Anggap Rel Kereta Api Lebih Penting Ketimbang Bendera Aceh, Surya Paloh Dikirimin Surat Terbuka
Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan bahwa urusan bendera dan
lambang Aceh hanyalah hal yang biasa-biasa saja dan bukan prioritas.
Seperti yang diberitakan di salah satu media lokal Aceh, Ketua Partai
Nasdem itu mengatakan rel kereta api lebih penting dibandingkan lambang
dan Bendera.
Surya Paloh
Saya kepingin lah ada rel kereta api
cepat di Aceh. Daripada bendera, lebih baik (memperjuangkan) kereta api
cepat, begitu kira-kira,” kata Surya.
Pernyataan tersebut sangatlah
disayangkan, padahal dibalik simbol-simbol setiap daerah mempunyai arti
filosofis yang sangat mendalam dan juga mendeskripsikan identitas
kebangsaan daerah tersebut. Pernyataan Ketua Parpol yang merupakan
pengusaha media itu tentu saja menyinggung perasaan rakyat Aceh yang
telah susah payah memperjuangkan adanya lambang dan bendera sebagai
identitas ke-Acehan.
Sikap dari Surya Paloh ini mendapatkan
reaksi keras dari para legislator Aceh yang tergabung dalam forum
bersama legislator Partai Aceh Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh. Halim
Abe Juru bicara forum bersama legislator PA pun menulis surat terbuka
kepada Surya Paloh. Berikut isi surat terbuka tersebut
Assalamu’alaikum Bung Surya…
Kemarin kami iseng-iseng membahas
tentang pernyataan bung “menentang politik bendera” di sebuah media
online yang dilakukan oleh perwakilan rakyat dan Pemerintah Aceh sebagai
perwakilan pemerintah pusat di Aceh, yang menurut bung bukan prioritas
dan menghabiskan energi saja, tentu sangat menarik pernyataan bung
sebagai salah seorang tokoh politik nasional yang dengan gamblang dan
tegas men-judge Pemerintah Aceh “kurang kerjaan” atau mis-orientasi dan
mubazir.
Sebagai perwakilan rakyat yang
tergabung dalam forum bersama legislator Partai Aceh DPR kabupaten dan
kota ban sigom Atjeh, tentu menarik bagi kami mencermati pernyatan bung
yang tanpa merasa bersalah menuduh kami memakai jurus mabuk yang
dianggap oleh masyarakat sudah usang. Tentu kami tidak perlu bertanya
masyarakat mana yang Bung maksud. Walaupun sangat jelas, sebagai
legislator di tiap kabupaten dan kota jumlah kami 181 orang dengan
perbandingan setiap kursi yang diperoleh oleh legislator Partai Aceh
rata-rata “bukan kursi patah” dengan harga rata-rata lebih kurang 5.000
per-orang. Itu belum termasuk DPRA dan persentase kemenangan pasangan
Zikir di Pilkada yang lalu.
Kami tidak akan bertanya masyarakat
mana yang bung maksud, karena kita sama-sama punya partai. Kami hanya
mencoba untuk memakluminya, karena di akhir pernyataan bung juga
menyiratkan seakan-akan Bung-lah yang lebih mengenal Tuhan dan lebih
memahami hakikat kesederhanaan Aceh.
Bung juga menyiratkan bukanlah orang
yang suka dengan retorika politik. Jadi kami tidak mungkin membantah
Bung, karena kami yakin kawan-kawan bung sesama tokoh politik di tingkat
nasional juga sudah paham, bahwa bung adalah tokoh yang bisa dijadikan
panutan baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Bung Surya…
Bagi kami legislator dari Partai
Aceh selaku perwakilan masyarakat di tiap kabupaten dan kota punya
tanggungjawab moral yang lebih besar untuk terus mengawal implementasi
MoU Helsinki secara menyeluruh. Karena dengan begitulah damai akan
abadi. Bagi kami, perkara kesejahteraan harus sejalan dengan perkara
keamanan, tidak boleh ada yang didahulukan atau sebaliknya. Entah
menurut Bung.
Bung Surya, dengan tanpa mengurangi
rasa hormat terhadap luasnya pengetahuan yang bung miliki, ada beberapa
hal yang ingin kami sampaikan:
Bahwa, bagian terpenting dari
sebuah kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan sendiri.
Mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang tidak kita ketahui.
Mengetahui apa yang kita pahami dan apa yang tidak dipahami oleh orang
lain. Mengetahui apa yang kita ucapkan dan efek dari ucapan tersebut
terhadap orang lain.
Bahwa, gebrakan yang kami lakukan
bersama DPRA bukanlah jurus mabuk untuk memenangkan pemilu seperti yang
bung tuduhkan. Karena kalau hanya untuk memenangkan seorang gubernur,
tanpa ini pun Insya Allah kami pasti menang. Tetapi lebih pada
kekhawatiran terhadap nasib perdamaian bila UUPA tidak berjalan
sebagaimana mestinya setelah satu dekade berlalu tanpa makna.
Bahwa, bendera dan lambang
bukanlah permainan issu untuk memperluas kekuasaan. Tapi seperti bung
dan yang lainnya tahu, Qanun Nomor 3 tahun 2013 telah dijadikan lembaran
daerah, tapi sampai sekarang tidak bisa dilaksanakan. Jadi untuk bung
ketahui, kami mendesak hal ini bukan karena “bendera-nya” saja, tapi
untuk menyelamatkan kewenangan, marwah dan kewibawaan Pemerintah Aceh
sesuai dengan komitmen perdamaian.
Bahwa, nota kesepahaman yang
ditandatangani oleh GAM dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki
tidak hanya membangun kesepahaman di bidang politik dan hukum. Tapi juga
kesepakatan untuk memahami faktor psikologis orang-orang yang terlibat
semasa konflik. Jadi menurut kami, MoU Helsinki adalah sebuah
kesepahaman yang tidak boleh ditela’ah sembarangan dengan kacamata
hukum, sosial dan budaya. Konon lagi kacamata orang buta. Biasnya pemahaman aktor politik
dalam memahami substansi permasalahan, membuat mereka melihat orang lain
dari posisi mereka masing-masing, menterjemahkan sendiri dengan tujuan
masing-masing pula, sehingga mereka memandang MoU seperti ureueng pajoh
keukarah. Tidak penting bagaimana keukarah itu terajut yang penting
mengenyangkan. Inilah salah satu faktor yang sering menimbulkan polemik
yang berkepanjangan.
Bahwa, persoalan bendera adalah
persoalan yang phui ta kalon ghon ta tijik. Bung Surya menganggap
bendera bukanlah sebuah azimat yang mengenyangkan. Bahkan Bung menghujat
Pemerintah Aceh salah dalam menerapkan skala prioritas. Tapi Bung
Surya, pemerintah Pusat dan kita semua tidak boleh lupa, bahwa
perdamaian ini sebenarnya masih menyisakan luka yang mendalam di hati
para kombatan.
Tidak semua dari mereka mampu dan
mau memahami geliat dan proses sebuah perdamaian. Bukankah Bung sudah
merasakannya sendiri kejadian di Kantor Nasdem Pirak Timu, Aceh Utara
beberapa waktu yang lalu?
Doktrinisasi perlawanan bersenjata
yang telah melekat di hati para pejuang selama puluhan tahun, tidaklah
semudah menghapus debu dibingkai foto.
Kami pikir, perjanjian damai ini
bukan hanya telah memaksa mereka untuk memutuskan hubungan dengan masa
lalu, tapi juga telah melucuti kemampuan kita sendiri untuk memahami
pelajaran terpenting dari masa lalu. Dimana degenerasi lapisan penguasa
di negara kita dari masa ke masa selalu memunculkan sebuah ide perubahan
yang dibangun atas dasar ketidakikhlasan dan ketidak percayaan terhadap
masyarakat Aceh. Maka sudah saatnya kita yang menginginkan perdamaian
yang abadi merubah paradigma tersebut dengan saling menghargai atas apa
yang telah kita sepakati bersama.
Bung Surya, hidup di tengah
perdamaian yang tidak jelas arahnya tentu akan memberi kita banyak
persoalan dan pelajaran. Kami melihat persoalan bendera ibarat pemantik
yang sangat potensial menjadi penyulut terulangnya konflik. Kami sangat
khawatir Bung Surya. Makanya kami tidak akan membiarkan masyarakat–versi
kami–untuk melakukan tindakan yang berlawanan dengan—katanya—hukum.
Biarlah kami yang berstatus pejabat negara menjadi martir untuk
memperoleh kedaulatan politik.
Mudah-mudahan Bung dengan Partai
Nasdem sebagai “mesin perubahan” bisa memperjuangkan kedaulatan ekonomi
untuk Aceh. Karena dengan begitulah kita bisa bersama-sama membangun
Aceh yang kita sayangi.
Bung Surya, menurut kami,
kesejahteraan dan jaminan keamanan adalah dua hal yang harus berjalan
seiring. Kami sangat setuju dengan keinginan Bung agar para penguasa di
Aceh tidak perlu berkoar-koar tentang kesejahteraan. Tapi setujukah Bung
bila kami menginginkan Bung untuk tidak perlu berkoar-koar tantang
bendera? Karena bila menurut Bung, kami sebagai Parlok mengangkat
masalah bendera hanya untuk isu politik, maka apa bedanya dengan Bung
sebagai Parnas yang mengangkat isu tentang kesejahteraan.
Bung Surya, mari kita mengenali diri
sendiri. Jangan pernah meremehkan sesuatu atau mencoba mengambil bagian
dari hak orang lain. Kita harus mengetahui yang benar dari yang salah,
dan yang adil dari tak adil. Bilapun kita belum pernah merasakan sesuatu
yang dirasakan oleh orang lain, maka ambillah pelajaran dari apa yang
telah kita lihat dan kita dengar.
Katakanlah sebatas yang kita ketahui
karena setiap perkataan akan menjadi harga bagi diri kita sendiri. Jika
kita belum memahami sesuatu, bertanyalah dengan penuh hormat pada orang
yang lebih arif dan yang harus kita ketahui. Sesuatu yang baik menurut
kita, belum tentu bermamfaat untuk orang lain.
Bung Surya, di akhir bincang-bincang
kami kemarin dengan pengurus Forum Bersama Legislator Partai Aceh DPR
Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh, seorang teman kami yang terkenal
pendiam bersuara pelan, “bullshit dengan restorasi dan trust building
yang selalu didengungkan.”
Saya hanya tersenyum miris Bung.
Biarlah begitu, cukuplah Bung dan Saya yang tahu karena terkadang ada
pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
Bung Surya, terima kasih atas
pernyataan Bung di media. Pukulan kecil dari Bung sebagai Pimpinan
Nasdem tentu menjadi pelajaran berharga dan menyadarkan kami untuk
selalu waspada terhadap aktor politik yang tidak mau tahu dengan apa
yang terjadi di Helsinki pada 15 Agustus 2015 lalu. Tentu kami tidak
mungkin menghindari setiap goncangan. Tapi Insya Allah kami selalu
mempersiapkan diri untuk tidak runtuh oleh goncangan tersebut.
Baiklah Bung Surya, sebagai salah
satu tokoh penting dalam lingkup penguasa, kami pikir, bung dan kita
semua tentu sepakat untuk terus bahu-membahu membawa Aceh keluar dari
masa suram. Maka sudah selayaknya kita saling menghargai dan menghormati
yang lain dengan setulus hati. Termasuk dalam hal menjaga tutur, sikap
dan tindakan agar tidak ada yang tersakiti.
Semoga ikhtiar ini menjadi kebaikan untuk semua.
Wassalam
Atas nama forum bersama legislator Partai Aceh Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh
No comments:
Write komentar