Sunday, April 3, 2016

Dokter Spesialis Bantah Pengakuan Direktur RSIA


Sebelumnya Ada Kasus Bayi Meninggal Terlilit Kabel Inkubator

BANDA ACEH - Pernyataan Direktur Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Banda Aceh, drg Erni Rahmayani yang menyebutkan uang jasa medis untuk semua dokter, bidan, dan perawat sudah dibayar dibantah oleh salah seorang dokter rumah sakit itu, dr Serida Aini SpOG. “Bohong pernyataan direktur. Uang jasa medis belum dibayar dari Juni 2015 sampai hari ini,” tandas Serida menanggapi pernyataan Direktur RSIA sebagaimana dilansir Serambi, Jumat (1/4).


Demostran dari Solidaritas Perempuan Anti Korupsi Aceh (SPAK-Aceh) melakukan aksi di halaman Kantor Dinas Kesehatan Aceh, Banda Aceh, Jumat (1/4/2016). Mereka mendesak Pemerintah Aceh untuk mengambil tindakan tegas dan memberikan kepastian hukum kepada rumah sakit yang berkinerja buruk khususnya RSIA.

Serida yang merupakan salah seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSIA secara khusus datang ke Kantor Serambi Indonesia bersama suaminya, Muhammad Dahlan meluruskan berbagai informasi yang berkembang setelah kasus meninggalnya Suryani dan bayinya, tiga hari lalu.

Serida juga membantah pernyataan Direktur RSIA yang menyebutkan pasien Suryani yang hendak bersalin tidak tertangani maksimal karena dokter spesialis yang sedianya bertugas yaitu dr Ulfah Wijaya Kesumah SpOG sedang mengalami diare. Sementara dua dokter spesialis lainnya sedang bertugas di luar.

Menurut Serida, dua dokter lain yang dimaksud adalah dirinya dan dr T Rahmad Iqbal SpOG. Tapi, kata Serida, pada saat itu dirinya bukan sedang bertugas di tempat lain tapi sudah tidak bertugas lagi dan menghentikan pelayanan di RSIA sejak 17 Desember 2015. “Saya menghentikan pelayanan supaya ada perhatian dari direktur, karena sudah beberapa kali saya negosiasi masalah jasa medis tapi tidak didengar,” katanya.

Dia menjelaskan, meski rumah sakit tersebut memiliki tiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan, namun sejak Mei sampai Desember 2015 hanya dirinya saja yang bertugas selama 24 jam. Sedangkan dua dokter lainnya tidak masuk. “Bayangkan saya harus sendiri 24 jam setiap hari dan tidak ada hari libur,” keluh Serida dibenarkan suaminya.

Serida mengaku selama ini dia hanya berkeja penuh di RSIA dan tidak membuka praktek di luar. “Stres kerja jelas ada, beban kerja ada dan saya tinggalkan keluarga. Sangat wajar saya menuntut hak saya. Makanya beberapa kali saya nego direktur menanyakan kapan uangnya keluar, tapi tidak ditanggapi” ujarnya.

Karena tidak ditanggapi, tambahnya, akhirnya dia membuat keputusan untuk menghentikan pelayanan di RSIA dengan mengirim surat ke direktur tertanggal 16 Desember 2015. Tapi, tanpa diduga, esoknya (17 Desember 2015), dua dokter yang selama ini tidak pernah masuk malah masuk kerja hingga terakhir menangani Suryani.

“Saya berharap dengan saya buat surat seperti ini, saya akan dipanggil pihak manajemen. Ternyata satu bulan kemudian saya baru dipanggil dan bukan ditanya berkaitan dengan (surat) ini. Saya berharap mereka membuka mata lebar karena ini rumah sakit ibu dan anak yang membutuhkan dokter kandungan dan anak,” katanya.

Tak hanya itu, persoalan lain yang dialami dr Serida akibat proses itu diturunkannya pangkat dari IIIc menjadi IIIb. “Ini bukan saja kerugian jasa saja tapi dari segi administrasinya juga dirugikan. Karena saya dirugikan, saya sampai minta pindah ke Pidie Jaya. Tapi, Sekda Aceh tidak mengeluarkan izin pindah dengan alasan masih dibutuhkan,” pungkasnya.

Demo RSIA dan Dinkes

Massa yang yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan Antikorupsi (SPAK) Aceh, Jumat kemarin berunjukrasa ke RSIA dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh. Massa mendesak Gubernur Aceh mencopot Direktur RSIA serta mengevaluasi manajemen rumah sakit itu.

Massa pengunjuk rasa dari komunitas antikorupsi lainnya yang ikut dalam aksi demo itu seperti Sekolah Antikorupsi serta Komunitas Antikorupsi Aceh. Mereka mengawali aksi dengan berjalan kaki dari Taman Sari Banda Aceh ke RSIA Aceh yang berjarak kurang dari satu kilometer. Massa disambut aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sana.

Koordinator aksi, Yulindawati mengatakan, kedatangan mereka ke RSIA bukan untuk bertemu direktur atau siapapun yang ada di rumah sakit itu. Tujuan mereka sekadar mengingatkan Direktur RSIA serta tim medis agar selalu mengedepankan kepekaan sosial serta hati nurani dalam setiap memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa memandang strata, status sosial, serta faktor lainnya. “Intinya mereka perlu mengingat sumpah saat diangkat. Mereka juga harus peka dan menyadari kondisi masyarakat yang saat itu membutuhkan pertolongan. Bagaimana perasaan mereka, kalau kasus seperti yang dialami Suryani menimpa anak, istri, atau keluarga dekat mereka? Ini seharusnya ada di benak mereka, khususnya para tenaga medis,” kata Yulindawati.

Bukan yang pertama

Menurut Yulindawati, kematian Suryani dan bayinya akibat buruknya pelayanan serta lambannya penanganan di RSIA bukan yang pertama. Sebelumnya ada kasus bayi yang meninggal dunia akibat terlilit kabel inkubator atau ibu yang terpaksa melahirkan bayinya di dalam becak akibat lambannya penanganan dan kasus pasien melahirkan dibantu oleh suaminya akibat tidak adanya tenaga medis.

“Gubernur Aceh harus punya nyali mencopot Direktur RSIA dan mengevaluasi manajemen rumah sakit itu. Jangan hanya sekadar sidak dan mengeluarkan statemen di media tapi tidak ada tindak lanjut,” tandas Yulindawati.

Mengapa selama ini tidak mencuat ke publik, kata Yulindawati, karena pasien yang menjadi korban ‘kesewenang-wenangan’ dari rumah sakit itu merupakan orang kecil yang tidak memiliki power sehingga mereka takut kalau kasus yang dialami mereka persoalkan justru dikhawatirkan akan berbalik kepada mereka.

Massa yang meluahkan uneg-unegnya sekitar 20 menit di RSIA, selanjutnya bergerak ke Dinkes Aceh. Di sana mereka bertemu dengan Sekretaris Dinkes Aceh, Drs Muhammad Hasan MKes.

“Yang perlu dipahami, mulai RSIA, RSJ, dan RSUZA serta seluruh rumah sakit pemerintah lainnya, itu langsung di bawah pengawasan Gubernur. Pak Gubernur yang memiliki hak prerogatif mempertahankan atau mencopot seorang direktur rumah sakit. Kami tidak punya kewenangan apa-apa,” sebut Muhammad Hasan.

Keberadaan Dinkes, menurut Hasan sama kedudukannya dengan rumah sakit, sehingga Dinkes tidak memiliki kewenangan mengintervensi, melakukan pembinaan serta pengawasan. “Begitu juga bila ada rumah sakit atau puskesmas di kabupaten/kota yang memberi pelayanan buruk. Itu dikawal langsung oleh dinas kabupaten/kota setempat,” demikian Muhammad Hasan.



Editor: hasyim
Sumber: Serambi Indonesia

Terima kasih telah berkunjung di Blog kami! Setelah Anda membaca artikel ini mohon tinggalkan komentar dan jika ingin membagikan atau menyalin isi artikel ini jangan lupa meletakkan sumber link blog http://acehabad.blogspot.com. TERIMA KASIH!

No comments:
Write komentar