“Amanah endatu beugeod tapapah, bek gadoeh tuwah wangsa mulia; Mulia ureung cit bak tuwah; wangsa meutuwah bek taboeh kada.”
Siapakah yang sebenarnya berhak atas kesultanan Aceh? Atau siapakah yang benar-benar layak untuk memperoleh gelar “Paduka Yang Mulia” di Tanah Rencong? Dan untuk siapakah Wali Nanggroe itu diperuntukkan? Tiga pertanyaan ini seharusnya menjadi landasan berfikir sekaligus tujuan dari pembahasan rancangan Qanun Wali Nanggroe yang tidak boleh sekali-sekali meninggalkan sejarah Aceh.
Bahwa benar adanya, dalam poin 1.1.7 MoU Helsinki, menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya”. Bermula dari ayat itu maka penafsiran logis dari ayat tersebut adalah bahwa lembaga itu diposisikan sebagai bagian dari kepemimpinan adat, kebudayaan dan tradisi masyarakat Aceh yang tidak terlepas dari nilai-nilai sejarah Keacehan yang begitu gemilang. Seiring dengan perjalanan Aceh mulai dari kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) hingga kepemimpinan demokrasi seperti saat sekarang, dapat dibedakan bahwa terdapat tiga kepemimpinan dalam Aceh modern yang terdiri dari kepemimpinan politik, kepemimpinan agama dan kepemimpinan adat. Wali Nanggroe yang disebutkan dalam pasal MoU Helsinki diyakini bermakna sebagai perwujudan kepemimpinan adat Aceh sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian akan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal yang melekat dan menjadi budaya bagi masyarakat Aceh.
Namun demikian, sepertinya ada “upaya manipulasi sejarah” yang dilakukan oleh kelompok mayoritas politik lokal yang berusaha mengklaim bahwa Wali Nanggroe adalah lembaga milik kelompok tertentu sehingga bukan lagi mewakili kepentingan dan kemaslahatan rakyat Aceh yang begitu heterogen. Padahal catatan sejarah menyebutkan, bahwa jabatan Wali Nanggroe pernah diemban oleh 2 orang tokoh di masa penjajahan Belanda yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda, Syaikh Abdur Rauf al-Singkili yang pernah mewakili kerajaan Aceh.
Dalam diskusi Panteue yang turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dausyah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, menurut Adli Abdullah, bahwa dalam daftar dalam Piagam Bate Kureng, SAMA SEKALI TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro.
Selain itu, dalam sejarah Aceh, symbol kerajaan dan pemerintahan Aceh berupa cap Sikureng yang pernah diberikan kepada Tgk Chik di Tiro, setelah sepeninggal beliau pada tahun 1891 telah diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005:275). Melihat symbol kerajaan yang dipegang oleh Habib tersebut, apakah keturunan habib itu juga berhak atas gelar Wali Nanggroe? Kalau memang demikian benar adanya, lalu bagaimana dengan klaim Tgk. Hasan Tiro dan penerusnya Malik Mahmud Al-Haytar yang saat ini oleh DPRA telah ditetapkan sebagai Wali Nanggroe?
Menurut tulisan salah seorang kompasianer, Yusuf Daud berjudul “Rapat Rahasia di Norwegia Untuk Aceh” yang menuliskan tentang rapat rahasia Sigom Donya di Stavanger Norwegia pada Juli 2002 sebagai awal dari penyebutan “wali nanggroe” sebagai tokoh pemimpin Aceh. Dalam tulisan tersebut juga disebutkan bahwa Hasan Tiro sendiri merupakan keturunan ke-41 dari garis keturunan Sultan Ali Mughayat Shah berdasarkan buku yang ditulis Hasan Tiro sendiri berjudul “Acheh New birth Of Freedom”. Yang menurut draft Raqan Hasan Tiro mengaku sebagai keturunan ke-8 Kesultanan Aceh yang dimulai dari Sultan Ali Mughayat Shah (1500-1530) sampai dengan dirinya sendiri Tgk. Hasan Tiro (1976-2010). Kenyataan sejarah menyebutkan bahwa pemimpin perang Aceh yang terakhir adalah adik Tgk. Mat Amin (wafat 1896) yang bernama Tgk. Di Tungkeb alias Tgk. Beb (Ibrahim Alfian, 1987: 161), bukan Hasan Tiro. Entah yang mana yang benar, namun berawal dari manipulasi sejarah ini, “kebangsawanan” Hasan Tiro patut dipertanyakan. Jika kebangsawanan Tiro dipertanyakan, maka bagaimana halnya dengan penggantinya Malik Mahmud?
Menurut saya, Gelar Wali Nanggroe harus disikapi secara bijak sebab dari namanya saja sudah bermakna sangat dalam dan mulia, pun demikian halnya dengan para Wali sebelumnya yang telah menunjukkan semangat jihad yang teramat luar biasa. Aceh sendiri dikenal sebagai Tanoh Aulia atau tanahnya para Wali. Sehingga gelar Wali yang bermula dari Kesultanan Aceh hendaknya tetap konsisten dalam memegang komitmen luhur dan nilai-nilai kearifan kesultanan Aceh. Wali Nanggroe juga bukan berarti mimpi di siang bolong untuk membangkitkan Kesultanan Aceh di tengah dunia yang tengah bergerak sangat cepat, namun semangat, nilai-nilai luhur dan tingginya nilai budaya yang seharusnya dipegang teguh oleh seluruh rakyat Aceh khususnya sang Wali nanggroe nantinya.
Sebagai bagian dari sejarah Kesultanan Aceh, Wali Nanggroe tidak boleh sekali-kali keluar dari sejarah Aceh. Oleh karenanya, Wali nanggroe yang terpilih juga seharusnya orang yang paham betul akan nilai-nilai sejarah dan tradisi kesultanan Aceh. Jika ingin negeri ini Berjaya, sejarah tidak boleh dimanipulasi apalagi dianiaya demi kepentingan dan kekuasaan kelompok tertentu.
“Amanah endatu beugeod tapapah, bek gadoeh tuwah wangsa mulia; Mulia ureung cit bak tuwah; wangsa meutuwah bek taboeh kada.”
Penulis: Rafli Hasan
Sumber: Aceh Untuk Siapa (flickr.com/raflihasan)
Link: http://m.kompasiana.com/post/read/472927/3/membuka-tabir-gelap-kesultanan-aceh=1
No comments:
Write komentar