MENGAPA TEUKU UMAR PURA-PURA MENYERAH?
“Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang
tokoh yang sulit
dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya...”
dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya...”
Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.
Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar
sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak
kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S
Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh
klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah
peluang besar” (Reid,
2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Foto asli wajah Teuku Umar
Tanggal 8 April 1873 di lepas pantai
Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh.
Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang
terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang
lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh
(Kawilarang, 2008 : 60).
Bagi bangsa Aceh tidak ada kata
lain: Lawan!. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan
petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh
menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan.
Malang bagi Belanda karena sang panglima,
Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser
yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van
Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April
1873.
Berita perang dan kekalahan Belanda diulas
di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873).
Batavia tersentak. Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis
sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu?
Inggris, Perancis atau Amerika?
Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling
menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat
kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera
memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah
(saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April
1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129).
Belanda sempat gemetar tatkala tersiar
kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping
bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19
berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah
menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total.
Dari
Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan
Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian
Keumala.
Saat Citadel menembakan meriam pertamanya,
Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti
layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai
Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia
dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang
itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang
pasti perang menimbulkan penderitaan.
Tetapi perangpun di mata Umar pada
akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan,
penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan
dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.
Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal
dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang
menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan
perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya
tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.
Setelah bermain kucing-kucingan dengan
Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda
tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984
(Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh.
Penyerahan tersebut sangat menyakinkan
karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid
dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat
seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar
tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku
Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat
perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit,
pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di
dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom,
Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga
menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam
dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar.
Lukisan wajah Teuku Umar
Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih
untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli
1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa
senjata, amunisi dan uang tebusan.
Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya
mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda.
Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai
orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung.
Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.
Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.
Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun
1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar
telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia
terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh
Belanda.
Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.
Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.
Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung
menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang
syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan
saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.
Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak
peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka”
untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri
bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan
ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri;
di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas
nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para
pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 :
282).
Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.
Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.
Dari
penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai
Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas
perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain
mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.
***
***
SEJAK 1891 perang Aceh memasuki babak
baru, ditandai dengan peran Snouck Hoergronye, yang terkenal dengan
rekomendasinya: agar dilakukan pengejaran tidak kenal ampun terhadap pejuang
Aceh. Untuk itulah pasukan khusus marsose dibentuk. Hasilnya jelas, pejuang
Aceh mengalami tekanan hebat.
Snouck dengan jeli juga menyimpulkan bahwa
kekuatan utama perang Aceh ada pada ulama, bukan Sultan, bukan pula kaum ulee
balang. Belanda mencoba mengadu domba antara golongan ulama dan ulee balang.
Hasilnya segera nampak, Aceh pecah. Harry
Kawilarang, dengan merangkum berbagai sumber menjelaskan : “Pada tahun 1891,
Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro wafat (diracun oleh anak buah sendiri-Pen)…Serangan
gerilya oleh pasukan aceh berkurang.
Teuku Umar dan sahabat seperjuangan
Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib
Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan.
Begitu juga usaha Chik Kutakarang atau Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro.
Semua dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil hingga timbul
perpecahan” (Kawilarang, 2008 : 119).
Siapakah pemimpin-pemimpin setempat yang
kecil-kecil itu? Tidak lain ulee balang yang bersedia kompromi dengan Belanda.
Dalam situasi seperti ini Teuku Umar pada
akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada September 1893 beserta 13 orang
panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa
penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari
siasat Belanda.
Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan
perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894 Teuku
Umar memperoleh gelar Tuanku Johan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar
Nedherland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu
pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah
bintang emas didadanya (T.umar mengutip Hazil, 1955:97).
Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku
Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan
diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan dengan mengorbankan
kepentingan bangsa.
Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.
Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.
Hal ini membuktikan bahwa Umar punya
ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belandalah yang mampu
mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah
lebih lanjut motif Umar sebenarnya.
Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura”
menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin
menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas
sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar
hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat
Belanda.
Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah
Belanda sebodoh itu dengan bisa ditipu Teuku Umar berkali-kali? Atau mengapa
Cut Nyak Dhien sendiri begitu kecewa dengan menyerahnya Teuku Umar?
Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74), “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.”
Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74), “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.”
Setelah memperoleh jabatan Jenderal, Umar
diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di bagian
wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim. Umar sukses, sebagian memang bukan karena
kemampuan bertempur tetapi lebih karena kemampuan diplomasi.
Umar membentuk persekutuan dengan Teungku
Kutakarang, guru agama terkemuka XXV Mukim. Umar dan Kutakarang sangat
menentang kelompok-kelompok gerilya pimpinan putra-putra Tengku Chik Ditiro
yang berusaha menegakkan hak sabil (Pajak perang) di XXV Mukim, yang merugikan
Teungku Kutakarang. Teungku inilah yang menyebarkan fatwa bahwa melawan Teuku
Umar tidak dapat dianggap sebagai perang suci.
Dukungan fatwa inilah kiranya yang
menyebabkan pasukan Aceh setengah hati melawan Umar, sehingga Umar berhasil
menaklukan sebelas benteng/pos pasukan Aceh untuk Belanda (Reid, 2005 :
296-297).
Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff — Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar.
Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff — Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar.
Hal tersebut memicu rasa iri dari tokoh
Aceh yang terlebih dahulu menyerah, seperti Panglima Muhammad Tibang dan Teuku
Nek Meuraxa. Namun ada perkembangan situasi di lapangan, pada November 1895
Teungku Kutakarang meninggal dunia, ini adalah pukulan berat bagi Teuku Umar,
karena sejak itu para ulama di XXV Mukim mulai berani memprotes cara-cara Umar.
Pada suatu hari Umar mengajukan proposal
untuk menaklukkan benteng Lam Krak, benteng yang dipertahankan oleh pejuang
perempuan Aceh. Proposal disetujui, dan Teuku Umar beserta pasukannya
mendapatkan perlengkapan berupa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg
peledak dan uang tunai 18.000 dollar.
Tetapi rupanya pihak Aceh telah
menyebarkan perang urat syaraf berupa ramalan, bahwa Umar akan tewas saat
penyerbuan ke benteng perempuan. Saya bisa memahami jika Umar terkejut bukan
main, terkait dengan hubungan proposal dan ramalan itu.
Dari mana orang aceh tahu tentang proposal
Lam Krak itu? Umar yang seorang muslim dan kuyup tradisi Aceh tentu percaya
akan ramalan tersebut, apalagi konon ramalan tersebut datang dari ulama besar.
Umar tentu berpikir keras dan
menyimpulkan, amatlah celaka jika ia sebagai muslim mati saat membela Belanda
(kafir). Keislaman Umarpun bangkit, apalagi protes dari Cut Nyak Dhien semakin
tak tertahankan.
Akhirnya Teuku Umar membangkang dari
Belanda dan berbalik ke kaum muslimin Aceh pada tanggal 30 Maret 1896. Aceh
bersorak, Belanda meradang. Sejak itu prestasi tempur Teuku Umar sungguh
mengagumkan. Anthony Reid sendiri mencatat bahwa sejak itu perlawanan Aceh
berada dalam satu komando, yakni Teuku Umar.
Penulis mendapati kisah tentang ramalan
ini berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis
tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan
catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid,
2005 : 297 catatan kaki no.64).
Motif inilah yang tidak diungkap dalam
sejarah kita. Padahal hal ini penting untuk mengungkap karakter pahlawan kita
ini.
Pada titik ini penulis menyimpulkan bahwa
Teuku Umar sebelum membangkang dari Belanda telah mengalami proses psikologis
yang berliku, dimulai dari meninggalnya Teungku Kutakarang (guru sekaligus
pelindungnya), kritikan dari istrinya (Cut Nyak Dhien) yang bertubi-tubi, dan
ketakutan akan kebenaran ramalan yang bermuara pada bangkitnya rasa keislaman.
Apapun motif dan ambisi Teuku Umar,
Penulis tetap menghargai perannya. Disaat tokoh lain di seluruh Nusantara
selalu dikibuli Belanda, Umarlah satu-satunya yang mampu menipu Belanda, bukan
sekali, tetapi beberapa kali. Disinilah letak kehebatan pahlawan kita yang satu
ini, selebihnya wallahualam...
***
Diplomat Aceh, Habib Abdur Rahman
Az-Zahir, setelah gagal meyakinkan Turki Utsmaniah akhirnya kembali ke Aceh dan
memimpin perlawanan, namun gagal, putus asa dan menyerah pada Belanda tanggal
13 Oktober 1878, sebagai imbalannya Belanda mengangkutnya ke Jeddah dan
memberinya uang pensiun sebesar $1.000 per bulan.
Pemimpin Teunom, Teuku Imam akhirnya
memperoleh uang tebusan $10.000 dalam kasus S.S Nissero, dan sejak itu menjadi
kaki tangan setia Belanda.
Sejak pembangkangannya tanggal 30 Maret
1896, Belanda memutuskan Teuku Umar tidak bisa dipercaya lagi. Perang sengit
terjadi sampai akhirnya Umar terbunuh oleh penyergapan pasukan marsose pada 11
Februari 1899.
Snouck Horgronye akhirnya menjadi
‘muslim’, setidaknya ia pernah dua kali menikah secara islam dengan mojang
Sunda. Dr. P.S. Koningsvled (wawancara Kompas 6 Februari 1983, saya mengutipnya
dari Seri Buku Tempo, 2011) menuturkan bahwa keluarga Kalifah Apo –mertua
Snouck– yakin benar dengan keislaman Snouck lahir batin.
Koningsvled juga sempat bertemu dengan
Raden Yusuf – anak Snouck dari perkawinan dengan Siti Saidah – yang menuturkan
bahwa ibunya yakin dengan mutlak bahwa Snouck telah menjadi muslim ‘sejati’.
Snouck disebut rajin sembahyang, puasa dan juga telah disunat.
Apakah juga sebuah kebetulan, jika jumlah
senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diserahkan kepada AMM untuk mengakhiri
konflik dengan Indonesia ternyata sama dengan jumlah senjata Teuku Umar saat
membelot dari Belanda, yakni 880 pucuk?
Sekali lagi, Wallahu’alam...
Sekali lagi, Wallahu’alam...
By: @atjehcyber — http://www.atjehcyber.net/2011/12/umar-jejak-tipuan-sang-petualang-2.html#ixzz2woRoG02z
No comments:
Write komentar