Monday, April 13, 2015

Abon Nurdin Pantee Cereumen, Lamno


Sosok Anak Kampus Yang Akhirnya Menjadi ‘Ulama

 

Lamno merupakan salah satu daerah di Aceh yang sudah di kenal semenjak dahulu. Selain di kenal sebagai basis perdagangan yang pernah di kunjungi oleh Marcopolo. Selain itu kota Lamno juga pernah di kenal sebagai tujuan para santri untuk mencari ilmu, terutama pada masa hidup almarhum al-'allamahAbu Ibrahim Lamno, pendiri Dayah BUDI. Sampai saat ini di Lamno masih banyak para ulama. Salah satu ulama Lamno yang sempat kami kunjungi beberapa waktu lalu adalah Abon Nurdin Pantee Cereumun. Setelah menziarahi beberapa ‘Ulama kharismatik di wilayah Lamno, Aceh Jaya, kami juga mendapatkan info bahwa Lamno juga masih mempunyai salah seorang ‘Ulama intelektual yang dalam perjalanan riwayat pendidikannya, beliau meninggalkan bangku kuliah di Universitas Syiah Kuala dan malah menetap di Dayah sebagai tempat beliau meneruskan semangat keilmuannya dan cita-cita akhir dari tujuan hidupnya.

Beliau menetap di Desa Pantee Ceurmen, Kec. Jaya, Lamno, Kab. Aceh Jaya sehingga beliau sering dikenal oleh masyarakat Lamno dengan sebutan Abon Pantee. Nama beliau adalah Tgk. H. Nurdin. Dilahirkan pada 12 Maret 1960 dan menempuh pendidikan umum dari SD sampai SMA di Lamno sambil belajar agama di Dayah Bustanul-‘Aidarussiyyah (BUSAIDA), Lamno selama 12 tahun (saat ini Dayah BUSAIDA di pimpin oleh Abu H. Muhammad Nyak Dariri Badai)


Abu Tanoh Mirah
Abu Tanoh Mirah
Kemudian beliau melanjutkan pendidikan strata-1 di Universitas Syiah Kuala. Namun, belum selesai pendidikan beliau di bangku kuliah tersebut, beliau jatuh sakit, dalam keadaan sakit beliau bernazar jika pulih sakit akan meninggalkan bangku kuliah masuk ke dayah. Akhirnya Allah memberikan kesembuhan kepada beliau, kemudian beliau segera melaksanakan nazar beliau yaitu menimba ilmu di Dayah. Pilihan beliau jatuh ke Dayah Darul-‘Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen, yang di pimpin oleh salah satu murid Abuya Muda Wali al-Khalidial-Syaikh al-Fadhil al-‘Allamah Abu Abdullah Tanoh Mirah . Beliau belajar di Tanoh Mirah mulai dari tahun 1985-1996 M.

Sepulangnya ke Lamno, Abon Pantee diperintahkan oleh Abu BUDI Lamno untuk menetap di Dayah BUDI Lamno lagi selama 5 tahun (saat ini Dayah BUDI Lamno di pimpin oleh Aba Asnawi). Pada saat itu, Abon baru saja berkeluarga. Dan perintah itu pun dilaksanakan dengan baik dan patuh. Bahkan anak pertamanya ikut menjadi korban tsunami pada tahun 2004 M yang ikut menerjang Komplek Dayah BUDI Lamno.

Abon Pantee tidak mendirikan Dayah sebagaimana lazimnya seorang pemuka ilmu agama di Aceh Darussalam. Rumahnyalah yang langsung beliau jadikan sebagai tempat beliau seumeubeut (mengajar ilmu agama Islam). Ruang tamu di rumahnya menjadi saksi beliau mengupas ‘ibarat dan maksud dari tekstual kitab kuning untuk dipahami oleh para santrinya. Beliau hanya meliburkan hari Ahad dari aktifitas belajar dan Abon pun tidak akan menerima tamu apabila beliau sedang mengajar.
Saat ini, beliau mengajar Kitab al-Mahally jilid-III dan Tafsir al-Khazin jilid 1 bagi santri putra serta al-Mahally jilid-IV dan Tafsir al-Jalalain jilid I bagi santri perempuan. Abon menjadikan kampung tersebut sebagai Dayah beliau sendiri. Rumah para santri tersebut itulah yang menjadi asrama bagi para santri itu sendiri karena yang belajar kepada beliau berasal dari Desa Pantee Ceurmen dan sekitarnya.

Ada satu hal yang menarik di desan Pantee ceremen ini, masyarakat desa yang terletak di puncak gunung ini rupanya sangat aktif dalam pengajian di kampung tersebut. setiap malam ba`da magrib selalu di adakan dua majlis pengajian khusus untuk warga kampung, satu majlis untuk kaum wanita dan satu majlis untuk kaum laki-laki. Pengajiannya memang tidak lama, dari magrib hingga masuk waktu Isya. Setelah sangat magrib berjamaah dan sedikit wirid setelah shalat, Teungku langsung membuka pengajian. Menjelang masuk waktu Isya pengajian di tutup dan langsung di dirikan shalat isya berjamaah. Pengajian ini di ikuti oleh semua warga kampung baik muda maupun tua. Karena pengajian ini berjalan setiap malam, maka banyak kitab yang telah mereka khatamkan. Kitab jawi seperti Sabilal Muhtadin, Siyarus Salikin berhasil mereka khatamkan, ini merupakan satu hal yang luar biasa. Jarang kita temukan desa yang mengadakan pengajian bagi warganya setiap malam.
Abon mengingatkan agar tidak menyerah dalam perjuangan menuntut ilmu agama walaupun keadaan ekonomi sangat mendesak. “ta keurija bak Raja, pajoh peu yang geujok lee Raja, (mengabdi kepada Raja, tentunya akan mendapatkan makanan yang diserahkan oleh Raja, terj.)”. Kegiatan belajar dan mengajar ilmu pegetahuan agama Islam adalah sebuah pengabdian kepada Allah Swt selaku pemilik ilmu syari’at. Karenanya, serahkan keadaan ekonomi keluarga kita kepada Allah Swt dan teruslah berkonsentrasi penuh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan agama Islam.

Jangan sampai dikalahkan oleh nafsu karena sudah ada syaithan yang sudah sangat siap mendampingi untuk terealisasinya tujuan nafsu tersebut sehingga tidak sedikit di antara para pelajar agama yang tidak berhasil dan gagal dalam perjuangan menuntut ilmu sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt selaku Tuhan Yang Maha Segalanya. “bek boh hayeu, cok layeu” (jangan membuang kehebatan dan malah mengambil layar”.

Kehebatan abadi hanya milik Allah Swt yang akan diperlihatkan oleh-Nya di akhirat nanti. Sedangkan dunia ini seumpama layar yang kelihatannya tinggi menjulang untuk mengarungi samudera luas akan tetapi pada akhirnya hanyalah secarik kain yang akan usang dan hancur menunggu waktu. Demikianlah untaian kalam hikmah yang menemani perbincangan kami dengan Abon Pante Ceurmen.

Satu hal lainnya yang menjadikan Abon Pantee sebagai sosok yang mewakili ‘Ulama intelektual Lamno adalah kemampuan beliau sebagai dokter dalam obat-obatan tradisional. Mengingat waktu yang hampir memasuki waktu Shalat Jum’at, kami hanya sempat menanyakan beberapa resep untuk penyakit gula, ambien dan lambung.

Untuk penyakit gula, ambil akar dan daun tutup bumi yang belum berbunga. Bersihkan dengan air sampai benar-benar bersih. Diblender dan taruh garam sedikit. Diminum sebelum makan pagi dan sesudah shalat Maghrib. Bila kadar gulanya mencapai 400, sebaiknya diminum sampai 3 atau 4 kali. Setelah itu diperiksa apakah sudah normal atau belum. Bila normal, ambil buah manggis sebanyak 3 buah, lalu kupas kulitnya. Kulitnya lalu direbus dan diminum. Hal ini bertujuan agar kadar gula tidak naik lagi.

Untuk wasir, ambil 3 buah delima Aceh yang masih muda, pineung nyen 3 buah, gambee 1/4. Kemudian semuanya dipotong-potong lalu direbus sampai air rebusannya menjadi setengah. Pagi harinya, ketika bangun tidur, posisikan kembali tidurnya tanpa memakai bantal selama 30 menit. Lantas bangun dan paksakan muntah. Setelah mulutnya dicuci, barulah minum air rebusan tersebut.
Untuk penyakit lambung, ambil daun ulim lalu blender dengan mencampurkan sedikit air. Kemudian disaring, taruh gula secukupnya lalu diminum di waktu malam.

Sumber:
Santridayah.com

No comments:
Write komentar