Hasan Tiro, Sang Pengembara
Keu gata ulôn bri nasihat bèk ta peubuët laén nibak ta muprang. Keu
gata ulôn bri nasehat bek ta mita damè teutapi ta mita meunang. Buët
gata njankeuh prang. Damè gata njankeuh meunang. (You I advise not to
work, but to fight. You I advise not to peace, but to victory. Let your work be fight, let your peace be a victory!)
Kutipan di atas saya kutip dari bagian awal buku Yum Merdeka, Seunurat Njang Gohlom Lheuh Nibak Teungku Hasan Tiro (The Price of the Freedom: The Unfinished History of Teungku Hasan di Tiro). Dalam bukunya, Hasan Tiro menulis, bahwa keputusannya pulang ke Aceh untuk mengobarkan perang kemerdekaan dan membebaskan Aceh banyak dipengaruhi setelah membaca buku Nietzsche, Also Sprache Zarathustra.
Kutipan di atas saya kutip dari bagian awal buku Yum Merdeka, Seunurat Njang Gohlom Lheuh Nibak Teungku Hasan Tiro (The Price of the Freedom: The Unfinished History of Teungku Hasan di Tiro). Dalam bukunya, Hasan Tiro menulis, bahwa keputusannya pulang ke Aceh untuk mengobarkan perang kemerdekaan dan membebaskan Aceh banyak dipengaruhi setelah membaca buku Nietzsche, Also Sprache Zarathustra.
Sebelum membaca buku itu, sebenarnya cucu dari pahlawan Teungku Syik di
Tiro ini sedang galau dan gundah-gulana. Meski mengaku, tekad dan
niatnya sudah bulat, namun hatinya diliputi kegelisahan: berat baginya
meninggalkan kehidupan mewah di Riverdale, New York dengan menjadi
pemimpin gerilya di rimba Aceh. Tapi, beberapa hari sebelum
keberangkatan ke Aceh, Tiro mendapatkan petunjuk dari Allah, dari tempat
yang tak disangka-sangka.
“Suatu hari, ketika saya sedang berjalan-jalan di Fifth Avenue di New York, saya masuk ke dalam satu toko buku dan saya melihat buku Nietzsche (filsuf Jerman), Also Sprache Zarathustra. Ketika saya buka, saya dapati satu bab Pengembara,” tulis Tiro dalam buku diary yang tak pernah selesai itu.
Dalam bukunya, Hasan Tiro mengutip bab “Pengembara” ini secara
cukup panjang. Hal ini cukup wajar, karena Tiro merasa apa yang ditulis
itu seperti ditujukan untuk dirinya. Apa yang ditulis oleh Nietzsche
itu, kata Tiro, seperti petir di siang hari, dengan kilat yang
terang-benderang.
“Buku ini seperti menuntun jalan mana yang mesti saya pilih, serta menjadi obat untuk menghilangkan kegelisahan dan perasaan ragu-ragu dalam hati saya,” sambungnya.
Setelah puas membaca buku itu, lanjut Tiro, semua keraguaan yang dialaminya menjadi terang-benderang, seperti tak pernah terjadi sebelumnya. Pun begitu, Tiro, mengaku keputusannya memilih pulang ke Aceh dan memimpin perang gerilya bukan perkara mudah.
“Saya ambil keputusan ini dengan hati yang pedih dan berat bukan
main. Tapi ini sebuah kewajiban sejarah yang wajib saya pikul, sudah
tiba masanya beban ini harus saya emban,” jelasnya.
Bagi Tiro tak ada lagi jalan mundur untuk memikul tanggung jawab yang besar ini, meski dia berada di sebuah negeri yang jauhnya bermil-mil dari Aceh, serta dilarang oleh pemerintah Indonesia untuk kembali ke Aceh.
“Ada seribu alasan yang muncul supaya saya tidak melakukan kewajiban sejarah itu, tapi ke seribu alasan itu saya tolak. Alasan-alasan itu tak sesuai dengan Quran, Sunnah dan endatu,” tambahnya. Saya sendiri merinding tiap kali membaca tulisan-tulisan pendiri Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) ini.
Coba simak baik-baik pengantar di bukunya itu.
“Buku ini (The Price of Freedom, pen) saya tulis ketika sedang bersiap-siap untuk mati, syahid—sebagai saksi untuk satu cita-cita yang sudah disucikan oleh darah endatu yang sudah tumpah sebelumnya, dan juga darah pahlawan-pahlawan Aceh Merdeka baru-baru ini yang mengikuti perjuangan saya,” tulis pria kelahiran Tanjong Bungong, Pidie ini.
Garis sejarah itu, bagi dia, tak perlu disesali. Apalagi, katanya, harga sebuah barang bukan ditentukan oleh apa yang bisa kita lakukan dengan barang itu, melainkan oleh berapa harga yang akan kita bayar untuknya.
Menurutnya, keinginan untuk merdeka berarti, kita sudah mengambil sebuah tanggung-jawab atas diri kita, atas bangsa kita dan atas Negara kita. Merdeka berarti kita memisahkan diri dari bangsa lain. Merdeka bermakna bahwa kita tidak lagi takut susah, payah, bahaya, sakit atau mati.
“Siapa pun yang sudah belajar bagaimana caranya mati, dia tidak bisa lagi menghambakan diri (peulamiet daroe) pada orang lain atau bagaimana hidup di bawah penjajahan bangsa lain,” kata pria yang pernah kuliah di Columbia University.
Jadi, simpulnya, siapa pun yang ingin hidup merdeka maka tidak boleh tidak dia haruslah berperang, dan mau mati syahid untuk mempertahankan kemuliaan itu.
“Ureuëng merdehka njankeuh ureuëng njang tém muprang (The free man is a warrior),” ujar Hasan Tiro, proklamator Gerakan Aceh Merdeka ini, seperti mengamini apa yang sudah ditulis oleh Nietzsche, yang dikutip di awal tulisan ini. []
“Suatu hari, ketika saya sedang berjalan-jalan di Fifth Avenue di New York, saya masuk ke dalam satu toko buku dan saya melihat buku Nietzsche (filsuf Jerman), Also Sprache Zarathustra. Ketika saya buka, saya dapati satu bab Pengembara,” tulis Tiro dalam buku diary yang tak pernah selesai itu.
“Buku ini seperti menuntun jalan mana yang mesti saya pilih, serta menjadi obat untuk menghilangkan kegelisahan dan perasaan ragu-ragu dalam hati saya,” sambungnya.
Setelah puas membaca buku itu, lanjut Tiro, semua keraguaan yang dialaminya menjadi terang-benderang, seperti tak pernah terjadi sebelumnya. Pun begitu, Tiro, mengaku keputusannya memilih pulang ke Aceh dan memimpin perang gerilya bukan perkara mudah.
Stensilan Hasan Tiro | Yuswardi AS |
Bagi Tiro tak ada lagi jalan mundur untuk memikul tanggung jawab yang besar ini, meski dia berada di sebuah negeri yang jauhnya bermil-mil dari Aceh, serta dilarang oleh pemerintah Indonesia untuk kembali ke Aceh.
“Ada seribu alasan yang muncul supaya saya tidak melakukan kewajiban sejarah itu, tapi ke seribu alasan itu saya tolak. Alasan-alasan itu tak sesuai dengan Quran, Sunnah dan endatu,” tambahnya. Saya sendiri merinding tiap kali membaca tulisan-tulisan pendiri Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) ini.
Coba simak baik-baik pengantar di bukunya itu.
“Buku ini (The Price of Freedom, pen) saya tulis ketika sedang bersiap-siap untuk mati, syahid—sebagai saksi untuk satu cita-cita yang sudah disucikan oleh darah endatu yang sudah tumpah sebelumnya, dan juga darah pahlawan-pahlawan Aceh Merdeka baru-baru ini yang mengikuti perjuangan saya,” tulis pria kelahiran Tanjong Bungong, Pidie ini.
Garis sejarah itu, bagi dia, tak perlu disesali. Apalagi, katanya, harga sebuah barang bukan ditentukan oleh apa yang bisa kita lakukan dengan barang itu, melainkan oleh berapa harga yang akan kita bayar untuknya.
Menurutnya, keinginan untuk merdeka berarti, kita sudah mengambil sebuah tanggung-jawab atas diri kita, atas bangsa kita dan atas Negara kita. Merdeka berarti kita memisahkan diri dari bangsa lain. Merdeka bermakna bahwa kita tidak lagi takut susah, payah, bahaya, sakit atau mati.
“Siapa pun yang sudah belajar bagaimana caranya mati, dia tidak bisa lagi menghambakan diri (peulamiet daroe) pada orang lain atau bagaimana hidup di bawah penjajahan bangsa lain,” kata pria yang pernah kuliah di Columbia University.
Jadi, simpulnya, siapa pun yang ingin hidup merdeka maka tidak boleh tidak dia haruslah berperang, dan mau mati syahid untuk mempertahankan kemuliaan itu.
“Ureuëng merdehka njankeuh ureuëng njang tém muprang (The free man is a warrior),” ujar Hasan Tiro, proklamator Gerakan Aceh Merdeka ini, seperti mengamini apa yang sudah ditulis oleh Nietzsche, yang dikutip di awal tulisan ini. []
No comments:
Write komentar