Oleh Taufik Al Mubarak
Sejak sebelas (red) tahun silam, setelah RI dan GAM teken MoU Helsinki, Finlandia (15/08/05), Aceh tak boleh lagi bicara merdeka atau referendum. Bukti keseriusan GAM tak lagi meminta merdeka, di antaranya mereka sudah menerima konstitusi NKRI, memotong senjata, membentuk Partai Lokal sebagai senjata perjuangan politik, dan terakhir menjadi pejabat Indonesia di Aceh: ada yang jadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Itulah pengorbanan terbesar gerakan yang sejak 4 Desember 1976 berperang melawan Indonesia demi menuntut kejelasan status Aceh sebagai sebuah negara merdeka.
Petinggi GAM dan kombatan di lapangan, baik yang sudah bersumpah mengikuti jalan Wali Neugara Hasan Tiro atau pun yang sekadar simpati di jalur perjuangan, melanggar semua sumpah ‘tak mau mengakui Indonesia’ dengan memilih jalan damai: jalan yang mengakhiri penderitaan panjang rakyat Aceh. Nyatanya, setelah Aceh damai, rakyat Aceh belum juga sepenuhnya menikmati arti ‘merdeka dalam NKRI’. Hidup rakyat Aceh masih melarat, meuteng-paneng dan meutap-uyap (saya tak menemukan dua kosa kata yang cocok dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Aceh ini). Sementara yang memiliki saham sebagai ‘pejuang Aceh’ menikmati kemewahan, akses politik dan ekonomi yang mudah, sekali pun banyak juga di antara mereka tak dapat merasakan buah dari perjuangan itu.
Lalu, apakah orang Aceh sudah cukup dengan hidup terbuai dalam perdamaian dan sama sekali tak memikirkan lagi untuk merdeka? Saya terus terang ragu untuk menjawab pertanyaan ini. “Hati orang Aceh siapa yang bisa menduga, kan?” Ini jawaban yang paling ‘netral’ yang bisa kita jawab untuk pertanyaan tersebut. Kalau ingin menguji apakah orang Aceh ingin merdeka atau tidak, memang tidak ada cara lain kecuali menggunakan mekanisme ‘referendum’ seperti tuntutan elemen sipil Aceh pada 1999 silam. Sebagai informasi, ketika Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Keadilan (Sira Rakan) 8 November 2000, panitia menggelar jejak pendapat tak resmi, dan hasilnya sekitar 95 persen responden menjawab memilih merdeka (pisah dari NKRI).
Belakangan ini, isu referendum Aceh kembali menggelinding, sekali pun semangatnya jauh berbeda dengan perjuangan referendum yang digerakkan mahasiswa dan pemuda pada 1999 silam. Kalau dulu, solusi referendum ditawarkan karena baik RI dan GAM memiliki klaim politik yang berbeda terhadap Aceh, pun tiap hari rakyat Aceh hidup dalam suasana mencekam, menjadi korban penembakan, korban peluru nyasar, penculikan dan meninggal dalam (maupun) setelah kontak senjata TNI/Polri versus GAM. Sementara kini, tawaran referendum diajukan murni karena pemahaman politik yang sempit, dan tanpa memikirkan apakah tawaran itu tepat atau tidak (setelah Aceh damai), serta hanya sekadar gertak sambal: semata-mata karena Prabowo Subianto, orang yang kita yakini punya andil terhadap kematian ribuan rakyat Aceh semasa pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) dan sesudahnya. Bagi saya, tuntutan referendum yang kini disuarakan para pendukung Capres Prabowo Subianto di Aceh sebagai sebuah dagelan yang sangat-sangat tidak lucu. Tuntutan referendum karena Prabowo kalah Pilpres ini akan diingat sebagai sebuah aksi konyol yang akan jadi bahan tertawaan di tiap-tiap meja warung kupi di Aceh.
Kenapa saya berani mengatakan demikian? Dulu, tawaran referendum Aceh bukan diputuskan dalam sebuah obrolan santai di warung kopi, melainkan melalui sebuah forum yang melibatkan banyak elemen gerakan di Aceh: Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS). KMPAN dan KARMA sebagai motor penggerak berhasil mengumpulkan 106 lembaga di Aceh, luar Aceh dan luar negeri. Setelah bersidang selama empat hari di Balai Teungku Chik di Tiro, mereka pun berhasil merumuskan sebuah solusi final penyelesaian konflik Aceh, dengan memberikan kehormatan kepada rakyat Aceh menentukan nasib sendiri: tetap bergabung dengan Indonesia atau pisah (merdeka). Sementara tawaran referendum kemarin, pengaruhnya tak begitu signifikan. Ini bisa kita lihat dari aksi yang mereka gelar di Simpang Lima, hanya diikuti belasan orang saja. Bandingkan dengan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh pada 8 November 1999, jutaan orang tumpah-ruah ke Banda Aceh. Dua gerakan yang sangat kontras sekali, saya kira: SUMPR sebagai aksi rakyat, sementara gerakan referendum karena Prabowo kalah hanya akumulasi kekecewaan orang kurang kerjaan!
Pun begitu, apa pun dalihnya, setiap upaya membangkitkan ruh gerakan pemisahan diri Aceh dari Indonesia harus dipandang sebagai persoalan serius. Ini penting untuk membuktikan bahwa ide ‘merdeka’ di hati orang Aceh belum sepenuhnya padam. Pasalnya, sejak RI dan GAM bersepakat damai di Helsinki sebelas (red) tahun silam, perlahan-lahan tapi pasti, orang Aceh diajak untuk mengikis habis ide ‘merdeka’ yang sebelumnya sudah tertanam kuat di hati mereka. Anehnya, pihak yang mencoba mengikis habis itu juga orang-orang yang sama, yang sebelumnya mengajarkan orang Aceh untuk berpikir merdeka. Orang-orang seperti ini, saya pikir, akan memiliki tempat tersendiri di hati orang Aceh pada masa-masa mendatang.
Masalah seperti ini penting terus disuarakan dan ditulis. Di banyak tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya sering kali membuat kesimpulan bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Kenapa saya berani berkesimpulan demikian? Karena MoU Helsinki sudah menutup rapat-rapat pintu dan peluang Aceh untuk merdeka. Ini memang tak sepenuhnya salah para pimpinan kita di Swedia menerima otonomi dalam kemasan pemerintahan sendiri. Sebab, faktor gempa-tsunami serta fokus internasional terhadap kemanusiaan juga begitu menentukan. Hampir mustahil memaksakan ide Aceh Merdeka di tengah bencana dahsyat tersebut, yang tak hanya meluluh-lantakkan Aceh, melainkan merampas banyak nyawa di Aceh. Peristiwa tersebut kemudian bertemu dengan perasaan ‘kelelahan berjuang’ yang ditunjukkan beberapa pimpinan kita. Nasib Aceh benar-benar tidak menguntungkan.
Menghadapi dilema tersebut, tak ada yang bisa dilakukan oleh orang Aceh kecuali memelihara baik-baik ide merdeka yang sudah tertanam kokoh di sanubari orang Aceh. Ide tersebut tak boleh hilang dan dihilangkan dari pikiran dan hati orang Aceh, oleh siapa pun. Kita perlu merawatnya baik-baik. Sebab, jika ini tak dilakukan, saya justru khawatir, suatu saat di Aceh akan terjadi perasaan apatis dalam diri orang Aceh seperti peristiwa yang pernah terjadi di Baghdad semasa Khalifah Harun Al Rasyid [sejarawan perlu memeriksa kembali cerita ini, karena saya bukan sejarawan]. Ketika itu, Khalifah ingin menguji kesetiaan rakyatnya terhadap Khalifah dan kerajaan. Dia pun mengeluarkan amaran kepada rakyatnya agar menyumbang sekaleng susu untuk khalifah. Rakyat diminta memasukkan susu itu di dalam bejana besar yang diletakkan di pusat kota. Semua rakyat berbondong-bondong ke pusat kota. Mulailah mereka menuangkan ‘susu’ bawaannya itu ke dalam bejana besar. Sebagian besar mereka berpikir, ‘tak ada salahnya kalau cuma menuangkan sekaleng air putih, toh tidak akan ketahuan dan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu.’
Sore harinya, ketika petugas kerajaan mulai mengangkut bejana besar berisi susu itu untuk dilihat oleh Khalifah, mereka sama sekali tak menemukan susu di dalam bejana itu. Di dalam bejana hanya terisi dengan air putih. Rupanya, semua rakyat waktu itu berpikir bahwa ‘satu kaleng air putih tak akan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu’ dan masing-masing mereka ternyata menuangkan air putih saja. Akhirnya, bukannya susu yang terkumpul di hadapan khalifah, melainkan air putih!
Lalu, apa hubungan kisah tersebut dengan Aceh? Sekilas memang tak ada hubungan apa-apa. Tapi kalau kita selami lebih dalam lagi, cara berpikir rakyat dalam kisah tersebut mulai menghinggapi pikiran orang Aceh sekarang ini. Orang Aceh mulai apatis dan pesimis terhadap masa depan Aceh. Mereka sering pasrah ketika ditanya apakah akan ada lagi orang yang mau berjuang untuk kemerdekaan? “Soal Aceh merdeka biarlah itu dipikirkan oleh orang-orang tua yang menduduki posisi penting di pemerintahan sekarang,” rakyat akan lebih sering menjawab seperti ini. Sementara di level orang-orang tua yang dulu dikenal sebagai pejuang, seperti terekam di media, mengaku sudah melupakan mimpi merdeka, dan sebagian lagi mulai berpikir bagaimana Aceh ‘merdeka’ dalam NKRI. Jadi, masing-masing orang di Aceh mulai menganggap bahwa ‘memerdekakan Aceh’ itu nantinya akan dipikirkan oleh orang lain dan oleh generasi selanjutnya, sementara orang Aceh lain juga berpikir demikian.
Jika kondisi ini yang terjadi terhadap Aceh, kita tak tahu harus menjawab apa ketika ada yang bertanya, Kenapa Aceh Tak Jadi Merdeka? dan paling-paling akan berseru, “Jangan menangis hanya karena sesuap nasi sudah habis kita makan!” []
Sumber: Blog Jumpueng
Sejak sebelas (red) tahun silam, setelah RI dan GAM teken MoU Helsinki, Finlandia (15/08/05), Aceh tak boleh lagi bicara merdeka atau referendum. Bukti keseriusan GAM tak lagi meminta merdeka, di antaranya mereka sudah menerima konstitusi NKRI, memotong senjata, membentuk Partai Lokal sebagai senjata perjuangan politik, dan terakhir menjadi pejabat Indonesia di Aceh: ada yang jadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Itulah pengorbanan terbesar gerakan yang sejak 4 Desember 1976 berperang melawan Indonesia demi menuntut kejelasan status Aceh sebagai sebuah negara merdeka.
Aksi rakyat Aceh menuntut Referendum 8 November 1999 silam |
Petinggi GAM dan kombatan di lapangan, baik yang sudah bersumpah mengikuti jalan Wali Neugara Hasan Tiro atau pun yang sekadar simpati di jalur perjuangan, melanggar semua sumpah ‘tak mau mengakui Indonesia’ dengan memilih jalan damai: jalan yang mengakhiri penderitaan panjang rakyat Aceh. Nyatanya, setelah Aceh damai, rakyat Aceh belum juga sepenuhnya menikmati arti ‘merdeka dalam NKRI’. Hidup rakyat Aceh masih melarat, meuteng-paneng dan meutap-uyap (saya tak menemukan dua kosa kata yang cocok dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Aceh ini). Sementara yang memiliki saham sebagai ‘pejuang Aceh’ menikmati kemewahan, akses politik dan ekonomi yang mudah, sekali pun banyak juga di antara mereka tak dapat merasakan buah dari perjuangan itu.
Lalu, apakah orang Aceh sudah cukup dengan hidup terbuai dalam perdamaian dan sama sekali tak memikirkan lagi untuk merdeka? Saya terus terang ragu untuk menjawab pertanyaan ini. “Hati orang Aceh siapa yang bisa menduga, kan?” Ini jawaban yang paling ‘netral’ yang bisa kita jawab untuk pertanyaan tersebut. Kalau ingin menguji apakah orang Aceh ingin merdeka atau tidak, memang tidak ada cara lain kecuali menggunakan mekanisme ‘referendum’ seperti tuntutan elemen sipil Aceh pada 1999 silam. Sebagai informasi, ketika Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Keadilan (Sira Rakan) 8 November 2000, panitia menggelar jejak pendapat tak resmi, dan hasilnya sekitar 95 persen responden menjawab memilih merdeka (pisah dari NKRI).
Belakangan ini, isu referendum Aceh kembali menggelinding, sekali pun semangatnya jauh berbeda dengan perjuangan referendum yang digerakkan mahasiswa dan pemuda pada 1999 silam. Kalau dulu, solusi referendum ditawarkan karena baik RI dan GAM memiliki klaim politik yang berbeda terhadap Aceh, pun tiap hari rakyat Aceh hidup dalam suasana mencekam, menjadi korban penembakan, korban peluru nyasar, penculikan dan meninggal dalam (maupun) setelah kontak senjata TNI/Polri versus GAM. Sementara kini, tawaran referendum diajukan murni karena pemahaman politik yang sempit, dan tanpa memikirkan apakah tawaran itu tepat atau tidak (setelah Aceh damai), serta hanya sekadar gertak sambal: semata-mata karena Prabowo Subianto, orang yang kita yakini punya andil terhadap kematian ribuan rakyat Aceh semasa pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) dan sesudahnya. Bagi saya, tuntutan referendum yang kini disuarakan para pendukung Capres Prabowo Subianto di Aceh sebagai sebuah dagelan yang sangat-sangat tidak lucu. Tuntutan referendum karena Prabowo kalah Pilpres ini akan diingat sebagai sebuah aksi konyol yang akan jadi bahan tertawaan di tiap-tiap meja warung kupi di Aceh.
Kenapa saya berani mengatakan demikian? Dulu, tawaran referendum Aceh bukan diputuskan dalam sebuah obrolan santai di warung kopi, melainkan melalui sebuah forum yang melibatkan banyak elemen gerakan di Aceh: Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS). KMPAN dan KARMA sebagai motor penggerak berhasil mengumpulkan 106 lembaga di Aceh, luar Aceh dan luar negeri. Setelah bersidang selama empat hari di Balai Teungku Chik di Tiro, mereka pun berhasil merumuskan sebuah solusi final penyelesaian konflik Aceh, dengan memberikan kehormatan kepada rakyat Aceh menentukan nasib sendiri: tetap bergabung dengan Indonesia atau pisah (merdeka). Sementara tawaran referendum kemarin, pengaruhnya tak begitu signifikan. Ini bisa kita lihat dari aksi yang mereka gelar di Simpang Lima, hanya diikuti belasan orang saja. Bandingkan dengan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh pada 8 November 1999, jutaan orang tumpah-ruah ke Banda Aceh. Dua gerakan yang sangat kontras sekali, saya kira: SUMPR sebagai aksi rakyat, sementara gerakan referendum karena Prabowo kalah hanya akumulasi kekecewaan orang kurang kerjaan!
Pun begitu, apa pun dalihnya, setiap upaya membangkitkan ruh gerakan pemisahan diri Aceh dari Indonesia harus dipandang sebagai persoalan serius. Ini penting untuk membuktikan bahwa ide ‘merdeka’ di hati orang Aceh belum sepenuhnya padam. Pasalnya, sejak RI dan GAM bersepakat damai di Helsinki sebelas (red) tahun silam, perlahan-lahan tapi pasti, orang Aceh diajak untuk mengikis habis ide ‘merdeka’ yang sebelumnya sudah tertanam kuat di hati mereka. Anehnya, pihak yang mencoba mengikis habis itu juga orang-orang yang sama, yang sebelumnya mengajarkan orang Aceh untuk berpikir merdeka. Orang-orang seperti ini, saya pikir, akan memiliki tempat tersendiri di hati orang Aceh pada masa-masa mendatang.
Masalah seperti ini penting terus disuarakan dan ditulis. Di banyak tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya sering kali membuat kesimpulan bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Kenapa saya berani berkesimpulan demikian? Karena MoU Helsinki sudah menutup rapat-rapat pintu dan peluang Aceh untuk merdeka. Ini memang tak sepenuhnya salah para pimpinan kita di Swedia menerima otonomi dalam kemasan pemerintahan sendiri. Sebab, faktor gempa-tsunami serta fokus internasional terhadap kemanusiaan juga begitu menentukan. Hampir mustahil memaksakan ide Aceh Merdeka di tengah bencana dahsyat tersebut, yang tak hanya meluluh-lantakkan Aceh, melainkan merampas banyak nyawa di Aceh. Peristiwa tersebut kemudian bertemu dengan perasaan ‘kelelahan berjuang’ yang ditunjukkan beberapa pimpinan kita. Nasib Aceh benar-benar tidak menguntungkan.
Menghadapi dilema tersebut, tak ada yang bisa dilakukan oleh orang Aceh kecuali memelihara baik-baik ide merdeka yang sudah tertanam kokoh di sanubari orang Aceh. Ide tersebut tak boleh hilang dan dihilangkan dari pikiran dan hati orang Aceh, oleh siapa pun. Kita perlu merawatnya baik-baik. Sebab, jika ini tak dilakukan, saya justru khawatir, suatu saat di Aceh akan terjadi perasaan apatis dalam diri orang Aceh seperti peristiwa yang pernah terjadi di Baghdad semasa Khalifah Harun Al Rasyid [sejarawan perlu memeriksa kembali cerita ini, karena saya bukan sejarawan]. Ketika itu, Khalifah ingin menguji kesetiaan rakyatnya terhadap Khalifah dan kerajaan. Dia pun mengeluarkan amaran kepada rakyatnya agar menyumbang sekaleng susu untuk khalifah. Rakyat diminta memasukkan susu itu di dalam bejana besar yang diletakkan di pusat kota. Semua rakyat berbondong-bondong ke pusat kota. Mulailah mereka menuangkan ‘susu’ bawaannya itu ke dalam bejana besar. Sebagian besar mereka berpikir, ‘tak ada salahnya kalau cuma menuangkan sekaleng air putih, toh tidak akan ketahuan dan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu.’
Sore harinya, ketika petugas kerajaan mulai mengangkut bejana besar berisi susu itu untuk dilihat oleh Khalifah, mereka sama sekali tak menemukan susu di dalam bejana itu. Di dalam bejana hanya terisi dengan air putih. Rupanya, semua rakyat waktu itu berpikir bahwa ‘satu kaleng air putih tak akan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu’ dan masing-masing mereka ternyata menuangkan air putih saja. Akhirnya, bukannya susu yang terkumpul di hadapan khalifah, melainkan air putih!
Lalu, apa hubungan kisah tersebut dengan Aceh? Sekilas memang tak ada hubungan apa-apa. Tapi kalau kita selami lebih dalam lagi, cara berpikir rakyat dalam kisah tersebut mulai menghinggapi pikiran orang Aceh sekarang ini. Orang Aceh mulai apatis dan pesimis terhadap masa depan Aceh. Mereka sering pasrah ketika ditanya apakah akan ada lagi orang yang mau berjuang untuk kemerdekaan? “Soal Aceh merdeka biarlah itu dipikirkan oleh orang-orang tua yang menduduki posisi penting di pemerintahan sekarang,” rakyat akan lebih sering menjawab seperti ini. Sementara di level orang-orang tua yang dulu dikenal sebagai pejuang, seperti terekam di media, mengaku sudah melupakan mimpi merdeka, dan sebagian lagi mulai berpikir bagaimana Aceh ‘merdeka’ dalam NKRI. Jadi, masing-masing orang di Aceh mulai menganggap bahwa ‘memerdekakan Aceh’ itu nantinya akan dipikirkan oleh orang lain dan oleh generasi selanjutnya, sementara orang Aceh lain juga berpikir demikian.
Jika kondisi ini yang terjadi terhadap Aceh, kita tak tahu harus menjawab apa ketika ada yang bertanya, Kenapa Aceh Tak Jadi Merdeka? dan paling-paling akan berseru, “Jangan menangis hanya karena sesuap nasi sudah habis kita makan!” []
Sumber: Blog Jumpueng
No comments:
Write komentar