Thursday, March 10, 2016

Kisah Raja Angkasah, Perlawanan Rakyat Bakongan Melawan Belanda

Teuku Raja Angkasah, mendeklarasikan perang melawan Kompeni Belanda. Hingga akhirnya syahid di Buket Gadeng, Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan, 25 Oktober 1925.
Postur tubuhnya memang kecil, tapi bukan berarti tidak punya nyali dan keberanian. Sejak kecil, sahabat Teuku Cut Ali ini, sudah memiliki keberanian dan kelebihan. Kelihaian dalam memainkan pedang, menjadikan putra dari Teuku Abdurrahman itu disegani kawan-kawan seperjuangannya. Belanda menjulukinya sebagai “Harimau Sumatera” karena keperkasaannya.

Teuku Raja Angkasah mulai memimpin perang melawan marsose Belanda awal tahun 1925. Dalam perang tersebut, banyak marsose Belanda tewas ditangan Raja Angkasah. Hampir setiap hari, ada marsose Belanda yang terbunuh. Keadaaan ini, jelas membuat militer Belanda gusar dan gamang, hingga berujung didirikannya markas marsose Belanda di Bakongan.


Sebelumnya, markas marsose khusus itu hanya ada lima di Aceh, yaitu di Indrapuri (Aceh Besar), Jeuram (Aceh Barat), Tangse (Pidie), Peurelak (Aceh Timur), dan di Takengon (Aceh Tengah). Perang di Bakongan, adalah perang yang paling sulit dan menakutkan bagi marsose Belanda. Maklum, banyak marsose Belanda yang ditugaskan di wilayah ini hanya tinggal nama.

Istilah “Kapal Putih”, momok yang menakutkan bagi Marsose Belanda. Bayangkan, hampir setiap minggu mayat-mayat marsose Belanda diangkut dengan kapal tersebut dari Bakongan menuju Kuta Raja (Banda Aceh) untuk dikuburkan di Komplek Perkuburan Kerkoff di Setui, Banda Aceh. Itulah salah satu bukti dari keganasan Raja Angkasah dalam membasmi Belanda.

Menurut Teuku Ramli Angkasah, putera kandung Raja Angkasah. Ada beberapa penyebab Ayahandanya bertempur melawan Marsose Belanda. Pertama, sikap Belanda yang mulai mencengkram wilayah Aceh, kedua pendirian Tangsi Militer di Bakongan.

Ketiga, sikap Belanda yang mengadu domba keluarga Hulubalang Bakongan. Keempat terbunuhnya Ayahanda Teuku Raja Angkasah, yaitu Teuku Abdurahman yang merupakan hasil provokasi Belanda dan antek-anteknya di Bakongan. Dan yang terakhir, Belanda ingin memperkuat basis di Bakongan dengan melemahkan peran Hulubalang.

Perang Bakongan termasuk bagian Perang Aceh yang sangat menguras enerji maupun biaya bagi pihak Belanda, termasuk menewaskan Prajurit Belanda yang sedemikian banyak diantaranya terdapat beberapa Jenderal Belanda.

Teuku Raja Angkasah memiliki cara yang unik saat bertempur dengan Belanda. Strategi yang digunakan Teuku Raja Angkasah dalam Perang Bakongan adalah :
  1. Sebelum bertempur Teuku Raja Angkasah senantiasa mengirimkan surat tantangan kepada Marsose Belanda untuk melakukan pertempuran di suatu tempat. Strategi ini merupakan bentuk perang urat syaraf (psywar) untuk menjatuhkan mental pihak lawan.

  2. Mengingat keunggulan Teuku Raja Angkasah dalam bermain pedang dan keterbatasan persediaan senapang mesin yang dimilikinya, Teuku Raja Angkasah sering menawarkan untuk bertanding pedang dengan Komandan Marsose Belanda, diantaranya Kapten Paris yang dikenal sebagai Singa Afrika dan sebelumnya pernah menjadi Komandan Pasukan Belanda di Afrika Selatan. Teuku Raja Angkasah unggul dalam pertandingan pedang ini. Keunggulan Teuku Raja Angkasah dalam bermain pedang ini adalah kemampuannya untuk meloncat seolah-olah melayang sambil mengayunkan pedangnya kepihak musuh.

  3. Melakukan jebakan dengan menggunakan tali pada jalur-jalur yang dilalui oleh Pasukan Marsose Belanda. Saat Marsose Belanda terperangkap pada tali-tali tersebut maka Teuku Raja Angkasah bersama Pasukannya melakukan penyerbuan dan menghabisi para Marsose tersebut.

  4. Teuku Raja Angkasah bersama pasukannya menunggu di puncak bukit (Bukit Gading di Hulu Bakongan). Dikaki Bukit terletak sungai yang dilalui Belanda. Saat Belanda menyeberang sungai maka Teuku Raja Angkasah bersama pasukannya akan menyerbu dari atas sehingga membuat Pasukan Marsose Belanda kocar-kacir.

  5. Berkoordinasi dengan pejuang lainnya diantaranya Teuku Cut Ali dan Teuku Datuk Raja Lelo untuk mengatur posisi secara menyebar sehingga menyulitkan pihak Belanda.


Belanda, kebingungan dan kewalahan atas perlawanan yang dilakukan Raja Angkasah beserta panglima perangnya. Acap kali, setiap peperangan berlangsung banyak marsose Belanda yang gugur. Berbagai cara pun dilakukan, agar Raja Angkasah dan pengikutnya dapat dilumpuhkan.

Kompeni Belanda, menyebut Teuku Angkasah sebagai Teuku Angkasa. Itu dikarenakan, kemahirannya melompat dan melayang sambil mengayunkan pedang. Belanda hampir kehilangan akal untuk melumpuhkan “Harimau Sumatra” tersebut. Hingga akhirnya, Komando Pusat Belanda di Batavia (Jakarta), mengirim Kapten Paris ke Bakongan.

Kapten Paris, yang di juluki “Singa Afrika” khusus dikirim untuk melumpuhkan kekuatan Raja Angkasah dan pejuang lain. Sebelumnya, Kapten Paris pernah memimpin pasukan Belanda di Afrika Selatan dan terkenal dengan ketangguhannya bermain pedang.

Diutusnya Kapten Paris ke Bakongan, tak membuat Raja Angkasah gentar dan takut. Untuk membuktikan kehebatan Kapten Paris, Raja Angkasah menantangnya satu lawan satu. Ajakan itu, tentu diterima Kapten Paris dengan senang hati. Sebaliknya, Kapten Paris, juga ingin membuktikan kehebatan Teuku Raja Angkasah.

Tanding pedang Teuku Raja Angkasah versus Kapten Paris pun berlangsung alot. Singa Afrika tersebut kewalahan menghadapi kelincahan Raja Angkasah dalam memainkan pedang. Hingga akhirnya, Kapten Paris terluka parah. Namun, Teuku Raja Angkasah tidak langsung membunuhnya.

Kapten Paris diberi kesempatan untuk memulihkan diri sampai sembuh. Dan setelah itu ditantang lagi untuk bertanding pedang. Namun, adu pedang yang kedua ini tidak dilakukan, karena Marsose Belanda mempunyai strategi lain.

Marsose Belanda, yang licik dan mahir tipu muslihat, menjebak Teuku Raja Angkasah beserta tiga panglimanya. Pengepungan di Buket Gadeng itu, melibatkan puluhan marsose Belanda dengan senjata lengkap. Diawali dengan adanya seorang pengkhianat yang mengantarkan makanan.

Kemudian pengkhianat ini dari belakang diikuti oleh Pasukan Marsose Belanda, saat Teuku Raja Angkasah bersama Panglimanya menyantap makanan yang diduga telah diracun untuk melemahkan badan, Pasukan Marsose Belanda melakukan penyergapan. Marsose Belanda dengan jumlah lebih banyak - puluhan orang - dan bersenjata lengkap menyerbu posisi kemah Teuku Raja Angkasah bersama 3 orang Panglimanya.

Marsose Belanda, yang licik dan mahir tipu muslihat, menjebak Teuku Raja Angkasah beserta tiga panglimanya. Pengepungan di Buket Gadeng itu, melibatkan puluhan marsose Belanda dengan senjata lengkap. Tembakan dilepaskan secara bertubi-tubi, mengenai tubuh Raja Angkasa dan tiga panglimanya.

Dalam kondisi terdesak ini Teuku Raja Angkasah sempat menggunakan karabinnya (senapang tua). Karena terus ditembakan karabin itu menjadi sangat panas, kemudian Teuku Raja Angkasah membuka sorbannya untuk membalut karabin yang panas tersebut sambil mulutnya mengeluarkan sumpah serapah kepada Marsose Belanda.
 Sebetulnya beberapa peluru telah mengenai badan Teuku Raja Angkasah namun beliau masih bertahan. Saat dalam keadaan terdesak tersebut beliau masih terus melakukan perlawanan. Namun kemudian peluru habis dan beliau kemudian berteriak memaki Pasukan Marsose Belanda sambil mencoba menggunakan pedangnya untuk menyerbu Marsose Belanda sambil mencoba menggunakan pedangnya untuk menyerbu Marsose.

Pada saat inilah seorang penembak jitu dari Pasukan Marsose Belanda berhasil menembakan satu peluru menembus ke mulut beliau sehingga ajal pun menjemputnya. Dia syahid bersama tiga panglimanya. Salah satu panglimanya hanyut terbawa arus sungai saat marsose Belanda membombardir tempat persembunyian Teuku Raja Angkasah dan panglimanya.

Setelah syahid, pihak Belanda ingin memenggal kepala Teuku Raja Angkasah dan dibawa ke Kuta Raja. Kepala Teuku Raja Angkasah, akan diperlihatkan kepada Pejabat Tinggi Kolonial Belanda, sebagai bukti Raja Angkasah telah dilumpuhkan.

Namun, Raja Bakongan, yang saat itu dijabat pamannya (dalam bahasa Aceh Ayahcut—red) berhasil mencegah. Akhirnya Teuku Raja Angkasah dan panglimanya dimakamkan di Buket Gadeng.

Perang Belanda di Bakongan yang dipimpin Teuku Raja Angkasah, membuktikan bahwa perang di Aceh tidak pernah berakhir, meskipun Sultan Aceh telah tertangkap Belanda pada tahun 1904. Setelah tahun 1904 masih banyak terjadi perang melawan Belanda di Aceh. Salah satunya adalah perang di Bakongan yang membuat Teuku Raja Angkasah syahid bersama tiga panglimanya. Jadi, sesungguhnya, Belanda tidak pernah menguasai Aceh, namun yang terjadi, perang terus menerus antara Aceh dengan Belanda. Mengenai tahun dan wafatnya Teuku Angkasah, ada beberapa pendapat. Sebagian mengatakan 25 Oktober 1925, lainnya 25 Oktober 1928. Begitulah catatan sejarahnya.

No comments:
Write komentar