BANDA ACEH | Lembaga Wali Nanggroe sebaiknya di bubarkan saja bila tidak berfungsi sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Hal ini dikatakan akademisi UIN Ar-Raniry dan Unsyiah, Muazzinah Yacob dan Mawardi Ismail pada dialog publik “Potensi Radikalisme Pasca Pilkada di Aceh dan Upaya Penanggulangannya” di caffe 3in1, Kamis 9 September 2017 di Banda Aceh.
“Lembaga Wali Nanggroe di bubarkan saja, selama ini Wali Nanggroe tidak berfungsi dan hanya menghabiskan uang rakyat saja,” kata Muazzinah.
Aktivis perempuan ini juga menambahkan, mestinya Wali Nanggroe hadir ditengah masyarakat untuk memberikan solusi terhadap permasalahan Aceh sekarang ini, juga, tambahnya, Wali Nanggroe mestinya bersikap netral pada pilkada 2017. “Marwah Wali Nanggroe tidak ada lagi di mata rakyat Aceh, seolah-olah Wali Nanggroe itu milik satu kelompok saja,” jelas Muazzinah.
Istana Wali Nanggroe, biaya pembangunan menelan 100 miliar dengan uang rakyat |
Hal yang sama juga disampaikan pakar hukum Unsyiah, Mawardi Ismail, SH, MH, Lembaga Wali Nanggroe masih diperlukan, namun bila dia bisa kembali kepada khitahnya. “Artinya Wali Nanggroe menjalankan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali Nanggroe,” ujarnya.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu menambahkan mestinya Wali Nanggroe menjadi pemersatu Aceh, tempat rakyat Aceh mengadu, tempat rakyat Aceh mencari solusi dan tempat menyelesaikan persoalan secara adat istiadat. “Namun selama ini fungsi itu belum dijalankan dan sebaiknnya kembali ke khittahnya menjadi pemersatu dan bukannya partisan satu kelompok saja,” kata Mawardi sambil mengingatkan Wali Nanggroe dan para ulama untuk kembali ke khitahnya. [HARIANACEH.co.id]
1 comment:
Write komentar