Thursday, March 3, 2016

"Beer" Kisah Tawanan Jawa di Aceh


Para pekerja paksa (Beer) dari Jawa yang bekerja untuk Belanda di Aceh, kadang bersikap licik dan culas untuk sedikit mengurangi beban kerjanya. Tapi kemudian mereka diadu domba dengan mengangkat seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri untuk mengawasi dan menghukum mereka-mereka yang licik.


 Hal ini kerap terjadi pada pekerja paksa rombongan transport yang membawa perbekalan dan barang kebutuhan (logistik) marsose ke suatu wilayah. Seperti yang terjadi pada rombongan transpor pimpinan Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil, tuan si cabe rawit.


Jenae merupakan seorang letnan yang masih muda. Pada tahun 1905, dengan kekuatan dua pasukan infantri bersenjata 40 karaben dengan bayonet, mengawasi 400 orang pekerja paksa dari Kuala Simpang ke Penampaan, Blang Kejeren. Barisan pekerja paksa yang mengagkut barang-barang tersebut panjangnya melebihi satu kilometer dan diawasi oleh 40 tentara. Jeane berpendapat sepuluh pekerja paksa diawasi oleh seorang tentara bersenjata.


  Barisan angkatan dan tangsi Belanda di Pengapet (1874)


Para pekerja paksa itu mengangkut jenever (minuman keras-red) untuk para marsose di medan perang, berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Barang bawaan itu tentu sangat memberatkan para pekerja paksa. Dengan mendaki gunung dan menuruni lembah, mereka memikul beban berat itu. Di punggung mereka barang-barang tersebut diikatkan.

Namun para pekerja paksa yang licik dengan segala cara membuat agar muatan barang yang dibawanya itu berkurang sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya menjadi bocor dengan cara menumbukkan benda keras dan tajam ke kaleng minyak itu, sehingga sedikit demi sedikit minyak itu tumpah.Begitu juga dengan minuman keras. Poci-poci jenever dibuat berkuarang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer karena besar dan berat, sering dihanyutkan saat menyeberangi sungai. Sehingga ketika sampai ke tujuan barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja.


Tak mau hal itu terus teulang, Letnan Jenae kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa penangkut logistik tersebut. Pekerja paksa yang dianggap paling brandal dan ditakuti diangkatnya sebagai mandor untuk mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada para mandor itu diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tidak berkurang satu pun.Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400 pekerja paksa itu kemudian tiba di Brawang Tingkeum, suatu daerah yang diankap angker waktu itu. Di sana mereka harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dari seberang sungai, mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh. Para pekerja paksa yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut. Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.


Sementara para pekerja paksa yang membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Dari rumput alang-alang 20 orang Gayo keluar menyerang dan merampas barang bawaan para pekerja paksa itu. “Barulah letnan Jenae sadar akan kekliruannya. Semua anggota pasukan di depan berjalan terus, sedang yang jauh dibelakang sama sekali tidak mendapat perlindungan, yaitu barisan yang terdiri dari 400 orang beer tadi. Jenae sudah dapat membayangkan betapa marah dan kecewanya pasukan yang di Penampaan kelak, setibanya dia disana tidak membawa jenever, minyak kelapa dan minyak tanah tersebut,” tulis H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh” tentang peristiwa itu. Menulis tentang para beer, Zentgraaff sangat terkesan dengan Kimun, seorang Madura beka spekerja paksa di Aceh. Hal itu seperti diceritakan Asisten Residen Einthoven kepada Veltman ketika berada di Bogor. Kala itu Kimun yang mengaku bekas pekerja paksa di Aceh menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Gouverneur General (Gubernur Jendral-red) Van Heutsz.


Kimun mengaku dibawa ke Aceh pada tahun 1896 sebagai pekerja paksa dengan hukuman 20 tahun. Hukuman itu dipatkannya karena ia membunuh seorang Jawa yang menghina bapaknya. Setelah disidang dan divonis penjara 20 tahun, ia pun dibawa ke Aceh sebagai pekerja paksa untuk menjalani hukumannya itu.Kimun berasa di Aceh pada masa Teuku Umar, melakukan taktik menipu Belanda dengan menyerah pura-pura. Setelah Teuku Umar menyebrang dan memimpin kembali perlawnaan rakyat Aceh terehadap Belanda, Kimun menawarkan dirinya untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh untuk mengantar surat kepada pasukan Belanda di daerah lain.Tindakan itu diambil Kimun agar Belanda mengurangi masa hukumannya di Aceh dan dia berharap bisa segera dipulangkan ke Jawa. Namun Kimun yang menjadi kurir pengantar surat tersebut ditangkap oleh gerilyawan Teuku Umar. Ia mengalami luka parah, badannya yang penuh sabetan pedang dibuang ke sungai.


Dalam keadaan yang hampir tak bernyawa lagi itu, tubuh Kimun ditemukan Belanda terapung di pinggir sungai di daerah Lambaro, Aceh Besar. Belanda kemudian merawat dan mengobatinya. Meski ia gagal mengantar surat, namun ia kemudian dibebaskan dari hukuman. Ia diperbolehkan untuk kembali ke Jawa.Tapi Kimun menolaknya, karena merasa dendam terhadap orang Aceh yang menyiksanya dengan sabetan pedang dan membuang tubuhnya yang hampir mati ke sungai. Ia tetap tinggal di Aceh dan bekerja sebagai “jongos” pada Grasfland, seorang opsir Belanda.

 Ketika Grasfland meninggal, Kimun pindah ke rumah opsir lainnya dan tetap bekerja sebagai “jongos” di Lhokseumawe. Pada suatu hari, ia membeli sebotol limun di Keude Cina, ketika ia hendak minum, seorang polisi datang hendak menangkapnya, karena mengira ia pekerja paksa yang lari dari tugas. Kimun kemudian memukul kepala polisi itu dengan botol limun tersebut. Atas perbuatannya itu Kimun kemudian dihukum sepuluh tahun. Ia kemudian dikirim ke Jambi sebagai pekerja paksa. Dari Jambi kemudian dia dibawa ke Menado. Dari sana ia kemudian dibawa ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa hukumannya.Di Surabaya ia mendengar bahwa Gubernur Jenderal Belanda, Van Heutz berada di Bogor. Ia pun balik arah menuju Bogor dengan berjalan kaki untuk bertemu dengan van Heutzs. Ia mengenal overste kawakan Belanda itu ketika berada di Aceh dan masih berpangkat kolonel.


Ia menempuh perjalanan sejauh 800 kilometer tanpa uang se sen pun. Ketika sampai di Bogor, ia mencari Asisten Residen menyatakan keinginannya untuk bertemu Van Heutzs. Ia pun diminta untuk menghadap Velman, opsir Belanda yang pernah bertugas di Aceh yang dikalangan Belanda sendiri dikenal dengan sebutan Tuan Pedoman.Veltman pun menerimanya. Ia dipekerjakan sebagai jongos masak memasak dan kembali di bawa ke Aceh, karena bagi Veltman, Kimun merupakan beer kawakan yang mempunyai sifat aneh. Sulit baginya untuk membayangkan setiap bertemu orang-orang yang mipir orang Aceh di Jawa, Kimun akan menyerangnya dengan senjata tajam. Dalam benaknya seolah-olah ia masih berada di Aceh. Ia masih trauma dan tidak bisa melupakan apa yang telah dialaminya di Aceh.


Veltman pun membawanya kembali ke Aceh, yakni ke Tapak Tuan. Suatu ketika tatkala Veltman menerima tamu beberapa orang kepala Aceh untuk membicarakan suatu pembicaraan bertempat di hotel Kugemlan di Kutaraja, si Kimun pergi berdiri di belakang orang-orang Aceh itu sambil memegang sepotong besi sambil melihat dengan pandangan bertanya kepada tuannya, seolah-olah bertanya, ”Yang mana yang dipercaya,” ia seolah-olah ingin membunuh orang Aceh itu satu persatu. “orang-orang itu pencuri pencuri ulung, dan ini lebih jelek dari pada pembunuhan,” kata Kimun kepada Veltman.Dalam bekerja sebagai jongos di rumah-rimah opsir belanda, Kimun tidak mau menerima gaji tetap, dan karena itulah uangnya disimpankan oleh Veltman, dengan memotong barang seringgit yang sekali-kali diambil oleh orang itu. Kalau dia memiliki uang kontan, maka uang itu dibaginya kepada teman-teman lamanya sesama beer pada masa lampau.


Karena pembawaannya yang agresif itu, Kimun tidak lama berada di Tapak Tuan, karena Veltman tak ingin Kimun mengalami gangguan mental akibat traumanya dengan orang-orang Aceh. Ia kemudian diambil oleh Hein Meijer, seorang Belanda, kadet perang di Aceh. Namun disana pun ia membuat masalah sehingga Meijer menghukumnya.Kimun jadi mati kutu dan tanpa pikir panjang dari Tapak Tuan kemudian ia mertas pegunungan menuju Sigli. Tak jelas bagaimana nasibnya kemudian dalam perjalanan tersebut.[iskandar norman]

Sumber:

No comments:
Write komentar