Wednesday, April 8, 2015

Menguak Fakta Konflik Etnis Aceh Dengan Etnis Jawa

Suku Aceh

Suku bangsa Aceh adalah yang dominan mendiami propinsi Aceh. Terdiri dari 17 kabupaten dan 4 kotamadya (1999). Wilayah asli yang dominan diduduki oleh suku bangsa Aceh adalah Kotamadya Banda Aceh, Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, sebagaian kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagaian kabupaten Aceh Timur. Suku bangsa Aceh memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Aceh yang terdiri dari bebrapa Dialek, dianataranya dialek peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase. Tunong, Matang, Seunagan dan Meulaboh. Dari keseluruhan pada umumnya masyarakat Aceh dapat memahami kata-kata dari kalimat yang diucapkan dari perbedaan dialek tersebut.




 Rekaman foto bukti kekejaman tentara etnis Jawa

Disamping itu pula, Aceh terdapat beberapa suku bangsa yang berdomisi dan tersebar dibeberapa wilayah. Suku tersebut adalah suku Aneuk Jame’e, suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet,suku singkil, suku Taming, dan Suku Simeulue. Yang memiliki corak bahasa yang berbeda satu sama lain.


Sejarah Singkat Awal Mula konflik Aceh-Jawa

Etnisitis merupakan salah satu unsur yang menjadi objek utama kajian ilmu-ilmu sosial. Dalam sejarah relasai antar etnik di berbagai belahan bumi, selalu diwarnai oleh konflik etnik itu sendiri. Konflik anatar etnik selalu saja mencari akarnya pada persoalan sosial ekonomi dan budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang dliakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang terjadi di Aceh merupakan persoalan ketidakadilan sosial ekonomi dalam proses pemabangunan serta serangkaian tuntutan janji atas hak-hak istimewa yang tidak teralisasi.

Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang paling logis dibalik catatan perjalanan konflik di Aceh,  Namun disamping hal itu pula, terdapat salah satu bagaian terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta pergolakan yang terjadi dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa Aceh terhadap suatu etnik tertentu, yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang dikaitkan sebagai faktor pemicu munculnya konflik Aceh, dan orang cenderung mengabaikan fakta ini. akan tetapi sejarah telah membuktikannya.



Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku Jawa  pertama kali terjadi pada masa kerajaan Aceh dulu. 2ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh kerjaan Majapahit yang notabene merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar tahun 750-796 H yang dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul Abidin Malik Al Zhahir memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh rakyat Aceh terhadap kerjaan Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode tahun-tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang dan mulai membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama dan perdagangan.



Ketika Belanda melakukan penjajahan di Nusantara, kurang lebih 350 tahun lamanya, Aceh juga berjuang melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda. Bahkan Aceh memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kemudian Hari. Aceh pula lah yang banyak membantu Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari datangnya kembali gangguan Belanda yang ingin menjajah Indonesia. Pada Tahun 1945 setelah Proklamasi Kemeerdekaan Indoensia dikumandangkan Soekarno dan Hatta di Jakarta, tak lama setelah itu pada 15 Oktober 1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh menyatakan diri dengan patuh berdiri dibawah payaung NKRI. Meskipun sebenarnya Aceh dapat berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, tetapi, karena rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh semangat Nasionalisme yang tinggi $maka Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari Indonesia.  Kemudian pemerintah Darurat Indonesia langsung mengeluarkan ketetapan mengenai posisi Aceh didalam Republik. Ketetapan itu diberlakukan pad 17 Desember No. 8 / Des/ W.K.P.H yang menetapkan Aceh sebagai sebuah propinsi.



Awal Kembali Munculnya Kebencian Orang Aceh Terhadap Jawa

Namun pada 8 Agustus 1950 Dewan menteri Republik indonesia Serikat (RIS) menetapakan Kalau wilayah RIS dibagi kedalam 10 propinsi dan Aceh tidak lagi termasuk ke dalam salah satu propinsi. Keputusan itu menggugurkan janji Sjarifuddin Prawiranegara tentang pembentukan Propinsi Aceh. Keputusan pembubaran propinsi Aceh kemudian di umumkan oleh Perdana Menteri M Natsir yang disiarkan oleh RRI di Koetaradja, Aceh pada 23 Januari 1951. Keputusan tersebut telah melukai perasaan seluruh masyarak Aceh dan menumbuhkan dendam serta frustasi para pimpinan Ulama yang tergabung didalam PUSA. Setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh jawa (demikian orang Aceh menyatakan identitas pemerintah Indonesia) tersebut, maka terbesitlah dibenak Daud Beuereueh untuk melakukan perlawanan dengan membentuk sebuah gerakan yang bernama DI/TI (sebelumnya NII).
Namun pada bulan April 1957, tunutuan masyarakat Aceh tentang hak menerapkan syariat Islam serta daerah otonomi khusus ditidaklanjuti oleh pemerintah Soekarno. Kemudian ditanda tangani perjanjian atau ikrar Lam Teh. Sehingga mengakhiri pemberontakan Muhammad Daud Beureueh.


Pada tanggal 30 September tahun 1965, tak lama setelah Aceh kembali bergabung kedalam NKRI dengan pemeberian status Daerah Istimewa,  terjadi kudeta politik yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Soekarno dengan tuduhan ia terlibat dalam PKI  dan memanfaatkan momentum krisis ekonomi dan politik. Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia membuat kebijakan yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak pernah ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa.

Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh orang Aceh akibat pengkhianatan dan kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta (Jawa-red) membuat orang Aceh menyimpan dendam teramat dalam terhadap orang-orang jawa. Puncaknya adalah, lahirnya kembali sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama ASLNF (Aceh Sumatera Liberation Front) atau yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yanh diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976. sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang oleh orang Aceh menyebutnya pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk atas inisiatif Hasan Tiro yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik Di Tiro.  Secara diam-diam ia mencoba kembali membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari etnis jawa. Doktrin perlawanan yang disuarakan adalah tentang ketidakadilan, pengkhianatan, kekecewaan yang diselimuti dengan kebangkitan Nasionalisme orang Aceh.

Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek politik, Agama dan ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang sehingga membuat orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat Islam di Aceh yang urung terealisasi. namun disamping itu pula, perjuangan ini didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa. Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan.4GAM membangun rasa benci dengan memanfaatkan sentimen entis tersebut. 5Orang jawa merupakan musuh Historis bagi rakyat Aceh. Dalam hal ini, Hasan Tiro membangkitkan kembali sejarah penajajahan Majapahit terhadap Kerajaan Samudera Pasai sehingga permusuhan dengan pihak jawa merupakan garis merah atas apa yang terjadi pada masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan waktu, intensitas perang semakin meningkat.


Namun disisi lain, pemerintah penguasa Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta penyebaran Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau jawa membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan dari mereka memilih keluar dari Aceh.

Ketika itu orang Aceh sanagat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh, jawa adalah bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah oknum pemerintah Indonesia, yang dominan di tempati oleh orang-orang yang ber etnis Jawa, namun para transmigran pula tak luput dari teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang  Aceh beranggapan, semua orang jawa adalah penipu, sehingga orang-orang Aceh terutama GAM, telah mempersepsikan atau memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.

Sentimen etnis di era perdamaian
Setelah melakukan perlawanan selama kurang lebih 30 tahun lamanya yang mengorbankan ribuan nyawa baik dikedua belah pihak dan terutama sekali rakyat sipil akhirnya pihak-pihka berkonflik yakni GAM dan RI bersepakat melakukan genjatan senjata dan menempuh jalur damai untuk menyelesaikan konflik. Untuk menghindari jatuhnya kembali korban dari rakyat sipil. Terlebih ketika itu tanggal 26 Desember tahun 2004 Aceh dilanda musibah Gempa dan Tsunami sehingga pihak-pihak berkonflik didesak untuk mengakhiri perang.

Pada Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan nota kesepahaman bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai pun, sikap sentimen terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang Aceh. Bukti nyatanya adalah, masih terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu meskipun bukan dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap orang Jawa yang menjadi sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun drastis, namun tak menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati orang Aceh, akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih.



Analisis Konflik Aceh (pendekatan Sosiologi Konflik Lewis Coser)

Lewis Couser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural. Coser telah memberi konstribusi penting dalam tradisi sosiologi konflik, yaitu; pertama, pendapatnya mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan; kedua, memperlihatkan konsekuensi konflik dalam stabilitas dan perubahan sosial. Dalam hal ini, Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerja sama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial.

Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Sehingga ia menghubungkan antara konflik dan perubahan sosial serta unsur perilaku permusuhan (hostile Behavior) yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.  Dengan demikian dapat di jelaskan konflik di Aceh adalah lebih menekankan perjuangan kelas atas hak-hak yang telah dieksploitasi oleh pemerintah terhadap masyarakat Aceh, terutama dalam hal perebutan basis-basis material, dimana pemerintah melakukan eksploitasi  sumber daya alam yang ada di Aceh dengan system sentralistiknya.

 Dalam kajian sosiologi Coser, konflik di Aceh merupakan penggabungan antara konflik realistis dan non realistis. Artinya ada unsur perebutan sumber ekonomi yang berhubungan dengan konteks tipe realsitis serta etnisitas yang ditandai dengan mempertegas identitas kelompok, yang merupakan tipe konflik non realisitis. Coser memperlihatkan fugsi konflik terhadap kohesi kelompok. Melalui The Function of Social Conflict (1957), Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal mampu menciptkan dan memperkuat indentitas kelompok. contoh tersebut adalah bentuk kekecewaan masyarakat Aceh yang merasa identitas yang mereka miliki di jajah oleh orang lain, dalam hal ini tentu saja pemerintah Republik Indonesia. Maka dari itulah mereka pun bergejolak dan timbullah konflik yang berkepanjangan antara RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang banyak memakan korban tersebut.
            Seperti yang kita ketahui bersama, teori konflik mengatakan bahwa konflik itu perlu dan penting untuk mewujudkan perubahan social yang lebih baik, terkait konflik di Aceh dengan adanya perjanjian untuk berdamai yang berlangsung Agustus 2005 lalu, diharapkan perubahan yang lebih baik terjadi di Aceh. Paling tidak, pelanggaran HAM yang sering terjadi saat konflik melanda kini mulai berkurang, dan semoga kedepannya masyarakat Aceh dapat hidup dengan damai dan sejahtera tanpa adanya pertumpahan darah di bumi serambi Mekkah itu, seperti apa yang kita harapkan bersama.


Oleh: Muhammad Ramadhana
* mahasiswa Sosiologi UNIMAL

ACEH SEPANJANG ABAD

3 comments:
Write komentar