OPINI
Oleh Muhammad Mirza Ardi http://acehabad.blogspot.com/2016/04/pilkada-2017-ujian-bagi-rakyat-aceh.html
TANPA ragu dan risih, saya mengawali artikel ini dengan sebuah pernyataan: Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat Aceh. Di bawah kepemimpinan mereka berdua selaku Gubernur dan Wakil Gubernur, Aceh menjadi provinsi salah urus. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan orang miskin di Aceh bukannya berkurang, tapi bertambah. Pengangguran di Aceh bukannya makin sedikit, tapi makin banyak.
Sebelum menjabat sebagai duet yang paling berkuasa di Aceh, Zaini dan
Muzakir memberikan 21 janji kampanye kepada rakyat. Sampai sekarang,
satu janji pun belum terpenuhi. Bahkan di satu tahun terakhir masa
jabatan ini, bukannya fokus memperbaiki perekonomian Aceh, tetapi justru
pecah kongsi dan sibuk berusaha bagaimana tahun depan bisa menjadi
gubernur Aceh lagi. Tak ada pengakuan gagal dan tak ada permintaan maaf.
Sebagai perwakilan dari Partai Aceh, mereka berdua dan partai pengusungnya telah gagal mewujudkan cita-cita utama Hasan Tiro, yakni kesejahteraan. Ketika Hasan Tiro bertemu dengan Daud Beureueh untuk meminta restu. Daud Beureueh bertanya; apa yang melandasi pemberontakan Tiro? Jawaban dari Tiro bukan supaya Aceh punya bendera sendiri atau istana untuk wali, tetapi agar rakyat Aceh sejahtera.
Sejak 2008, Aceh mendapatkan kuncuran dana otonomi khusus (dana otsus) untuk pembangunan ekonomi. Jika dana ini dikelola secara profesional, kemiskinan dan pengangguran di Aceh pastilah berkurang. Rakyat akan sejahtera karena standar hidupnya meningkat. Namun, di tengah guyuran uang yang melimpah, yang sejahtera hanyalah elite-elite politik di Aceh. Lihat saja betapa megah istana Wali Nanggroe, mewahnya rumah dinas DPRA, dan mulusnya mobil-mobil baru mereka.
Karena Aceh akan terus mendapatkan dana otsus sampai 2027, maka tak heran semua orang berlomba-lomba ingin menjadi gubernur dan anggota dewan.
Belum tentu niat menjadi politikus selalu untuk mensejahterakan rakyat, walaupun itu yang keluar dari mulut saat berkampanye. Sangat mungkin niat menjadi pemimpin adalah untuk memperkaya diri.
Mengevaluasi Pemimpin
Akan tetapi, yang duduk di kursi gubernur dan parlemen saat ini juga karena mereka dipilih rakyat. Melalui pemungutan suara di bilik-bilik TPS, rakyatlah yang mengantarkan mereka menjadi elite politik di Aceh. Dan di sinilah letak kelemahan sistem pemilihan langsung, seperti kata Aristotes, demokrasi tidak menjamin yang akan terpilih sebagai pemimpin adalah yang berkompeten. Orang menjadi pemimpin karena disukai. Dalam sistem demokrasi, asal tenar, orang tanpa kompetensi pun bisa jadi penguasa.
Oleh Muhammad Mirza Ardi http://acehabad.blogspot.com/2016/04/pilkada-2017-ujian-bagi-rakyat-aceh.html
TANPA ragu dan risih, saya mengawali artikel ini dengan sebuah pernyataan: Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat Aceh. Di bawah kepemimpinan mereka berdua selaku Gubernur dan Wakil Gubernur, Aceh menjadi provinsi salah urus. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan orang miskin di Aceh bukannya berkurang, tapi bertambah. Pengangguran di Aceh bukannya makin sedikit, tapi makin banyak.
ILUSTRASI |
Sebagai perwakilan dari Partai Aceh, mereka berdua dan partai pengusungnya telah gagal mewujudkan cita-cita utama Hasan Tiro, yakni kesejahteraan. Ketika Hasan Tiro bertemu dengan Daud Beureueh untuk meminta restu. Daud Beureueh bertanya; apa yang melandasi pemberontakan Tiro? Jawaban dari Tiro bukan supaya Aceh punya bendera sendiri atau istana untuk wali, tetapi agar rakyat Aceh sejahtera.
Sejak 2008, Aceh mendapatkan kuncuran dana otonomi khusus (dana otsus) untuk pembangunan ekonomi. Jika dana ini dikelola secara profesional, kemiskinan dan pengangguran di Aceh pastilah berkurang. Rakyat akan sejahtera karena standar hidupnya meningkat. Namun, di tengah guyuran uang yang melimpah, yang sejahtera hanyalah elite-elite politik di Aceh. Lihat saja betapa megah istana Wali Nanggroe, mewahnya rumah dinas DPRA, dan mulusnya mobil-mobil baru mereka.
Karena Aceh akan terus mendapatkan dana otsus sampai 2027, maka tak heran semua orang berlomba-lomba ingin menjadi gubernur dan anggota dewan.
Belum tentu niat menjadi politikus selalu untuk mensejahterakan rakyat, walaupun itu yang keluar dari mulut saat berkampanye. Sangat mungkin niat menjadi pemimpin adalah untuk memperkaya diri.
Mengevaluasi Pemimpin
Akan tetapi, yang duduk di kursi gubernur dan parlemen saat ini juga karena mereka dipilih rakyat. Melalui pemungutan suara di bilik-bilik TPS, rakyatlah yang mengantarkan mereka menjadi elite politik di Aceh. Dan di sinilah letak kelemahan sistem pemilihan langsung, seperti kata Aristotes, demokrasi tidak menjamin yang akan terpilih sebagai pemimpin adalah yang berkompeten. Orang menjadi pemimpin karena disukai. Dalam sistem demokrasi, asal tenar, orang tanpa kompetensi pun bisa jadi penguasa.
Namun, mekanisme pemilu setiap lima tahun sekali memberikan
kesempatan bagi rakyat untuk mengevaluasi pemimpinnya. Jika rakyat puas
dengan kinerja pemimpinnya yang sekarang, sang pemimpin akan dipilih
lagi. Jika rakyat tidak puas, dan ada calon pemimpin yang lebih baik,
mereka akan memilih orang lain sebagai pemimpin baru. Begitu idealnya.
Sebagai catatan tambahan, karena masalah utama dan cita-cita perjuangan Aceh adalah kesejahteraan ekonomi. Maka rakyat harus mengawal isu ekonomi sebagai topik utama Pilkada 2017. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh saat ini berada di sepuluh provinsi termiskin di Indonesia dan nomor dua termiskin di Sumatera. Jangan sampai isu ekonomi ini teralihkan oleh sentimen kedaerahan seperti masalah bendera, lambang, dan sebagainya. Walaupun punya bendera sendiri, kalau ekonominya anjlok begini, cuma bikin malu.
Rakyat juga harus jeli dan kritis dalam menimbang janji-janji kampanye Pilkada 2017 nanti. Pemimpin yang kompeten hanya bisa terpilih jika rakyat mampu menentukan pilihan mereka setelah melalui pertimbangan yang rasional. Rasionalitas inilah yang absen atau tidak ada saat Pilkada 2012 lalu. Makanya, keterpurukan ekonomi Aceh saat ini sebenarnya juga disebabkan oleh rakyat Aceh sendiri.
Pada 2012 lalu, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf menggelontorkan 21 janji kampanye yang bombastis. Janji-janji itu antara lain: memberikan uang tunai Rp 1 juta per bulan untuk tiap keluarga, memberangkat jamaah haji Aceh dengan kapal pesiar, menjadikan Aceh seperti Singapura dan Brunei Darussalam, dan seterusnya. Rakyat percaya pada janji-janji ini. Padahal bagi pemilih yang rasional, dengan keterbatasan waktu menjabat (5 tahun) dan dana yang terbatas, adalah mustahil janji-janji itu terpenuhi.
Karena kemustahilannya, maka bisa disimpulkan bahwa janji-janji yang indah didengar ini sengaja dibuat hanya untuk bisa terpilih dan menang pilkada. Bukan sebuah janji terukur dan bisa direalisasi dalam waktu lima tahun dengan budget pembangunan yang ada. Kegagalan pertama pemilih Pilkada 2012 adalah tak bisa membedakan mana janji yang realistis dan janji kosong yang cet langet.
Sibuk Soal Bendera
Yang gagal dihadirkan pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf adalah sebuah strategi ekonomi yang jelas, terukur dan realistis. Tidak ada penjabaran pembangunan di tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Seolah semua masalah di Aceh akan selesai dengan MoU Helsinki. Maka hasil dari empat tahun menjabat adalah Aceh masuk 10 provinsi termiskin di Indonesia, lapangan pekerjaan hampir tak ada, pemerintah daerah sibuk soal bendera, listrik masih sering padam, dana otsus tak tahu dipakai kemana dan buat siapa.
Sehebat apa pun isi UUPA dan butir MoU Helsinki, harus diakui bahwa menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan bukanlah pekerjaan mudah. Siapa pun kandidat yang terpilih pada 2017 nanti, pasti akan membicarakan masalah ekonomi. Tidak cukup hanya dengan mengatakan: “Jika saya terpilih, saya berjanji akan mengurangi kemiskinan.” Kemudian, sebagai konstituen, rakyat harus bertanya lebih rinci: “Dengan waktu lima tahun dan jumlah dana yang ada, bagaimana cara Anda mengurangi kemiskinan? Apa rencana jangka pendek, menengah, dan panjangnya?”
Sebagai catatan tambahan, karena masalah utama dan cita-cita perjuangan Aceh adalah kesejahteraan ekonomi. Maka rakyat harus mengawal isu ekonomi sebagai topik utama Pilkada 2017. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh saat ini berada di sepuluh provinsi termiskin di Indonesia dan nomor dua termiskin di Sumatera. Jangan sampai isu ekonomi ini teralihkan oleh sentimen kedaerahan seperti masalah bendera, lambang, dan sebagainya. Walaupun punya bendera sendiri, kalau ekonominya anjlok begini, cuma bikin malu.
Rakyat juga harus jeli dan kritis dalam menimbang janji-janji kampanye Pilkada 2017 nanti. Pemimpin yang kompeten hanya bisa terpilih jika rakyat mampu menentukan pilihan mereka setelah melalui pertimbangan yang rasional. Rasionalitas inilah yang absen atau tidak ada saat Pilkada 2012 lalu. Makanya, keterpurukan ekonomi Aceh saat ini sebenarnya juga disebabkan oleh rakyat Aceh sendiri.
Pada 2012 lalu, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf menggelontorkan 21 janji kampanye yang bombastis. Janji-janji itu antara lain: memberikan uang tunai Rp 1 juta per bulan untuk tiap keluarga, memberangkat jamaah haji Aceh dengan kapal pesiar, menjadikan Aceh seperti Singapura dan Brunei Darussalam, dan seterusnya. Rakyat percaya pada janji-janji ini. Padahal bagi pemilih yang rasional, dengan keterbatasan waktu menjabat (5 tahun) dan dana yang terbatas, adalah mustahil janji-janji itu terpenuhi.
Karena kemustahilannya, maka bisa disimpulkan bahwa janji-janji yang indah didengar ini sengaja dibuat hanya untuk bisa terpilih dan menang pilkada. Bukan sebuah janji terukur dan bisa direalisasi dalam waktu lima tahun dengan budget pembangunan yang ada. Kegagalan pertama pemilih Pilkada 2012 adalah tak bisa membedakan mana janji yang realistis dan janji kosong yang cet langet.
Sibuk Soal Bendera
Yang gagal dihadirkan pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf adalah sebuah strategi ekonomi yang jelas, terukur dan realistis. Tidak ada penjabaran pembangunan di tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Seolah semua masalah di Aceh akan selesai dengan MoU Helsinki. Maka hasil dari empat tahun menjabat adalah Aceh masuk 10 provinsi termiskin di Indonesia, lapangan pekerjaan hampir tak ada, pemerintah daerah sibuk soal bendera, listrik masih sering padam, dana otsus tak tahu dipakai kemana dan buat siapa.
Sehebat apa pun isi UUPA dan butir MoU Helsinki, harus diakui bahwa menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan bukanlah pekerjaan mudah. Siapa pun kandidat yang terpilih pada 2017 nanti, pasti akan membicarakan masalah ekonomi. Tidak cukup hanya dengan mengatakan: “Jika saya terpilih, saya berjanji akan mengurangi kemiskinan.” Kemudian, sebagai konstituen, rakyat harus bertanya lebih rinci: “Dengan waktu lima tahun dan jumlah dana yang ada, bagaimana cara Anda mengurangi kemiskinan? Apa rencana jangka pendek, menengah, dan panjangnya?”
Jika ada yang mampu menjawab secara detil, jelas, dan terukur,
maka tentunya itulah pemimpin yang kita cari. Aceh saat ini semakin
tertinggal dengan provinsi lain. Dibutuhkan pemimpin dengan kemampuan
teknokrat dan managerial yang kuat untuk membawa Aceh keluar dari
keterpurukan ekonomi. Bukan seorang dengan jumlah massa yang banyak tapi
minim keterampilan.
Sebagai penutup, saya sadar bahwa tulisan ini sangat sensitif secara politik, terutama di masa menjelang pilkada. Namun justru di sinilah letak urgensinya. Inilah masa yang paling tepat untuk mengukur kinerja kepemimpinan dan pemerintahan Aceh. Agar berfungsi dengan baik, demokrasi memerlukan penilaian terbuka dan kebebasan berpendapat. Rakyat harus dibuka matanya dengan fakta-fakta. Jika salah pilih pemimpin di 2017 nanti, maka Aceh akan semakin tertinggal dan rakyat semakin sengsara. Nah!
* Muhammad Mirza Ardi, rakyat Aceh yang sedang belajar di School of Government, The University of Melbourne, Australia. Email: mardi@student.unimelb.edu.au
Sebagai penutup, saya sadar bahwa tulisan ini sangat sensitif secara politik, terutama di masa menjelang pilkada. Namun justru di sinilah letak urgensinya. Inilah masa yang paling tepat untuk mengukur kinerja kepemimpinan dan pemerintahan Aceh. Agar berfungsi dengan baik, demokrasi memerlukan penilaian terbuka dan kebebasan berpendapat. Rakyat harus dibuka matanya dengan fakta-fakta. Jika salah pilih pemimpin di 2017 nanti, maka Aceh akan semakin tertinggal dan rakyat semakin sengsara. Nah!
* Muhammad Mirza Ardi, rakyat Aceh yang sedang belajar di School of Government, The University of Melbourne, Australia. Email: mardi@student.unimelb.edu.au
Terima kasih telah berkunjung di Blog kami! Setelah Anda membaca artikel ini mohon tinggalkan komentar dan jika ingin membagikan atau menyalin isi artikel ini jangan lupa meletakkan sumber link blog http://acehabad.blogspot.com. TERIMA KASIH!
No comments:
Write komentar