Almarhum Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah adalah Sultan Aceh terakhir yang dipaksa menyerah oleh Belanda dengan menyandera keluarga Sultan. Sultan dengan Keluarganya serta adiknya dan para punggawa lainnya dibuang Belanda ke Ambon, Bandung dan terakhir di Batavia.KETURUNAN SULTAN ALAIDDIN MUHAMMAD DAUD SYAH
- Tuanku Raja Ibrahim, disebut juga Tuanku Raja Manyak bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah.
- Teungku Putroe Shafiatuddin Cahya Nur Alam adalah putri tertua dari Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah.
- Almarhumah Teungku Putroe Dharma Kasmi Nur Alam adalah putri kedua dari Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah
- TR Mansur bin TR Ibrahim [Almarhum]
- TR Zainal Abidin Johan Alamsyah [Almarhum]
- TP Sariawan binti TR Ibrahim
- TP Rengganis Binti TR Ibrahim
- TR Ramaluddin bin TR Ibrahim [Almarhum]
- TP Sukmawati binti TR Ibrahim
- TR Iskandar Muda bin TR Ibrahim [Almarhum]
- TR Djohan bin TR Ibrahim [Almarhum]
- TR Syamsuddin bin TR Ibrahim
- TR Daud bin TR Ibrahim
- TR Yusuf bin TR Ibrahim
- Tuanku Raja Sulaiman
- TP Gambar Gading binti TR Ibrahim
- Tuanku Raja Ishak Badruzzaman bin TR Ibrahim
Keturunan Sultan Alaidin Daud SyahRaja Aceh terakhir, Sultan ‘Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun 1904 dibuang Belanda ke Jakarta. Dalam sejarah Aceh, Sultan Muhammad Daud atau biasa juga disebut Tuanku Muhammad Daud, resminya diangkat sebagai calon raja oleh Majelis Kerajaan Aceh semasa kanak-kanak — menggantikan pamannya Sultan Mahmud Syah yang meninggal tahun 1874. Majelis Kerajaan Aceh yang berkuasa menurunkan dan mengangkat raja Aceh itu terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem (sekaligus wali Tuanku Muhammad Daud) dan Teuku Panglima Polem.
Majelis ini menyerahkan kekuasaan — untuk memerintah dan memimpin Aceh melawan Belanda — kepada Teuku Tjhik Di Tiro. Ketika Tuanku Muhammad Daud ditawan Belanda, dia memberikan kekuasaan itu kepada Teuku Tjhik Mahyeddin Di Tiro (putera terakhir Teuku Tjhik Di Tiro). Belanda sendiri kemudian, menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teuku Maat Tjhik Di Tiro (cucu Teuku Tjhik Di Tiro tewas di medan laga. Akan Sultan Muhammad Daud sendiri, setelah berpindah-pindah tempat pembuangan (Jakarta, Bandung, Ambon), tahun 1939 meninggal di Jakarta, tanpa pernah kembali ke tanah kecintaannya.
Raja terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim. Sebagai putera raja, kehidupan Abang (begitu kerabat dekat memanggilnya) cukup beragam. Pernah misalnya berkunjung ke negeri Belanda , karena Ratu Wilhelmina menyatakan ingin berjumpa dengan sang Raja Muda.
Putra Mahkota Tuanku Raja Ibrahim (berdiri di belakang) bersama ayahnya Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah dan Ibu tirinya.
Dan Ratu memberinya pangkat Letnan. Tapi ini bukan berarti kompromi: menjelang Tuanku Ibrahim menginjak dewasa, dia sering ikut sang ayah bergerilya di hutan. Juga ketika sang ayah dibuang ke Jakarta, Tuanku Ibrahim turut serta. Bermukim di Pisangan lama, Jatinegara, ayahnya sempat menikahi seorang dara Banten yang mempunyai nama panggilan Neng Ipi. Dari wanita ini lahirlah lima orang adik tiri Tuanku Ibrahim. Lantas biarpun ayahnya melarang, Abang di tahun 1937 kembali ke Aceh. Sampai 1960, Tuanku Ibrahim menjabat Mantri Tani di Sigli. Biarpun putera raja, nyatanya tidak kaya. Pensiun dari Mantri Tani cuma Rp 9.000. Ayah dari 15 orang anak (dua meninggal) dan menikah delapan kali, Abang menetap di Lam Lho — dalam keadaan yang umumnya dianggap tidak layak bagi seorang bekas Putera Mahkota.
Seorang anggota DPRD menjenguknya dan mendapatinya hidup dalam keadaan prihatin. “Untuk hidup wajar saja dengan uang sebegitu, tentu susah”, keluh Abang — yang paham bicara Inggeris, Belanda dan Perancis. Kemudian dengan SK no. 100/76 dari Pemda, dapatlah Abang sebuah rumah mungil. Ketika dia juga berkirim surat kepada Sultan Hamengkubuwono IX (maklum, sesama raja toh), dapatlah ia tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Kp 1.500 dari Departemen Dalam Negeri, yang kalau ditotal jenderal masih di bawah jumlah lumayan — karena dia masih harus menghidupi 9 mulut. Dan rumah mungil yang harganya 1,7 juta rupiah pun ditempati dengan syarat: “Bila saya telah tiada, rumah ini harus dikembalikan”, ujar Abang. “Eh, toh, semua itu saya terima”. Usia Tuanku Ibrahim kini 83 tahun. Pernah dalam sebuah seminar tentang Aceh di Medan timbul sebuah usul agar ayah Tuanku Ibrahim — Tuanku Muhammad Daud — diresmikan sebagai pahlawan. Dari Baperis (badan yang mengurus kuburan raja-raja Aceh, dan kini jadi obyek turis) mulai dihembuskan suara: kalau nanti Tuanku Ibrahim meninggal, sebaiknya dikuburkan di kuburan raja-raja. Tuanku Ibrahim sendiri mempunyai satu keinginan yang belum terlaksana: pergi ke Jakarta menengok kuburan sang ayah. Rupanya, Tuanku Ibrahim, tidak “seberuntung” Tengku Tjhik D (Daud) Beureuh – Pemimpin Rakyat Aceh — yang menjelang Pemilu lalu oleh Pemerintah di-keliling duniakan dan sering datang ke Jakarta.
Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah
Almarhum Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah adalah Sultan Aceh terakhir yang dipaksa menyerah oleh Belanda dengan menyandera keluarga Sultan. Sultan dengan Keluarganya serta adiknya dan para punggawa lainnya dibuang Belanda ke Ambon, Bandung dan terakhir di Batavia.
Beliau kemudian mangkat di Batavia tahun 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun Jakarta, dekat Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dari Permaisuri Teungku Putroe Gambar Gading beliau mempunyai dua anak kembar yaitu Tuanku Raja Cut Rayek (mangkat ketika masih bayi), dan Tuanku Raja Ibrahim yang disebut juga Tuanku Raja Manyak.
Dari isteri kedua, Pocut Manyak Cot Murong Sultan tidak mempunyai putra atau pun putri. Pocut Manyak Cot Murong inilah yang memelihara Tuanku Raja Manyak.
Dari isteri ketiga Teungku Jam Manikam binti Tuwanku Mahmud (dimakamkan di Kedah) Sultan juga tidak mempunyai keturunan
Dari isteri keempat, Neng Effi, yang beliau nikahi dalam pengasingan Sultan memperoleh 4 putra dan 1 putri.
KETURUNAN SULTAN TERAKHIR
Tuanku Raja Ibrahim, disebut juga Tuanku Raja Manyak, adalah Putra Mahkota Kerajaan Aceh, putra tertua dari Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh terakhir yang dibuang Belanda ke Ambon, Bandung, dan Batavia). Tuanku Raja Ibrahim juga ikut dalam pembuangan bersama ayahnya.
Beliau meninggal di Banda Aceh tahun 1982 dan dimakamkan di Pekuburan Raja-raja Komplek Baperis, Banda Aceh.
Tuanku Raja Ibrahim mempunyai 16 orang putra dan putri, 10 orang di antaranya masih hidup sampai sekarang dan berdomisili di Banda Aceh, Pidie, Lhokseumawe, dan Mataram, NTB.
Tuanku Raja Ibrahim sebenarnya adalah anak kedua dari kelahiran kembar. Abang kembarannya Tuanku Raja Cut Rayek meninggal dunia ketika masih bayi.
Teungku Putroe Shafiatuddin Cahya Nur Alam adalah putri tertua dari Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh terakhir yang dibuang Belanda ke Ambon, Bandung, dan Batavia). Beliau sekarang menetap di Mataram, NTB bersama anaknya.
Walaun pun beliau sudah berumur 75 tahun (2011) namun ingatan beliau masih kuat merekam sejarah Kerajaan Aceh yang selalu diceritakan oleh orangtuanya Tuanku Raja Ibrahim.
Beliau mempunyai 3 putra dan 4 putri.
Almarhumah Teungku Putroe Dharma Kasmi Nur Alam adalah putri kedua dari Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh terakhir yang dibuang Belanda ke Ambon, Bandung, dan Batavia).
Beliau mempunyai dua orang putri yaitu Cut Srikandi (Medan) dan Cut Farina (Banda Aceh)
Tuanku Raja Syamsuddin bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah. Berdomisili di Kota Lhokseumawe.
Tuanku Raja Daud bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah. Berdomisili di Kota Lhokseumawe.
Tuanku Raja Sulaiman bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah. Berdomisili di Kabupaten Pidie.
Tuan Raja Ishak Badruzzaman bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah.
NB.
TR [Tuanku Raja]
TP [Teungku Putroe]
http://sultan.acehglobal.com/?p=21
No comments:
Write komentar