Almarhum Nazar Djeumpa. |
Lalu saya temukan sebuah nama si penulis di facebook “Nazar Djeumpa” dan mengirimkan pertemanan. Usai diterima pertemanan di media sosial tersebut, langsung saja saya berinteraksi melalui pesan dengan provokasi awal, “saleum! Manyak, peuhaba (bagaimana kabarmu?)”. Dan chatingan kami pun berlanjut lama. Terutama membahas rambang tentang perpolitikan di Aceh pasca damai 2005. Sesekali kami selipkan pembahasan tentang dunia kepenulisan di Aceh yang majunya seperti tsunami.
“Aceh telah damai. Dan itu secara rahmatan lil ‘alamin adalah keinginan perjuangan Nabi kita. Tugas kita sebagai umat Nabi Muhammad tidak habis di sini. Maka menulislah! Sebab pena itu adalah AK-47 yang mesti kita pikul kini. Kau harus belajar itu! Aku melihat ruhmu menjiwainya”, ultimatum Bang Manyak padaku pada suatu malam lewat perbincangan antar negara, via chatingan fesbook, sekira tahun 2012.
Bertemu Pada Agustus 2013
Pada bulan agustus tahun 2013, usai memperpanjang permit kerja setahun, aku kembali ke Aceh. Selama 26 hari di Aceh saya sempat menjumpai beberapa sastrawan dan penyair dan penulis umum dan penyanyi dan pelawak dan ahli sejarah yang kesemuanya adalah pelaku seni di Aceh di mataku tanpa pilih bulu. Untuk belajar apa saja. Sebab waktuku yang singkat dan dulu tak mahu melanjutkan kuliah. Agar mengetahui sedikit-sebanyak tentang disiplin ilmu dan akedemisi. Terutama bidang kepenulisan yang bukan hanya sekedar hobby. Namun sudah sebati dengan diriku.
Ada nama-nama besar bidang kepenulisan yang kujumpai, seperti Musmarwan Abdullah, Din Saja, Doel Cut Po Allisah (alm), Nazar Shah Alam dkk di Komunitas Jeuneurob, Idrus bin Harun dkk di komunitas Kanot Bu, Ihan Sunrise Atjeh Post, Apa Kaoy MY Bombang, Zulfadlie Kawom, Moritza Thaher, Teuku Andie Seuramöe Reggea dan banyak lagi sewaktu pra dan pasca acara Piasan Seni Banda Aceh 2013.
Nah, Nazar Djeumpa adalah salah seorang di antara tokoh yang sempat dua kali saya jumpai. Jumpa pertama untuk berbincang perihal ilmu tulis. Dan jumpa kedua untuk membawa dua buku kiriman, kumpulan cerpen MG Musmarwan Abdullah di Kembang Tanjong, ‘Pada Tikungan Berikutnya’ dan ‘Rumah Baru’.
Teman Sekaligus Guru
Pra dan pasca damai konflik Aceh-Jakarta (penghujung darurat militer di Aceh, sekira tahun 2004-2005-pen), saya sempat tinggal dan bekerja membuat roti sedinding dengan rumah almarhum. Dan di sanalah bermula kami saling berdakwa-dakwi hampir setiap hal yang kami perbincangkan setiap harinya.
Beliau adalah guruku yang kerap mengajariku dengan cara, memberi tamsilan tentang keseharian kami. Awalnya aku yang sifatku keras kepala, kerap membantah argumen yang beliau sodorkan. Sebab aku yang hanya tamatan Madrasah Aliyah Bireuen pantang sekali menerima pemikiran pembaharuan. Sedangkan beliau adalah seorang sarjana sosial, alumnus Ilmu Komunikasi di UNIDA Bandar Aceh Darussalam. Beliau memilih berbicara dengan disiplin ke-akademisi-an ilmu. Sehinggalah beliau memilih pendekatan yang bermunasabah dan mudah kucerna.
Muasal Nama Tokoh Manyak
Manyak adalah nama panggilan manja (nama kecil-pen) Nazar Djeumpa oleh Siti Hasanah, sang ibu dan satu-satunya keluarga yang dimilikinya sebelum beliau berumah tangga. Juga kemudian kerap kudengar dipanggil oleh M Yusuf, abang sepupunya di rumah sebelah rumahnya dan istrinya dan dua anak lelaki bang Mak Usuh, si Zoel (Zulkifli-pen) dan si Bulèk (lupa kucatat nama aslinya-pen). Kedua keponakannya ini sangat akrab dan manja dengan bang Muhammad selayaknya seperti anak almarhum sendiri.
Nama asli Nazar Djeumpa, seperti pernah sempat kubaca di ‘KTP Merah Putih’nya suatu waktu dulu—semasa puncak perang Aceh-Jakarta atau yang lebih masyhur dengan pembasmian etnic terdahsyat di dunia di awal abad millenium ‘Darurat Militer Aceh’. Ultimatum kebijakan agar nkri utuh, oleh anak perempuan Soekarno sewaktu Presiden pengganti. Beliau sebelumnya hanya wakil presiden. Kemudiannya menjadi penguasa nomor wahid usai Gus Dur dilengserkan, ‘Cut Nyak’ Megawati, sang pemimpin PDI. Di mana sewaktu kampanye sebelum menjadi Wapres pernah menyebut kata-kata janji politik di pusat Aceh, “jika kami menang, tidak akan ada setetes darah orang Aceh pun akan menetes lagi”—adalah Muhammad Nazar bin Idris.
Jalan-Jalan Terakhir
Selasa petang Muhammad sempat membawa keluarga besarnya jalan-jalan. Dia memboncengi tiga orang anak dan istrinya memutar-mutar Kota kecil Bireuen dengan menaiki motor. Untuk menikmati indahnya sebuah keluarga kecilnya yang sederhana di kekeluargaan yang diterapkannya.
Terhitung sejak dua hari sebelumnya, Nazar Djeumpa junior, anak lelaki semata wayangnya yang baru belajar di TADIKA terlihat berkelakuan aneh. Memakai pakaian atlit, lengkap bersepatu dan bermain bola keranjang seorang diri. Permainan basket ala kanak-kanak dengan memasukkan bola ke keranjang yang sengaja dibuat sang Abinya di sebelah rumah sekedarnya.
Sebelum pamit, pada hari Rabu, hari pertama kepulangannya, saya
sempatkan waktu untuk berbicara ringan dengan Adam bin Muhammad Nazar
sekian saat. Sambil memerhatikan dia menggambar di buku gambarnya. “Ini
lukisan rumah, ini nama ADAM, ini nama ABI”, ujarnya, tentang coretan
yang digambarkannya sambil mengeja nama sang Abi, menjawab tanyaku.
Tidak Sakit Parah
Beliau telah kembali ke Rahmatullah pada rabu malam, 30 maret 2016. Lebih-kurang jam 01:00 waktu Aceh bagian utara. Bang Zoel (juga lupa kucatat nama lengkapnya-pen), jiran sebelah utara rumahnya bercerita kepadaku sesampai di rumah duka pada hari rabu, bahwa; dia dan Muhammad sempat ngopi untuk yang terakhir kalinya antara jam 22:00.
Tiada sepatah kata pun terkeluar dari mulut almarhum malam itu di kedai kopi. Padahal biasanya beliau sangat aktif berbincang di kalangan karib-jirannya yang meramaikan kedai kopi depan rumahnya itu. Lalu almarhum pamit ke rumah hendak rehat sekira jam 23:00.
Beberapa saat kemudian, lebih-kurang jam 00:00 WIB, Lidawati, sang istri tercintanya mendatangi rumah jiran dan dua abang sepupu Muhammad untuk memberitahukan beliau telah ‘sakit tidak biasanya’.
Beliau telah kembali ke Rahmatullah pada rabu malam, 30 maret 2016. Lebih-kurang jam 01:00 waktu Aceh bagian utara. Bang Zoel (juga lupa kucatat nama lengkapnya-pen), jiran sebelah utara rumahnya bercerita kepadaku sesampai di rumah duka pada hari rabu, bahwa; dia dan Muhammad sempat ngopi untuk yang terakhir kalinya antara jam 22:00.
Nazar Djeumpa |
Tiada sepatah kata pun terkeluar dari mulut almarhum malam itu di kedai kopi. Padahal biasanya beliau sangat aktif berbincang di kalangan karib-jirannya yang meramaikan kedai kopi depan rumahnya itu. Lalu almarhum pamit ke rumah hendak rehat sekira jam 23:00.
Beberapa saat kemudian, lebih-kurang jam 00:00 WIB, Lidawati, sang istri tercintanya mendatangi rumah jiran dan dua abang sepupu Muhammad untuk memberitahukan beliau telah ‘sakit tidak biasanya’.
Muhammad Nazar menghembuskan nafas terakhir sekira jam 01:00 di
kediamannya, jalan Tgk. Cot Hagu. Nomor 26, Meunasah Capa Utara (Blok),
Kecamatan Kota Juang, Bireuen, Aceh. Dan sempat dilarikan ke RSU. dr.
Fauziah Bireuen, sekira 100 meter ke arah utara rumahnya. Sebuah usaha
terakhir keluarga yang mencintai dan dicintainya. Untuk memastikannya,
mengikut kepada kedisiplinan ilmu kedokteran.
Nazar Djeumpa kembali ke hadhirat-Nya dengan meninggalkan tiga anak yatim yang masih belia. Si sulung Adam, lebih-kurang 5 tahun dan dua adik kembarnya, Kagina dan Depika, yang baru bisa berjalan, namun belum bisa berbicara. Seorang balu, Lidawati, perempuan tegar dari Jeunib. Dan seorang Ibu yang sangat menyayangi almarhum dan sangat almarhum hormati, Siti Hasanah.
Dan jenazah Allahyarham telah dimakamkan di perehatan terakhirnya
di samping sang ayah di Tambuë, Pandrah, Bireuen, Aceh qabla dhur hari
rabu itu. Muasalnya dari Tambuë kampung halamannya dan kembali ke Tambuë
juga.
Semoga keluarga yang ditinggalkan tabah menghadapi dugaan ini! Dan
semoga Allahyarham Muhammad Nazar bin Idris Allah terima di sisi-Nya
sederet dengan Syuhada’ dan Shalihin! Kembalilah kepada-Nya dalam
keadaan ridha dan diridhai-Nya, wahai sahabat, guru dan panglima kami!
Amin!Nazar Djeumpa kembali ke hadhirat-Nya dengan meninggalkan tiga anak yatim yang masih belia. Si sulung Adam, lebih-kurang 5 tahun dan dua adik kembarnya, Kagina dan Depika, yang baru bisa berjalan, namun belum bisa berbicara. Seorang balu, Lidawati, perempuan tegar dari Jeunib. Dan seorang Ibu yang sangat menyayangi almarhum dan sangat almarhum hormati, Siti Hasanah.
Terima kasih telah berkunjung di Blog kami! Setelah Anda membaca artikel ini mohon tinggalkan komentar dan jika ingin membagikan atau menyalin isi artikel ini jangan lupa meletakkan sumber link blog http://acehabad.blogspot.com. TERIMA KASIH!
No comments:
Write komentar