunan Aceh. Ulama harus dijadikan sebagai penasehat Pemerintah Aceh sekaligus pemersatu umat. Kita berharap tidak ada lagi pihak yang mengklaim diri sebagai "Aswaja" dan menuduh kelompok lain sebagai "Wahabi".
Kemudian, akademisi dan perguruan tinggi harus dilibatkan. Pembangunan Aceh ke depan harus berbasis riset. Hasil penelitian para ilmuan di perguruan tinggi jangan hanya di-publish pada jurnal Nasional dan International bereputasi, tetapi tidak dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh. Pelaku usaha juga harus bersinergi dengan Pemerintah Aceh dengan cara mengajak para investor untuk mensnsmksn modalnya di Aceh. Mahasiswa dan pemuda sebagai iron stock harus pula diajak bicara membangun Aceh.
Pembangunan berbasis partisipatif sangat penting karena pada hakikatnya rakyat merupakan pemilik kedaulatan. Sungguh rakyat menanti program-program pembangunan yang langsung menyentuh kepentingan rakyat, bukan hanya menguntungkan elite. APBA harus difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur. Sudah saatnya Aceh bangkit dari keterpurukan, maju bersanding dengan daerah maju lain. Semoga!
Furqan Ishak Aksa, S.Pd., M.Pd., mantan Presiden Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) 2012, saat ini sebagai Dosen Universitas Samudra (Unsam) Langsa. Email: furqanishaksa@gmail.com
No comments:
Write komentar