Saturday, April 1, 2017

Keturunan Sultan Aceh Jelaskan Posisi Kerajaan Barus

BANDA ACEH | Sekitar tahun 5.000 SM, masyarakat Barus masih banyak yang menyembah berhala. Mereka juga aktif menjual getah kapur barus kepada bangsa-bangsa Arab penyembah berhala. Bahan ini selain digunakan sebagai pengawet mayat juga digunakan sebagai bahan baku campuran wewangian istana para raja bangsa Arab.


Demikian disampaikan oleh keturunan Raja Aceh terakhir, Tuanku Warul Waliddin bin Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah kepada wartawan di Banda Aceh, Sabtu (1/4/2017).
Keturunan Raja Aceh Jelaskan Posisi Kerajaan Barus
Tuanku Warul Waliddin bin Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah [Ist]

Kemudian pada abad ke-14, katanya, Kerajaan Barus merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman, yang menjadi tempat keluar masuk perdagangan di Pulau Sumatera. Tahun 1524, Barus jatuh di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Posisi kesultanan ini kemudian menjadi vassal Aceh hingga tahun 1668. Selama pendudukan Aceh, banyak penduduk Barus yang sebelumnya penyembah berhala menjadi muslim.

"Jadi mereka muslim setelah menjadi vassal Kesultanan Aceh. Bukan sebelum di bawah Kesultanan Aceh. Jelas keliru apa yang berlaku dengan ditetapkannya Barus sebagai titik nol masuknya Islam ke nusantara. Semoga pelurusan sejarah penting ini memberikan pencerahan agar anak cucu kita di masa depan tidak salah menelan informasi sejarah masuknya Islam di nusantara yang digeser dari Samudera Pasai ke Barus,” katanya.

Sebagaimana catatan Ibnu Battutah, seorang petualang dari Maroko tahun 1346, yang dalam catatan perjalanannya, menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang muslim yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Mazhab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama Ia lihat di India.

Seandainya Barus sudah ada bukti autentik yang valid sebagai titik nol masuknya Islam ke Nusantara, akat Dia, maka dapat dipastikan Islam di Aceh dan nusantara dibawa oleh pendakwah dari Barus. 

Artinya Islam di Aceh masuk dari Barus bukan lagi dari Mekkah dan saudagar dari Hadramaut (Arab).

Sehingga persepsi orang Aceh zaman dahulu yang meyakini Islam dari ateuh (atas) Aceh (barat nusantara) disebar hingga ke bawah (Barus) akan berubah arah mata angin dan sejarahnya.

"Logikanya kalau demikian halnya Barus sebagai titik nol masuknya Islam ke nusantara tentunya semua orang batak di sekitar Barus tidak ada yang nasrani alias 100 persen Islam. Karena Islam lebih dahulu masuk serta mengakar di sana dan nasrani baru tiba kemudian dibawa oleh bangsa Portugis dan Holland. Selayaknya Bangsa Aceh yang 100 persen Islam maka kawasan Barus dan Batak demikan halnya juga 100 persen Islam," jelasnya.

Menurutnya penegasan titik nol ini penting dan mampu mengubah wawasan dan sejarah Islam di nusantara yang sudah diyakini selama ini. “Bila hal ini kita biarkan tanpa ada pelurusan ilmiah apapun bukan tidak mungkin wilayah tanah Aceh yang dahulu Barus termasuk di dalamnya bisa terbalik menjadi Aceh bagian dari Kerajaan Barus pascaIslam masuk pertama sekali ke Barus," pungkas Tuanku Warul Waliddin bin Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah. [goAceh]


Baca juga:

Jejak Sejarah Kota Tua Barus, Termashur sebelum Masehi



No comments:
Write komentar