Semoga Para Elit Politik Aceh Sekarang Masih Ingat Akan Hal Ini.
MERILIS SEJARAH DOM ACEH "BIDADARI HITAM"
Oleh Pilo Poly (*
PADA 2007 lalu, terbit sebuah novel berjudul Bidadari Hitam. Novel yang
ditulis secara jurnalistik ini mengisahkan masa-masa konflik di Aceh
yang tak pernah habisnya. Inong, Ahya, dan Mak Santan adalah orang-orang
yang dijadikan tokoh sentral dalam novel. T.I. Thamrin. Penulis novel
ini tidak semata-mata merekayasa dalam tulisannya. Beliau begitu piawai
meracik kisah-kisah nyata agar dibaca oleh khalayak. Hal-hal yang tak
berani ditulis oleh pengarang lain dimasanya.
Di dalam Meunasah, turun tergesa seseorang yang bernama Tengku Murad. Karena mendengar aba-aba agar yang di dalam turun dari tentara, maka Tengku Murad itu menyuruh semua yang ada dalam Meunasah agar turun dengan tangan di atas. Tapi sial! Karena berbicara dalam bahasa Aceh, sebuah pukulan bersarang telak di wajahnya.
“Asu! Jangan ngomong Aceh! Kalau ngomongin lain, beri isyarat atau aba-aba. Mana aku paham?!” (Hal. 3).
Setelah itu, novel ini akan membawa kita untuk lebih fokus pada satu tokoh. Yaitu Inong. Perempuan ini dipungut oleh suami Mak Santan dari sebuah ladang pembantaian di Pidie belasan tahun lalu ketika Operasi Jaring Merah – sebutan untuk Daerah Operasi Militer (DOM). Ibunya, mati bunuh diri di depan pos tentara yang setiap malam mengambilnya di rumah untuk diperkosa beramai-ramai.
“Ketika kakekmu mengunjungi rekan dagangnya di sana, ia mendengar tentang nasib nasib Inong. ia kasihan, dan ingat bahwa kamu meminta adik. Ia membawa pulang kamari.” (Hal. 163).
Inong bertambah duka saat mengetahui bahwa rasa sukanya pada Ahya, kakak angkatnya itu, tidak direstui orang oleh Mak Santan dan keluarga lain. Ia pun sadar diri karena telah menumpang tinggal dan hidup di rumah Mak Santan. Dengan segala pertimbangan, malam itu, setelah menjeguk Mak Santan dan Ahya di kamar mereka, Inong memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Ia menyelinap dari kebun ke kebun untuk menghidar dari orang yang mengenanlnya. (Hal. 172).
Inong sampai di rumah neneknya di Paya Lhok. Walau neneknya itu enggan menerima kehadiran Inong karena dianggap anak haram, bagi Inong hanya Nek Sada keluarga yang tersisa satu-satunya. Ketika sampai di rumah Aceh itu, Inong menemukan hal yang tak pernah dipikirkannya. Inong mencium bau anyir darah. Meunasah yang kosong, rumah yang di silang warna merah. Lebih tragis, ia melihat neneknya terbaring di lantai berdebu dan masih meneteskan darah yang ke luar dari lubang sebesar jempol kaki di dada kirinya Nek Sada. (Hal, 181).
Inong berteriak meminta tolong, tapi yang datang segerombal aparat. Ia di bawa ke salah satu tempat bernama Rumoh Geudong. Di sana, Inong diperlakukan secara tidak manusiawi oleh tentara. Di perkosa bergiliran. Di Rumoh Geudong ini, Inong bertemu seorang aktivis LSM bernama mawar, ia ditangkap karena dituduh sebagai seorang Inong Balee. Antara bersyukur dan dendam, penderitaan Inong dan tawanan lain berakhir saat Rumoh Geudong di bakar massa. (Hal. 189).
Setelah rumah itu di bakar massa karena kemarahan masyarakat. Inong memilih untuk tinggal dengan salah satu tahanan lain di daerah Ateuk Munjeng. Di rumah ini, Cutwa, seorang janda yang suaminya meninggal disiksa di Rumoh Geudong, khawatir melihat kondisi Inong, Cutwa menceritakan perihal itu pada Geubrina, seorang Mahasiswi Kedokteran Unsyiah. Dengan bantuan Geubrina, ketahuanlah bahwa Inong positif mengidap HIV/AIDS akibat perkosaan yang dialaminya selama berada di Rumoh Geudong yang dilakukan tentara. (Hal. 206).
Takut penyakit yang dideritanya menular, Inong kambali meninggalkan rumah Cutwa. Ia kabur ke Lhoknga dan menyewa salah satu kamar di perumahan penduduk dengan niat akan menyebarkan penyakit yang dideritanya pada tentara yang ada di sana. Laila, Indrajit, dan Joni, adalah orang-orang terakhir yang ia kenal sebelum daerah itu dihempas gelombang tsunami. Dan Inong ada di antara gelombang dahsyat itu. (Hal. 234).
Tidak bisa dikesampingkan bahwa, seorang T.I. Thamrin dengan segala teknik penulisannya membuat kita tak bisa luput dari kata per kata. Jujur, ketika pertama kali saya baca Novel ini, pikiran saya langsung dibawa pada satu tempat terdahulu bahwa di tanah Aceh yang tak pernah berhenti bergolak, darah dan perjuangan adalah atribut yang harus ditela’ah secara lebih mendalam. Kenapa, apa, dan bagaimana membuat sebuah permasalahan cepat reda. Tidak dengan mengandalkan bala tentara.
T.I. Thamrin hanya menceritakan seorang tokoh dalam novelnya, yaitu Inong. Dalam keadaan nyata, Inong di Aceh adalah panggilan untuk perempuan. Dan jika ingin merangkul lebih jauh, Inong dalam pemahaman saya dalam novel ini tidak mengacu pada satu perempuan. Karena banyak sekali perempuan yang menderia semasa DOM diberlakukan di Tanah Rencong.
Maka, dengan adanya novel ini. Patut bagi muda-mudi yang ada di Aceh, dan umumnya di Indonesia agar mau membaca sejarah. Bukan untuk mengenang masa lalu. Atau untuk mengarungi kembali perang yang sudah reda. Namun, kita memang harus tahu sejarah agar nanti bijak bertindak. Perang memang butuh pejuang. Tapi ketika intelektual berbicara, perang hanyalah kata-kata. Buku ini wajib dibaca, agar sejarah tidak lagi ternoda.[]
***
Judul : Bidadari Hitam
Penulis : T.I. Thamrin
Penerbit : Imparsial dan AJMI; 2009
Tebal : vi + 252 hal
Resensor : Pilo Poly
ISBN : 9789799769510
Pilo Poly adalah nama pena dari Saifullah S. Lelaki berdarah Aceh ini sekarang menetap di Bekasi. Puisinya sudah pernah dipublikasikan di media lokal maupun Nasional. Cerpennya termaktub dalam beberapa antologi bersama seperti Cinta Dalam Koper (2011), Jatuh Cinta Pada Palestina (2012), Kembar Tujuh (2011). Buku puisi tunggalnya Yusin dan Tenggelamnya Keadilan akan segera terbit. Pilo bergiat di Cendol (Cerita Nulis Diskusi Online)
(*/ATJEHCYBER)
No comments:
Write komentar