Wednesday, March 16, 2016

Anggap Rel Kereta Api Lebih Penting Ketimbang Bendera Aceh, Surya Paloh Dikirim Surat Terbuka oleh Legislator Partai Ban Sigom Aceh

Anggap Rel Kereta Api Lebih Penting Ketimbang Bendera Aceh, Surya Paloh Dikirimin Surat Terbuka






Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan bahwa urusan bendera dan lambang Aceh hanyalah hal yang biasa-biasa saja dan bukan prioritas. Seperti yang diberitakan di salah satu media lokal Aceh, Ketua Partai Nasdem itu mengatakan  rel kereta api lebih penting dibandingkan lambang dan Bendera.
Surya Paloh
Saya kepingin lah ada rel kereta api cepat di Aceh. Daripada bendera, lebih baik (memperjuangkan) kereta api cepat, begitu kira-kira,” kata Surya.

Pernyataan tersebut sangatlah disayangkan, padahal dibalik simbol-simbol setiap daerah mempunyai arti filosofis yang sangat mendalam dan juga mendeskripsikan identitas kebangsaan daerah tersebut. Pernyataan Ketua Parpol yang merupakan pengusaha media itu tentu saja menyinggung perasaan rakyat Aceh yang telah susah payah memperjuangkan adanya lambang dan bendera sebagai identitas ke-Acehan.

Sikap dari Surya Paloh ini mendapatkan reaksi keras dari para legislator Aceh yang tergabung dalam forum bersama legislator Partai Aceh Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh. Halim Abe Juru bicara forum bersama legislator PA pun menulis surat terbuka kepada Surya Paloh. Berikut isi surat terbuka tersebut

Assalamu’alaikum Bung Surya…

Kemarin kami iseng-iseng membahas tentang pernyataan bung “menentang politik bendera” di sebuah media online yang dilakukan oleh perwakilan rakyat dan Pemerintah Aceh sebagai perwakilan pemerintah pusat di Aceh, yang menurut bung bukan prioritas dan menghabiskan energi saja, tentu sangat menarik pernyataan bung sebagai salah seorang tokoh politik nasional yang dengan gamblang dan tegas men-judge Pemerintah Aceh “kurang kerjaan”  atau mis-orientasi dan mubazir.

Sebagai perwakilan rakyat yang tergabung dalam forum bersama legislator Partai Aceh DPR kabupaten dan kota ban sigom Atjeh, tentu menarik bagi kami mencermati pernyatan bung yang tanpa merasa bersalah menuduh kami memakai jurus mabuk yang dianggap oleh masyarakat sudah usang. Tentu kami tidak perlu bertanya masyarakat mana yang Bung maksud. Walaupun sangat jelas, sebagai legislator di tiap kabupaten dan kota jumlah kami 181 orang dengan perbandingan setiap kursi yang diperoleh oleh legislator Partai Aceh rata-rata “bukan kursi patah” dengan harga rata-rata lebih kurang 5.000 per-orang. Itu belum termasuk DPRA dan persentase kemenangan pasangan Zikir di Pilkada yang lalu.

Kami tidak akan bertanya masyarakat mana yang bung maksud, karena kita sama-sama punya partai. Kami hanya mencoba untuk memakluminya, karena di akhir pernyataan bung juga menyiratkan seakan-akan Bung-lah yang lebih mengenal Tuhan dan lebih memahami hakikat kesederhanaan Aceh.
Bung juga menyiratkan bukanlah orang yang suka dengan retorika politik. Jadi kami tidak mungkin membantah Bung, karena kami yakin kawan-kawan bung sesama tokoh politik di tingkat nasional juga sudah paham, bahwa bung adalah tokoh yang bisa dijadikan panutan baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Bung Surya…

Bagi kami legislator dari Partai Aceh selaku perwakilan masyarakat di tiap kabupaten dan kota punya tanggungjawab moral yang lebih besar untuk terus mengawal implementasi MoU Helsinki secara menyeluruh. Karena dengan begitulah damai akan abadi. Bagi kami, perkara kesejahteraan harus sejalan dengan perkara keamanan, tidak boleh ada yang didahulukan atau sebaliknya. Entah menurut Bung.

Bung Surya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap luasnya pengetahuan yang bung miliki, ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan:

  1. Bahwa, bagian terpenting dari sebuah kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan sendiri. Mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang tidak kita ketahui. Mengetahui apa yang kita pahami dan apa yang tidak dipahami oleh orang lain. Mengetahui apa yang kita ucapkan dan efek dari ucapan tersebut terhadap orang lain. 
  2. Bahwa, gebrakan yang kami lakukan bersama DPRA bukanlah jurus mabuk untuk memenangkan pemilu seperti yang bung tuduhkan. Karena kalau hanya untuk memenangkan seorang gubernur, tanpa ini pun Insya Allah kami pasti menang. Tetapi lebih pada kekhawatiran terhadap nasib perdamaian bila UUPA tidak berjalan sebagaimana mestinya setelah satu dekade berlalu tanpa makna. 
  3. Bahwa, bendera dan lambang bukanlah permainan issu untuk memperluas kekuasaan. Tapi seperti bung dan yang lainnya tahu, Qanun Nomor 3 tahun 2013 telah dijadikan lembaran daerah, tapi sampai sekarang tidak bisa dilaksanakan. Jadi untuk bung ketahui, kami mendesak hal ini bukan karena “bendera-nya” saja, tapi untuk menyelamatkan kewenangan, marwah dan kewibawaan Pemerintah Aceh sesuai dengan komitmen perdamaian. 
  4. Bahwa, nota kesepahaman yang ditandatangani oleh GAM dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki tidak hanya membangun kesepahaman di bidang politik dan hukum. Tapi juga kesepakatan untuk memahami faktor psikologis orang-orang yang terlibat semasa konflik. Jadi menurut kami, MoU Helsinki adalah sebuah kesepahaman yang tidak boleh ditela’ah sembarangan dengan kacamata hukum, sosial dan budaya. Konon lagi kacamata orang buta. Biasnya pemahaman aktor politik dalam memahami substansi permasalahan, membuat mereka melihat orang lain dari posisi mereka masing-masing, menterjemahkan sendiri dengan tujuan masing-masing pula, sehingga mereka memandang MoU seperti ureueng pajoh keukarah. Tidak penting bagaimana keukarah itu terajut yang penting mengenyangkan. Inilah salah satu faktor yang sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.  
  5. Bahwa, persoalan bendera adalah persoalan yang phui ta kalon ghon ta tijik. Bung Surya menganggap bendera bukanlah sebuah azimat yang mengenyangkan. Bahkan Bung menghujat Pemerintah Aceh salah dalam menerapkan skala prioritas. Tapi Bung Surya, pemerintah Pusat dan kita semua tidak boleh lupa, bahwa perdamaian ini sebenarnya masih menyisakan luka yang mendalam di hati para kombatan.
Tidak semua dari mereka mampu dan mau memahami geliat dan proses sebuah perdamaian. Bukankah Bung sudah merasakannya sendiri kejadian di Kantor Nasdem Pirak Timu, Aceh Utara beberapa waktu yang lalu?

Doktrinisasi perlawanan bersenjata yang telah melekat di hati para pejuang selama puluhan tahun, tidaklah semudah menghapus debu dibingkai foto.

Kami pikir, perjanjian damai ini bukan hanya telah memaksa mereka untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu, tapi juga telah melucuti kemampuan kita sendiri untuk memahami pelajaran terpenting dari masa lalu. Dimana degenerasi lapisan penguasa di negara kita dari masa ke masa selalu memunculkan sebuah ide perubahan yang dibangun atas dasar ketidakikhlasan dan ketidak percayaan terhadap masyarakat Aceh. Maka sudah saatnya kita yang menginginkan perdamaian yang abadi merubah paradigma tersebut dengan saling menghargai atas apa yang telah kita sepakati bersama.

Bung Surya, hidup di tengah perdamaian yang tidak jelas arahnya tentu akan memberi kita banyak persoalan dan pelajaran. Kami melihat persoalan bendera ibarat pemantik yang sangat potensial menjadi penyulut terulangnya konflik. Kami sangat khawatir Bung Surya. Makanya kami tidak akan membiarkan masyarakat–versi kami–untuk melakukan tindakan yang berlawanan dengan—katanya—hukum. Biarlah kami yang berstatus pejabat negara menjadi martir untuk memperoleh kedaulatan politik.

Mudah-mudahan Bung dengan Partai Nasdem sebagai “mesin perubahan” bisa memperjuangkan kedaulatan ekonomi untuk Aceh. Karena dengan begitulah kita bisa bersama-sama membangun Aceh yang kita sayangi.

Bung Surya, menurut kami, kesejahteraan dan jaminan keamanan adalah dua hal yang harus berjalan seiring. Kami sangat setuju dengan keinginan Bung agar para penguasa di Aceh tidak perlu berkoar-koar tentang kesejahteraan. Tapi setujukah Bung bila kami menginginkan Bung untuk tidak perlu berkoar-koar tantang bendera? Karena bila menurut Bung, kami sebagai Parlok mengangkat masalah bendera hanya untuk isu politik, maka apa bedanya dengan Bung sebagai Parnas yang mengangkat isu tentang kesejahteraan.

Bung Surya, mari kita mengenali diri sendiri. Jangan pernah meremehkan sesuatu atau mencoba mengambil bagian dari hak orang lain. Kita harus mengetahui yang benar dari yang salah, dan yang adil dari tak adil. Bilapun kita belum pernah merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain, maka ambillah pelajaran dari apa yang telah kita lihat dan kita dengar.

Katakanlah sebatas yang kita ketahui karena setiap perkataan akan menjadi harga bagi diri kita sendiri. Jika kita belum memahami sesuatu, bertanyalah dengan penuh hormat pada orang yang lebih arif dan yang harus kita ketahui. Sesuatu yang baik menurut kita, belum tentu bermamfaat untuk orang lain.

Bung Surya, di akhir bincang-bincang kami kemarin dengan pengurus Forum Bersama Legislator Partai Aceh DPR Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh, seorang teman kami yang terkenal pendiam bersuara pelan, “bullshit dengan restorasi dan trust building yang selalu didengungkan.”

Saya hanya tersenyum miris Bung. Biarlah begitu, cukuplah Bung dan Saya yang tahu karena terkadang ada pertanyaan yang tidak perlu dijawab.

Bung Surya, terima kasih atas pernyataan Bung di media. Pukulan kecil dari Bung sebagai Pimpinan Nasdem tentu menjadi pelajaran berharga dan menyadarkan kami untuk selalu waspada terhadap aktor politik yang tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di Helsinki pada 15 Agustus 2015 lalu. Tentu kami tidak mungkin menghindari setiap goncangan. Tapi Insya Allah kami selalu mempersiapkan diri untuk tidak runtuh oleh goncangan tersebut.

Baiklah Bung Surya, sebagai salah satu tokoh penting dalam lingkup penguasa, kami pikir, bung dan kita semua tentu sepakat untuk terus bahu-membahu membawa Aceh keluar dari masa suram. Maka sudah selayaknya kita saling menghargai dan menghormati yang lain dengan setulus hati. Termasuk dalam hal menjaga tutur, sikap dan tindakan agar tidak ada yang tersakiti.

Semoga ikhtiar ini menjadi kebaikan untuk semua.

Wassalam

Atas nama forum bersama legislator Partai Aceh Kabupaten dan Kota Ban Sigom Atjeh
Halim Abe
Juru Bicara

http://acehwatch.com/2016/03/14/anggap-rel-kereta-api-lebih-penting-ketimbang-bendera-aceh-surya-paloh-dikirimin-surat-terbuka/

No comments:
Write komentar