Para pekerja paksa (Beer) dari Jawa yang
bekerja untuk Belanda di Aceh, kadang bersikap licik dan culas untuk sedikit
mengurangi beban kerjanya. Tapi kemudian mereka diadu domba dengan mengangkat
seorang mandor dari kalangan beer itu sendiri untuk mengawasi dan menghukum
mereka-mereka yang licik.
Hal ini kerap terjadi pada pekerja paksa
rombongan transport yang membawa perbekalan dan barang kebutuhan (logistik)
marsose ke suatu wilayah. Seperti yang terjadi pada rombongan transpor pimpinan
Letnan Jenae yang dikenal sebagai komandan kecil, tuan si cabe rawit.
Jenae merupakan seorang letnan yang
masih muda. Pada tahun 1905, dengan kekuatan dua pasukan infantri bersenjata 40
karaben dengan bayonet, mengawasi 400 orang pekerja paksa dari Kuala Simpang ke
Penampaan, Blang Kejeren. Barisan pekerja paksa yang mengagkut barang-barang
tersebut panjangnya melebihi satu kilometer dan diawasi oleh 40 tentara. Jeane
berpendapat sepuluh pekerja paksa diawasi oleh seorang tentara bersenjata.
Barisan angkatan dan tangsi Belanda di Pengapet (1874)
Para pekerja paksa itu mengangkut
jenever (minuman keras-red) untuk para marsose di medan perang,
berkaleng-kaleng minyak tanah untuk pasukan di bivak-bivak. Barang bawaan itu
tentu sangat memberatkan para pekerja paksa. Dengan mendaki gunung dan menuruni
lembah, mereka memikul beban berat itu. Di punggung mereka barang-barang
tersebut diikatkan.
Namun para pekerja paksa yang licik
dengan segala cara membuat agar muatan barang yang dibawanya itu berkurang
sedikit demi sedikit. Kaleng-kaleng minyak dibuatnya menjadi bocor dengan cara
menumbukkan benda keras dan tajam ke kaleng minyak itu, sehingga sedikit demi
sedikit minyak itu tumpah.Begitu juga dengan minuman keras. Poci-poci jenever
dibuat berkuarang isinya sedikit demi sedikit. Sementara tenda-tenda perkemahan
yang mereka angkut, yang merupakan barang bawaan yang paling dibenci para beer
karena besar dan berat, sering dihanyutkan saat menyeberangi sungai. Sehingga
ketika sampai ke tujuan barang bawaan mereka tinggal setengahnya saja.
Tak mau hal itu terus teulang, Letnan
Jenae kemudian membuat peraturan baru bagi para pekerja paksa penangkut
logistik tersebut. Pekerja paksa yang dianggap paling brandal dan ditakuti
diangkatnya sebagai mandor untuk mengawasi para pekerja paksa lainnya. Kepada
para mandor itu diberi tanggungjawab menjaga agar barang bawaan tidak berkurang
satu pun.Setelah berjalan beberapa hari, pasukan Jenae yang mengawasi 400
pekerja paksa itu kemudian tiba di Brawang Tingkeum, suatu daerah yang diankap
angker waktu itu. Di sana mereka harus menyebrangi sungai Wih Ni Oreng. Dari
seberang sungai, mereka ditembaki oleh para pejuang Aceh. Para pekerja paksa
yang terjebak dalam sungai saling berpegangan tangan agar tidak hanyut.
Sementara 40 tentara Belanda pimpinan Letnan Jenae yang mengawasi pekerja paksa
tersebut membalas tembakan para pejuang Aceh yang berada di tebing sungai.
Sementara para pekerja paksa yang
membawa barang yang berada paling belakang tidak mendapat pengamanan. Dari
rumput alang-alang 20 orang Gayo keluar menyerang dan merampas barang bawaan
para pekerja paksa itu. “Barulah letnan Jenae sadar akan kekliruannya. Semua
anggota pasukan di depan berjalan terus, sedang yang jauh dibelakang sama
sekali tidak mendapat perlindungan, yaitu barisan yang terdiri dari 400 orang
beer tadi. Jenae sudah dapat membayangkan betapa marah dan kecewanya pasukan
yang di Penampaan kelak, setibanya dia disana tidak membawa jenever, minyak kelapa
dan minyak tanah tersebut,” tulis H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh” tentang
peristiwa itu. Menulis tentang para beer, Zentgraaff sangat terkesan dengan
Kimun, seorang Madura beka spekerja paksa di Aceh. Hal itu seperti diceritakan
Asisten Residen Einthoven kepada Veltman ketika berada di Bogor. Kala itu Kimun
yang mengaku bekas pekerja paksa di Aceh menyatakan keinginannya untuk bertemu
dengan Gouverneur General (Gubernur Jendral-red) Van Heutsz.
Kimun mengaku dibawa ke Aceh pada tahun
1896 sebagai pekerja paksa dengan hukuman 20 tahun. Hukuman itu dipatkannya
karena ia membunuh seorang Jawa yang menghina bapaknya. Setelah disidang dan
divonis penjara 20 tahun, ia pun dibawa ke Aceh sebagai pekerja paksa untuk
menjalani hukumannya itu.Kimun berasa di Aceh pada masa Teuku Umar, melakukan
taktik menipu Belanda dengan menyerah pura-pura. Setelah Teuku Umar menyebrang
dan memimpin kembali perlawnaan rakyat Aceh terehadap Belanda, Kimun menawarkan
dirinya untuk menembus daerah kepungan pasukan Aceh untuk mengantar surat
kepada pasukan Belanda di daerah lain.Tindakan itu diambil Kimun agar Belanda
mengurangi masa hukumannya di Aceh dan dia berharap bisa segera dipulangkan ke
Jawa. Namun Kimun yang menjadi kurir pengantar surat tersebut ditangkap oleh
gerilyawan Teuku Umar. Ia mengalami luka parah, badannya yang penuh sabetan
pedang dibuang ke sungai.
Dalam keadaan yang hampir tak bernyawa
lagi itu, tubuh Kimun ditemukan Belanda terapung di pinggir sungai di daerah
Lambaro, Aceh Besar. Belanda kemudian merawat dan mengobatinya. Meski ia gagal
mengantar surat, namun ia kemudian dibebaskan dari hukuman. Ia diperbolehkan
untuk kembali ke Jawa.Tapi Kimun menolaknya, karena merasa dendam terhadap
orang Aceh yang menyiksanya dengan sabetan pedang dan membuang tubuhnya yang
hampir mati ke sungai. Ia tetap tinggal di Aceh dan bekerja sebagai “jongos”
pada Grasfland, seorang opsir Belanda.
Ketika Grasfland meninggal, Kimun pindah
ke rumah opsir lainnya dan tetap bekerja sebagai “jongos” di Lhokseumawe. Pada
suatu hari, ia membeli sebotol limun di Keude Cina, ketika ia hendak minum,
seorang polisi datang hendak menangkapnya, karena mengira ia pekerja paksa yang
lari dari tugas. Kimun kemudian memukul kepala polisi itu dengan botol limun
tersebut. Atas perbuatannya itu Kimun kemudian dihukum sepuluh tahun. Ia
kemudian dikirim ke Jambi sebagai pekerja paksa. Dari Jambi kemudian dia dibawa
ke Menado. Dari sana ia kemudian dibawa ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa
hukumannya.Di Surabaya ia mendengar bahwa Gubernur Jenderal Belanda, Van Heutz
berada di Bogor. Ia pun balik arah menuju Bogor dengan berjalan kaki untuk
bertemu dengan van Heutzs. Ia mengenal overste kawakan Belanda itu ketika
berada di Aceh dan masih berpangkat kolonel.
Ia menempuh perjalanan sejauh 800
kilometer tanpa uang se sen pun. Ketika sampai di Bogor, ia mencari Asisten
Residen menyatakan keinginannya untuk bertemu Van Heutzs. Ia pun diminta untuk
menghadap Velman, opsir Belanda yang pernah bertugas di Aceh yang dikalangan
Belanda sendiri dikenal dengan sebutan Tuan Pedoman.Veltman pun menerimanya. Ia
dipekerjakan sebagai jongos masak memasak dan kembali di bawa ke Aceh, karena
bagi Veltman, Kimun merupakan beer kawakan yang mempunyai sifat aneh. Sulit
baginya untuk membayangkan setiap bertemu orang-orang yang mipir orang Aceh di
Jawa, Kimun akan menyerangnya dengan senjata tajam. Dalam benaknya seolah-olah
ia masih berada di Aceh. Ia masih trauma dan tidak bisa melupakan apa yang
telah dialaminya di Aceh.
Veltman pun membawanya kembali ke Aceh,
yakni ke Tapak Tuan. Suatu ketika tatkala Veltman menerima tamu beberapa orang
kepala Aceh untuk membicarakan suatu pembicaraan bertempat di hotel Kugemlan di
Kutaraja, si Kimun pergi berdiri di belakang orang-orang Aceh itu sambil
memegang sepotong besi sambil melihat dengan pandangan bertanya kepada tuannya,
seolah-olah bertanya, ”Yang mana yang dipercaya,” ia seolah-olah ingin membunuh
orang Aceh itu satu persatu. “orang-orang itu pencuri pencuri ulung, dan ini
lebih jelek dari pada pembunuhan,” kata Kimun kepada Veltman.Dalam bekerja
sebagai jongos di rumah-rimah opsir belanda, Kimun tidak mau menerima gaji
tetap, dan karena itulah uangnya disimpankan oleh Veltman, dengan memotong
barang seringgit yang sekali-kali diambil oleh orang itu. Kalau dia memiliki
uang kontan, maka uang itu dibaginya kepada teman-teman lamanya sesama beer
pada masa lampau.
Karena pembawaannya yang agresif itu, Kimun tidak lama
berada di Tapak Tuan, karena Veltman tak ingin Kimun mengalami gangguan mental
akibat traumanya dengan orang-orang Aceh. Ia kemudian diambil oleh Hein Meijer,
seorang Belanda, kadet perang di Aceh. Namun disana pun ia membuat masalah
sehingga Meijer menghukumnya.Kimun jadi mati kutu dan tanpa pikir panjang dari
Tapak Tuan kemudian ia mertas pegunungan menuju Sigli. Tak jelas bagaimana
nasibnya kemudian dalam perjalanan tersebut.[iskandar norman]
Sumber:
No comments:
Write komentar