Saturday, June 20, 2015

KELUARGA ACEH KETURUNAN PORTUGIS DI LAMNO

Kisah Unik di Lamno dengan Peninggalan Keturunan Portugis
 Gadis kecil keturunan Portugis di Lamno

KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di  atas rata-rata warga Aceh lainnya.


Gadis-gadis cantik itu bak bule tadi adalah keturunan dari pedagang Porto yang singgah di Lamno beberapa abad yang lalu. Di antara pedagang Porto ini ada yang menetap lama di Lamno dan meminang perempuan setempat. Keturunan mereka hingga sekarang masih ada, dengan ciri fisik sebagaimana orang-orang Eropa.

 

Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.

Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter.

Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.

Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.

Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India.

Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.

Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.

Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.

Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.

Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), hingga sekarang.

Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Menurut Burhanudin (58), warga Lamno yang masih keturunan Portugis, kepada masalah kecantikan keturunan Portugis, sudah lama dikenal di Aceh. Bahkan, kalau ada perayaan Marhum Daya, banyak orang berdatangan ke Lamno. Perayaan pada hari Lebaran Iduladha itu dapat dipastikan gadis-gadis Porto yang ada di daerah Lamno kumpul. Baik yang ada di Lamno maupun di luar daerah ini. "Itu orang banyak memperhatikan kecantikan gadis-gadis Lamno yang keturunan Portugis," paparnya.

Burhanudin yang mengaku generasi kelima asal Porto, memaparkan, keluarga yang masih keturunan Portugis itu, sebagian besar tinggal di Kuala Daya dan Lamso. Diperkirakan jumlahnya kurang lebih 150 orang (sebelum tsunami). Keluarga asal darah Porto ini bekerja sebagai nelayan dan bertani sawah atau kebun, sebagaimana umumnya warga sekitar.

"Kehidupannya juga tidak jauh atau sama dengan warga sekitar. Ada yang istimewa dari keluarga keturunan Porto, seperti kami ini. Karena hanya fisik saja yang beda, lainnya mulai dari bahasa, budaya, dan pekerjaan sama saja," jelasnya.

Syukur, Masih Ada Penerus Gen Portugis

LALU bagaimana nasib keturunan Portugis di Lamno, setelah terjadi bencana tsunami menerjang daerah itu?
Daerah Lamno, yang berada di Aceh Jaya atau pesisir pantai barat Aceh, tidak luput juga dari gempa dan badai tsunami. Akibatnya, jalur darat antara Banda Aceh-Lamno sepanjang 81 km putus total, sehingga pada awal-awal terjadi gempa, daerah ini sempat terisolasi. Sebelum putus, Banda Aceh ke Lamno bisa ditempuh dua jam dengan kendaraan pribadi, menelusuri pinggir pantai. Sedangkan angkutan umum tarifnya Rp 15 ribu, dari Banda Aceh ke Lamno.

Pada Minggu (30/1), bersama Abang Aa, warga Banda Aceh, saya mencoba masuk ke Lamno menggunakan sepeda motor atau berusaha untuk menebus jalur darat. Dari Banda Aceh-lewat Lhoknga, lalu masuk ke Kec. Leupung. Untuk jalur Lhoknga-Leupung sudah bisa dilalui karena jembatan darurat yang dibangun Zeni TNI AD sudah beres.

Di Leupung, TNI AD juga membuat jalan sementara/darurat untuk mengganti jalan utama yang hancur. Sepanjang 15 km jalur di Leupung made in tentara ini harus dilalui dengan susah payah, karena jalannya masih labil, licin, dan bergelombang. Ketika akan masuk Lhok Seudu-Pulut, terpaksa sepeda motor diangkut dengan rakit karena jembatan yang menghubungkan dua daerah itu belum selesai dibangun oleh TNI AD.

Sebenarnya setelah masuk Pulut hanya tinggal menembus dua daerah lagi agar bisa masuk ke Lamno, yaitu Layeun dan Lung atau kurang lebih 40 km. Namun perjalanan selanjutnya mesti melewati bukit dengan jalan darurat buatan masyarakat. Lebar jalannya hanya satu meter. Jalur ini banyak dihuni tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu, atas pertimbangan warga setempat, kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Saat itu juga kami balik lagi ke Banda Aceh. Harapan untuk bisa ke Lamno pun buyar. Cara yang memungkinkan untuk ke Lamno adalah menggunakan speed boat atau heli. Namun untuk naik speed boat, ongkos carternya mahal hingga Rp 700 ribu/hari. Padahal kalau menggunakannya mesti menempuh waktu dua hari. Berangkat pagi dengan menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Perahu baru bisa balik lagi besok harinya waktu pagi hari. "Siang tidak berani, karena angin kencang sangat bahaya," kata Bukhori, pemilik speed boat.

Setelah dipertimbangkan, untuk menggunakan perahu adalah alternatif terakhir. Karena ada cara yang belum dicoba yaitu heli dari Lapangan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh. Hari Senin (31/1) pagi hari, akhirnya saya berangkat ke bandara karena ada informasi WFP (World Food Program) akan berangkat ke Lamno dengan menggunakan heli. Mereka membawa wartawan asing untuk meninjau Lamno. Begitu di Lanud Iskadar Muda, saya berusaha menghubungi pihak WFP Chesy yang mengatur perjalanan ke Lamno.

Kepada WFP, saya berusaha meminta tolong untuk ikut ke Lamno. Hanya, mereka secara halus menolak. Alasannya, wartawan asing yang ikut sudah daftar sehari sebelumnya. Lalu kapasitas tempat duduk heli juga terbatas.
Jawaban WFP tidak membuat saya patah arang. Di hadapan dia, saya mengangguk seolah bisa menerima penjelasannya. Namun saat heli itu dihidupkan untuk berangkat ke Lamno, saya segera lari masuk ke dalam heli.

 
Gadis-gadis kecil keturunan Potugis di Lamno

Waktu itu pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno masih berada di tendanya sehingga tak melihat saya masuk ke heli. Tak lama kemudian sejumlah wartawan asing masuk ke heli dengan mengambil tempat duduk.

Agar di pesawat tidak langsung kelihatan oleh pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno, saya duduk di kursi ujung belakang. Beberapa detik saat pesawat akan mengudara, Chesy masuk ke dalam pesawat dan langsung duduk belakang pilot dekat pintu pesawat.

Sesaat sudah di udara untuk menuju perjalanan ke Lamno, akhirnya dia melihat saya. Saat itu akhirnya kami saling bersitatap. Saya segera melambaikan tangan kanan. Orang WFP ini membalasnya, sambil tersenyum, entah kesal atau bisa menerimanya.

Pesawat heli inilah yang akhirnya sampai ke Lamno. Dari udara terlihat jelas, bahwa kota itu telah hancur. Hanya beberapa desa yang kelihatan masih utuh, yaitu di pusat kotanya. Turun dari pesawat, langsung menuju ke arah pengungsian untuk mencari jejak si "mata biru". Sedangkan rombongan wartawan asing, berkunjung bersama dari WFP juga ke pengungsian, namun lokasinya berbeda.

Sempat beberapa kali menanyakan tentang keberadaan si bule kepada warga sekitar. Jawabannya beragam. Ada yang mengatakan bahwa daerah yang selama ini dihuni mereka, yaitu Kuala Daya dan Lamso sudah rata dengan tanah karena lokasinya dekat dengan pantai. Akan sulit untuk bisa menemukan orang-orang keturunan Portugis itu. Kuala Daya dan Lamso adalah desa yang paling hancur. "Kemungkinan besar keturunan Portugis sudah banyak yang meninggal," kata Sulaeman, penduduk Lamno.

Berkat informasi seorang guru sekolah dasar, akhirnya saya bisa menemukan beberapa orang bule di daerah pengungsian. Di belakang pasar Lamno, ada keturunan Portugis yang memang namanya adalah Bule (80). Sebelum tsunami, dia tinggal di Kuala Daya. Ketika ditemui, ternyata wajah ibu dua anak ini mirip dengan orang bule. Hidungnya mancung, kulit putih, dan badannya tinggi kira-kira lebih 170 cm.

Menurut Bule, keturunan Portugis di Kuala Daya sebagian besar telah meninggal disapu tsunami. Ia juga sempat digulung ombak, tapi akhirnya selamat. Ia sendiri tidak bisa memastikan, berapa orang lagi keturunan langsung dari darah Portugis yang kini masih tersisa. "Saya tidak bisa menyebut jumlahnya, tapi jelas sangat sedikit," katanya.



Di pengungsian itu, saya juga bertemu dengan keturunan Portugis lainnya seperti dua gadis bernama Dahlia (26) dan Marlina (20). Satunya lagi ibu beranak satu bernama Maulizar (27). Di SMU Lamno, juga ada tiga orang gadis yang keturunan Portugis, di antaranya Tina. Menurut Marlina, gadis-gadis keturunan Portugis yang ada saat ini kira-kira di bawah sepuluh orang karena sudah banyak yang menjadi korban tsunami.

Di antara para pengungsi, keberadaan gadis ini memang terlihat lain yaitu tetap cantik. Namun sifatnya pemalu. Mereka jarang berkomunikasi dengan orang luar, kecuali yang dikenalnya. Menurut Tina, dia sebenarnya sama dengan warga Aceh atau Lamno lainnya. Kalaupun ciri fisik yang berbeda, itu karena ibu dan bapaknya adalah keturunan Portugis. Kadang ia sendiri merasa malu, karena ciri fisik yang berbeda. Namun ia tidak tahu, siapa nenek moyangnya yang asal Portugis itu. "Kita yang seperti orang barat ini karena ada keturunan asing. Ayah saya saja tidak tahu siapa orang Portugis yang datang ke Lamno ini," jelasnya.

Dalam keseharian, kata Dahlia, tak ada perbedaan antara mereka yang keturunan Portugis dengan lainnya. Baik di sekolah maupun di pergaulan sehari-hari, tetap tampil seperti biasa tanpa mendapat perlakuan khusus. Bahkan, sebelumnya di antara mereka tidak mengetahui kalau mereka keturunan Portugis.



Nenek Bule juga mengemukakan hal sama. Dalam kehidupan sehari-hari, antara dirinya dengan warga Lamno lainnya tidak ada yang berbeda. Mata pencaharian juga sama yaitu nelayan atau bertani. Seperti di Kuala Daya, keluarga keturunan Portugis seperti Sehrani pekerjaannya nelayan. Keluarga Agam Lambeso, juga nelayan. Teungku M. Amin adalah seorang nelayan dan Basyah Peti adalah petani. Anggota keluarga mereka banyak juga yang hilang akibat tsunami.

Selama ini, kata Marlina, tidak ada gadis keturunan Lamno Portugis yang menjadi artis. Biasanya mereka menikah dengan warga setempat. Jika suaminya sama berasal dari keturunan Portugis, biasanya ciri Portugis pada anak-anak mereka tampak kuat. Anak mereka benar-benar seperti bule, berhidung mancung, bermata biru, dan kulit putih.

Sebaliknya, kalau perempuannya yang keturunan Portugis menikah dengan laki-laki asli setempat, ciri fisik seperti orang Eropa mulai pudar. Bola matanya, juga jadi kecokelat-cokelatan, tidak biru lagi. Namun biasanya hidungnya mancung, dan warna kulitnya menjadi sawo matang.
Kini gadis-gadis cantik keturunan Portugis yang ada di pengungsian, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, sepertinya akan tetap menjadi penerus jejak Portugis yang pernah masuk ke Lamno. Di antara mereka ada yang bercita-cita jadi perawat, dan juga menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tapi, yang jelas mereka sendiri bingung dengan masa depannya karena orang tua atau keluarga mereka telah tiada.

Termasuk untuk pulang pun bingung karena rumahnya sudah rata dengan tanah. "Sekarang bersabar dan berdoa. Semoga Allah menunjukkan jalan yang baik bagi kami yang selamat," kata Maulizar. Tentu semua berharap ”mutiara Lamno” itu harus tetap tegar untuk menjalani kehidupan yang akan datang. Agar Lamno kembali bersinar. (Undang Sudrajat/"Pikiran Rakyat")

Artikel Kompas Sabtu, 6 Oktober 2001 tentang keberadaan warga Lamno yang bermata biru dan berkulit putih.


No comments:
Write komentar