Jejak Teungku Di Anjong di Peulanggahan
Sejak tiga tahun terakhir Gampong Peulanggahan, Banda, Aceh banyak
dikunjungi pengunjung yang datang dari Persia, Malaysia, Jakarta, atau
Medan. Mereka berziarah ke sebuah makam yang terletak persis di samping
masjid Teungku Di Anjong di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh. Makam yang
mereka ziarahi adalah makam seorang ulama yang berilmu tinggi dan
kasyaf yang terkenal di Aceh dengan gelar Teungku Di Anjong.
Khusus
pengunjung dari Hadhramaut, para penziarah tersebut terdiri atas para
ulama habaib yang masyhur seperti Habib Umar bin Hafidz dan Habib Kazim
Assagaf dari pesantren Daarul Mustafa di Tarim, Habib Salim Assyathiri
dan Habib Saleh bin Muhammad Alatas. Sudah sejak lama memang makam ini
sepi dari penziarah apalagi dari luar negeri. Namun, perhatian
masyarakat kembali muncul pada 14 Ramadhan 1429 Hijrah (tahun 2008 M)
sewaktu diadakannya kembali kenduri Teungku Di Anjong yang dilaksanakan
oleh masyarakat Peulanggahan bersama Rabithah Alawiyah Provinsi Aceh.
Teungku
Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh
Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 M. Penobatan nama Teungku Di
Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan ungkapan Teungku yang
“dianjong” yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam versi lain juga
dikatakan bahwa gelar Teungku Di Anjong diberikan karena ulama ini
banyak menghabiskan ibadah dengan shalat, berzikir, shalawat dan membaca
ratib di anjungan masjid yang bertingkat tiga. Beliau dikenal sebagai
ulama tasawuf, juga berperan sebagai ulama fikih dan telah membimbing
manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam wilayah kesultanan
Aceh, Sumatera, Pulau Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya
yang akan menunaikan ibadah haji melalui Aceh.
Peran Teungku Di
Anjong dalam menyelamatkan kerajaan Aceh tertulis dalam naskah
penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat
Pengembangan Ilmu Sosial Universitas Syiah Kuala (1987) yang
mengemukakan tentang kejadian pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah.
Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit neraca pembayaran (utang) dalam
jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini sangat mencemaskan
Sultan, karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya pula,
meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman
dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun
jumlahnya masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada kerajaan
Inggris. Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar
meminta bantuan Teungku Di Anjong.
Saran tersebut diterima dan
dikirimlah utusan menghadap Teungku Di Anjong yang dibekali dengan
seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan ulama tersebut.
Mengetahui maksud kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan agar
persoalan ini dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan
Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala menyatakan ketidakmampuannya memenuhi
permintaan Sultan dan beliau menyatakan bahwa hanyalah Teungku Di Anjong
yang sanggup membantu Sultan. Teungku Di Anjong pun bersedia dan
meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu tempat di
pinggir Krueng Aceh. Semua goni diisi dengan pasir dan diangkut ke
Pantai Cermen, Ulee Lheue. Sedangkan hidangan dari Sultan beliau
kembalikan dengan pesan bahwa salah satu dari hidangan tersebut hanya
boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka hidangan itu,
ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni yang
dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia
itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan
demikian, martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar
utang tetap terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris.
Nama
sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al Habib - Sayyid Abubakar bin
Husain Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadhramaut, negeri Yaman.
Kisahnya hingga kini masih diceritakan oleh para ulama habaib dari
negeri asalnya Hadhramaut, seperti yang disebutkan para penziarah dari
Yaman yang datang ke Peulanggahan. Manaqib tersebut menyebutkan bahwa
kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung melalui Hadhramaut.
Beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara
sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul
Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama
lainnya di Madinah. Ulama yang pertama adalah Sayyid Abdurrahman bin
Musthafa Alaydrus yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang
kedua ialah Sayyid Syeikh bin Muhammad Al-Jufri yang berjalan menuju
Malabar, India.
Masjid Teungku Di Anjong
Untuk
meletarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan
masih tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sedia kala.
Masjid dan makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada tahun 2009
dengan struktur beton, namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan
tambahan sarana lainnya seperti halaman aspal dan tempat wudhuk.
Masjid Teungku Di Anjong (masa lampau)
Status
tanah bangunan masjid ini adalah tanah wakaf seluas situs 4 Ha. Sebelum
mendirikan masjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya
(Rumoh Cut, atau rumah kecil) yang sangat sederhana sebagai tempat
pengajian dan asrama bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam
dan bermalam di sana. Oleh karena perkembangannya semakin pesat,
rumahnya tidak mampu lagi menampung murid- muridnya. Akhirnya beliau
mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah,
tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah, kepentingan pengajian, dan
lain-lainnya. Mesjid Teungku Di Anjong selain berfungsi sebagai sarana
tempat shalat dan kegiatan - kegiatan ibadah lainnya, pada masa
mempertahankan kemerdekaan Indonesia masjid ini pernah dijadikan markas
perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah Belanda.
Jadi masjid ini tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Kota
Banda Aceh. (Makalah Drs. Husaini Ibrahim, MA, 2006).
Masjid Teungku Di Anjong (masa sekarang)
Masjid
Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan dayah yang terdiri atas tiga lantai. Lantai pertama
disebut dengan Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan lantai ketiga
Makfirat. Dayah ini pernah dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai
pusat doktrin antipenjajahan (Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008). Snouck
Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers, juga menyaksikan bahwa makam
Teungku Di Anjong menjadi tempat melakukan tradisi Peuleuh Kaoy atau
bernazar, dan mencatatnya sebagai makam ulama yang paling dihormati di
Aceh.
Di kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun
semacam asrama untuk menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan Rumoh Raya. Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi
Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di Anjong dalam
membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa
itu.
* Penulis adalah warga Gampong Peulanggahan, Banda Aceh
No comments:
Write komentar