Gelar-gelar dalam masyarakat Bangsa Aceh sejak zaman Kerajaan Aceh Di Aceh terdapat banyak gelar-gelar suku / bangsawan di antaranya:
1. Meurah
Meurah adalah gelar raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Dalam
bahasa Gayo disebut Marah, seperti Marah Silu yang merupakan pendiri kerajaan
Samudera Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari
dengan Meurah Pupok. Setelah datangnya agama Islam, setiap raja Aceh berganti gelar
menjadi Sultan.
2. Teuku
Teuku adalah gelar ningrat atau bangsawan untuk kaum pria suku Aceh yang
memimpin wilayah nanggroe atau kenegerian. Teuku adalah seorang hulubalang atau
ulee balang dalam bahasa Acehnya. Sama seperti tradisi budaya patrilineal
lainnya, gelar Teuku dapat diperoleh seorang anak laki-laki, bilamana ayahnya
juga bergelar Teuku.
Seorang Teungku dapat pula berubah menjadi Teuku, apabila
ia dialihkan dari jabatan keagamaan ke jabatan pemerintahan atau sebaliknya.
Ada juga yang memakai 2 gelar sekaligus, misalnya Teungku Chik atau Teuku
Pakeh. Chik dan Pakeh berarti Teuku. Istilah Ampon diberikan kepada mereka yang
peranan atau jabatannya lebih menonjol dari Teuku-Teuku lainnya, gelar ini juga
diturunkan. Banyak kekeliruan serta kesalah pahaman rakyat Indonesia dalam
melafalkan atau menulis nama-nama tokoh Aceh, contohnya kesalahan dalam
membedakan siapa yang Teuku dan Teungku, contoh:
Teuku Umar, bukan Teungku Umar
Teungku Chik Di Tiro, bukan Teuku Chik Di Tiro
3. Cut
Cut adalah salah satu gelar kebangsawanan di Aceh yang diperuntukkan untuk kaum
perempuan. Gelar ini diturunkan sampai ke anak cucunya jika perempuan bangsawan
tersebut menikah dengan laki-laki dari kalangan bangsawan juga, yang lazim
disebut dengan “Teuku”.
4. Haria Peukan
Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan
pengutip retribusi dalam masyarakat adat Aceh.
5. Imum Mukim
Imum Mukim adalah orang yang dipercayakan untuk mengurusi masalah keagamaan
pada tingkat pemerintahan mukim (pemerintahan mukim terdiri dari beberapa
gampoeng), yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di
sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
6. Laksamana
Laksamana adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa
Melayu, yaitu panglima tertinggi di laut. Seperti halnya digunakan pada masa
Sultan Iskandar Muda (1593-1636), di Kesultanan Samudera Pasai (Aceh) yang
memiliki seorang panglima angkatan laut perempuan bernama Laksamana Malahayati.
Hang Tuah, yang diduga berasal dari Kepulauan Riau, dihikayatkan dalam Sastra
Melayu menjadi seorang laksamana di Kerajaan Malaka pada abad ke-14.
7. Panglima Laôt
Panglima Laôt (atau Panglima Laut) merupakan suatu struktur adat di kalangan
masyarakat nelayan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang bertugas memimpin
persekutuan adat pengelola Hukôm Adat Laôt. Hukôm Adat Laôt dikembangkan
berbasis syariah Islam dan mengatur tata cara penangkapan ikan di laut
(meupayang), menetapkan waktu penangkapan ikan di laut, melaksanakan
ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat kenelayanan,
menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung antara
nelayan dengan penguasa (dulu uleebalang, sekarang pemerintah daerah).
8. Panglima Uteun
Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktekkan secara turun
temurun dalam masyarakat Aceh. Hal ini diselenggarakan melalui lembaga adat
uteun yang dipimpin oleh Panglima Uteun. Panglima Uteun merupakan unsur
pemerintahan mukim yang bertanggungjawab kepada Imum Mukim. Khazanah adat
budaya ini masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Aceh sebagai sebuah
kearifan lokal yang masih ada terutama pada kemukiman yang wilayahnya
berdekatan dengan kawasan hutan.
Dalam literatur lama diterangkan bahwa beberapa fungsi utama yang harus
dilakukan oleh Panglima Uteun adalah:
Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang
memiliki otoritas menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan bagaimana
etika memasuki dan mengelola hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atau Pawang
Glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam mengelola
dan memanfaatkan hutan. Nasehat tersebut berisikan tatanan normatif apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan
adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga
jangan sampai orang tersesat, atau mendapat gangguan dari jin dan
binatang-binatang buas lainnya.
Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan
dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan
kayu-kayu besar lainnya dalam rimba yang dianggap sebagai tempat bersarang
lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan
orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil madu yang bersarang di
pohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau,
dan kayu-kayu besar lain yang bisa dijadikan perahu atau tongkang, kecuali atas
seizin dari kejruen atau raja.
Tanda larangan lain yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba yang
sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut
dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah
ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu
berarti sebagai suatu tanda bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya.
Panglima uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat
glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.
Ketiga, panglima berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Wasee glee adalah
segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gajah, getah
rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri
atu untuk dijual, damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 %
untuk raja.
Keempat, panglima berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan setiap
perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan,
panglima uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar semua
keterangan dari para pawang glee, kemudian setelah itu kejruen glee memberi
hukum atau keputusan.
Berdasarkan fungsi di atas dapat dipahami bahwa fungsi panglima uteun dalam
masyarakat Aceh sangat strategis dalam hal pengelolaan lingkungan khususnya
dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya. Selanjutnya, dalam mengelola hutan
adat untuk dijadikan ladang atau kebun (meuglee), sistem pengelolaannya
berkaitan erat dengan adat seuneubok. Seuneubok adalah suatu wilayah baru di
luar gampong (desa), yang pada mulanya berupa hutan adat yang dikemudian
dijadikan kebun (ladang).
Pembukaan seuneubok harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubok dan lingkungan hidup itu
sendiri, terutama bagi perlindungan sumber kawasan air. Artinya dalam pembukaan
seuneubok yang akan dijadikan kebun terdapat aturan-aturan yang telah dipahami
dan dipraktekkan oleh masyarakat seperti larangan penebangan pohon dalam radius
atau jarak tertentu.
Dalam rangka perlindungan sumber kawasan air dan sekaligus pengelolaan
lingkungan hutan, terdapat beberapa larangan adat yang harus dipatuhi oleh
setiap orang, yaitu:
Pertama, dalam jarak 1200 depa (kira-kira 600 meter) dari sumber mata air,
danau, waduk, alue, dan lain-lain tidak boleh atau dilarang melakukan aktivitas
penebangan pohon. Bahkan untuk kepentingan raja sekalipun tetap tidak boleh.
Tetapi menanam pohon sangatlah dianjurkan.
Kedua, jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai besar tidak boleh ditebang pohon,
tidak boleh dimiliki, karena adalah milik adat yang manfaatnya juga untuk
kepentingan bersama. Itu adalah untuk penyangga bencana dari datangnya banjir
dan tanah longsor.
Ketiga, 60 depa dari kiri-kanan anak sungai (alue) tidak boleh ditebang pohon,
namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai milik bersama. Larangan ini
dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem kawasan sungai agar
tidak terjadi banjir besar, karena air hujan yang deras diserap ke dalamnya dan
terdapat dedaun yang menahan laju derasnya hujan hingga sampai kebawahpun air
akan tertahan oleh tumpukan daun-daun yang mengendap jatuh hingga ke permukaan
tanah.
Keempat tidak boleh ditebang pohon di puncak gunung dan daerah lereng yang
terjal. Juga tidak boleh ditebang pohon dipinggiran jurang yang jaraknya
kira-kira dua kali kedalaman jurang. Larangan ini dimaksudkan agar tidak terjadinya
longsor yang dapat merusak lingkungan, dan dapat pula menimbulkan kerugian bagi
manusia itu sendiri.
Selanjutnya dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat uteun dan
adat seuneubok perlu juga dipertimbangkan posisi letak lahan berdasarkan
kemiringan utara-selatannya sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam
pemilihan lokasi atau lahan untuk kebun juga bagi peruntukkan lahan untuk
kepentingan lainnya perlu mempertimbangkan kearifan lokal yang dalam hadih maja
dinyatakan dengan “Tanoh siheet ue timue pusaka jeurat, siheet ue barat pusaka
papa, siheet ue tunong geulantan, dan siheet ue seulatan pusaka kaya. Yang
mengandung arti “Tanah yang miring atau menghadap ke timur adalah pusaka untuk
kuburan, miring ke barat pusaka untuk orang papa, miring ke utara tanah yang
menang, dan miring ke selatan pusaka kaya. Berarti, menurut kerangka pikir
orang Aceh tempo dulu lahan yang baik adalah lahan yang menghadap atau
miringnya ke utara atau ke selatan.
Tunong adalah utara. Geulantan berarti kemenangan atau kejayaan. Sehingga,
orang yang memiliki lahan dengan arah ke utara diasumsikan para penghuninya
akan mendapat “keberkatan”. Orang yang diberi berkat adalah orang yang medapat
kemenangan dan kebahagiaan. Sedangkan pemilik lahan dengan arah ke selatan
adalah “pusaka kaya“, yang berarti, bakal menjadi kaya.
Selain tata cara memilih arah lahan, terutamanya untuk lokasi kebun, menurut
adat uteun dan adat seuneubok dikenal pula beberapa pantangan yang meliputi:
Pertama, Pantangan Jambo. Artinya, jambo atau pondok (gubuk) untuk berteduh
atau bermalam ataupun untuk dijadikan rumah, tidak boleh didirikan di tempat
lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak
boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang
ular masuk ke pondok tersebut.
Kedua, Pantangan Darut (hama belalang). Dalam hal ini, para anggota seuneubok
(para peladang) pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada
tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah) dalam hujan. Semua pantangan ini
tidak boleh dilanggar, karena kalau dilanggar, dipercaya akan mendatangkan
wabah belalang, dimana jutaan belalang akan menyerbu kebun tersebut.
Ketiga, pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak sambil
memanggil-manggil di ladang karena jika melanggar adat ini dipercaya akan dapat
mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet dan landak. Inti dari larang ini
adalah larangan ria dan bersenda gurau secara berlebihan.
9. Peutua Seuneubok
Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan,
perladangan, perkebunan pada wilayah gunung, lembah-lembah dan menyelesaikan
sengketa perebutan lahan dalam masyarakat adat Aceh.
10. Qadli
Qadli (kadli) adalah orang yang dipercayakan untuk memimpin pengadilan agama
atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan
juga pada tingkat Nanggroe (negeri) yang disebut Kadli Uleebalang.
11. Syahbandar
Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan
kapal/perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau dalam masyarakat adat
Aceh.
12. Syarifah
Syarifah merupakan salah satu gelar kehormatan yang diberikan kepada
orang-orang yang merupakan bagian dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu
beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak
perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi
Thalib.
Untuk keturunan wanita mendapatkan gelar berupa Syarifah atau ada juga yang
menyebutnya Sayyidah, Alawiyah atau Sharifah. Gelar Syarifah juga banyak kita
temui di Aceh dan hampir di setiap kabupaten kota di Aceh.
13. Teungku
Teungku di Aceh, menurut Snouck Hurgrunje (1985), dipergunakan untuk beberapa
orang:
Pertama, sebutan untuk para leube atau leubei (lebai atau santri). Sebutan
untuk kategori ini, juga termasuk untuk golongan yang bukan ulama, namun ia
tekun melakukan ibadah maupun seorang haji yang telah menunaikan ibadah haji di
tanah suci Mekkah.
Kedua, panggilan untuk orang malem. Malem berasal dari bahasa Arab, asal kata
mualim, yang artinya guru. Orang yang disebut malem, memiliki pengetahuan
mengenai kitab-kitab keagamaan, kalau di gampong-gampong umumnya kitab kuning.
Teungku juga diperuntukkan bagi seorang alem (asal kata alim, bahasa Arab,
berarti orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agamanya.
Ketiga, panggilan teungku juga diperuntukkan untuk prhttp://www.blogger.com/img/blank.gifia dan wanita yang memberi pengajaran
dasar mengaji Al-Qur’an, baik di meunasah maupun di dayah. Biasanya, pengajaran
dasar mengaji Al-Qur’an di gampong-gampong dilaksanakan sejak habis dzuhur
sampai ashar, dan habis ashar sampai magrib.
Keempat, teungku juga dimaksudkan sebagai panggilan untuk kadhi (kali) yang
bertindak sebagai hakim agama dalam wilayah uleebalang. Sebutan terakhir ini
sudah jarang ditemui, kecuali beberapa orang yang sudah cukup tua, yang memang
pernah menjadi hakim agama masa dahulu.
14. Teungku Meunasah
Teungku Meunasah adalah orang yang dipercayakan untuk memimpin masalah-masalah
yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
No comments:
Write komentar