Tgk Nas: Elite GAM Terjebak Kekuasaan
Muzakir Manaf, Mantan Panglima Gam
Transformasi politik yang terjadi di tubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca kesepakatan damai Helsinki 2005 membawa perubahan signifikan dalam garis perjuangan politik GAM masa kini.
“perubahan yang paling dirasakan pascadamai adalah semakin terangnya
mantan elite GAM di pemerintahan terjebak dalam politik kekuasaan. Apa
yang terjadi sekarang kita terjebak dalam praktik kekuasaan. Kita seolah
telah ‘membunuh ibu’ kita sendiri..,” kata Mantan juru runding GAM pada masa COHA, Tgk Nasruddin bin Ahmad yang kerap disapa Tgk Nas pada forum Fokus Grup Diskusi bertema Inclusive Peacebuilding and Political Transformation: Experiences and Lessons Learned from Aceh and Asia yang diselenggarakan Berghof Foundation di Hotel Hermes Palace, Jumat (30/1).
Forum diskusi yang dimoderatori Wiratmadinata tersebut menghadirkan
peserta dari kalangan akademisi, praktisi, aktivis, mantan juru runding
GAM, dan jurnalis. Turut pula hadir tiga narasumber mempresentasikan
hasil penelitian mereka tentang proses perdamaian di beberapa negara,
yaitu Dr Veronique Dudouet dan Stina Lundstrom dari Berghof Foundation,
serta David Rampf (CINEP Colombia).
Menurut Tgk Nas, transformasi (peralihan) perjuangan GAM
dari bersenjata ke ranah politik setelah 10 tahun perdamaian Aceh belum
mengakar kuat dan dirasakan dampaknya di masyarakat. Bahkan dalam
struktur perjuangan GAM, banyak mantan kombatan yang tidak mendapat
kesejahteraan. Hal ini dikarenakan para elite GAM yang memegang tampuk
kekuasaan telah terjebak dalam politik kekuasaan. Kondisi ini, lanjut
Tgk Nas, menjadi masalah besar untuk sebuah proses pedamaian Aceh yang
berkelanjutan. “Kesejahteraan dan keadilan adalah kunci agar perdamaian
Aceh ini bisa berkelanjutan,” sebutnya.
Tgk Nas menambahkan, akibat dari perubahan paradigma berpikir para
elite penguasa tersebut, membuat Aceh kehilangan identitas yang sejak
lama diperjuangkan GAM
pada masa masih berkonflik dengan RI. “Kita punya partai, tapi kita
juga sudah kehilangan identity (identitas) yang sejak lama kita
perjuangkan dan sekarang terjebak dalam kekuasaan,” tandasnya.
Seharusnya, kata Tgk Nas, buah dari perdamaian Aceh dapat dirasakan
semua masyarakat terutama rakyat yang semasa konflik menjadi korban
kehilangan keluarga dan harta. “Sebab itulah mengapa kami membuat usaha
yang kebanyakan pekerjanya adalah wanita,” ujar Tgk Nas yang memilih
membuka usaha batu bata di Desa Lhok Bugeng, Kecamatan Jangka, Kabupaten
Bireuen.
Terabaikan
Suara kritis juga dilontarkan peserta diskusi. Mantan juru runding GAM di Helsinki, Nur Juli menyebutkan di level bawah banyak terjadi reaksi ketidakpuasan kalangan mantan GAM terhadap pemerintahan yang saat ini tengah berjalan. “Hal ini berkaitan dengan kesejahteraan dari mantan kombatan GAM yang terabaikan,” ujarnya.
Guru Besar UIN Ar Raniry, Prof Yusni Sabi memandang perdamaian dan
konflik dua hal yang saling bersisian. Karenanya, kata Yusni Sabi,
mengelola keduanya harus dengan penuh kewaspadaan. “Di satu sisi kita
butuh damai, tapi di sisi lain kita juga membuat konflik,” tegasnya.
Menurut Yusni, dialog dan membangun rasa percaya (trust building)
antara kedua pihak adalah faktor penting dalam sebuah proses damai yang
berkelanjutan.
Sosiolog Saifuddin Bantasyam MA mengatakan, Aceh harus belajar dari
pengalaman kegagalan dari beberapa fase perundingan sebelumnya, mulai
dari perundingan di Tokyo, HDC, dan JSC. “Hanya saat perundingan yang
dimediasi CMI, Aceh mencapai kesepakatan menerima otonomi luas lewat UU
Nomor 11/2006,” kata Saifuddin.
Pandangan lain disampaikan Prof Hans-Joachim Giesmann. Ia menyebutkan
suatu perdamaian bukan hanya soal berhentinya perang, dan tidak ada
lagi senjata yang menyalak. Akan tetapi, katanya, perdamaian berkaitan
dengan keadilan, pemenuhan ekonomi, dan adanya kesejahteraan. “Bahkan
dalam proses damai juga perlu melibatkan generasi muda karena mereka
tidak terlibat dalam konflik sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif
Berghof Foundation tersebut.
Pentingnya kesejahteraan
Sementara itu, Ir Azwar Abubakar MM yang tampail sebagai keynote speaker membeberkan sejarah panjang Pemerintah Aceh merawat perdamaian pasca-MoU Helsinki. Antara lain, dengan membentuk Forum Bersama Pendukung Perdamaian Aceh (Forbes Damai) dan Badan Narasumber Damai Aceh (APRC).
Dua lembaga ini, menurut Azwar, meletakkan sendi-sendi penting bagi
tahapan perdamaian dan reintregrasi Aceh, bahkan sebelum Badan
Reintegasi Aceh (BRA) terbentuk. Forbes Damai merumuskan ada delapan
target group yang wajib tersentuh program reintegasi oleh BRA yang
dananya dialokasikan oleh pemerintah pusat. Di antara delapan target
group itu adalah 3.000 eks kombatan GAM
(TNA), 6.200 GAM non-TNA, 6.500 relawan Pembela Tanah Air (PeTA), serta
puluhan ribu korban konflik (mereka yang terbunuh, diperkosa, maupun
yang rumahnya dibakar/dirusak).
Azwar menyebut, perdamaian Aceh tercapai karena banyak faktor.
Pertama, karena adanya niat dan keinginan dari kedua belah pihak
bertikai melakukan dialog. Kedua, GAM saat itu relatif kompak dan mulai
muncul kesadaran untuk mengubah platform dari perjuangan bersenjata ke
perjuangan politik.
Political will dari pusat pun saat itu cukup mendukung ke arah
penyelesaian konflik Aceh melalui meja perundingan. Adanya CMI, mediator
yang kredibel dan disegani, menjadi faktor penguat terwujudnya dialog
damai. Selain itu, kata Azwar, faktor tsunami ikut mempercepat proses.
Menurut Azwar ke depan menciptakan kesejahteran di Aceh menjadi
faktor penting perdamaian. Upaya untuk mencapainya tidak bisa lagi
diserahkan Aceh ke pemerintah pusat. “Itu sudah menjadi urusan kita,
baik yang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Jika kita tak
sejahtera, jangan lagi salahkan pusat,” imbuh mantan menteri
Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi ini.
“Sekarangm semua kita harus kompak. Kita perkuat kohesi sosial dan
memperkuat jaringan. Kalau itu tidak kita lakukan sekarang, maka kita
akan repot lagi ke depan,” kata mantan Plt Gubernur Aceh ini.
No comments:
Write komentar